2. Hari ini Sudah Cukup

1651 Kata
Setelah membayar ongkos angkot, Biandra segera masuk ke dalam Opecca, tempat kerjanya dengan menenteng dua keresek putih besar. Lalu menyapa tukang parkir yang sedang menyeduh kopi di gelas plastik di genggamannya. Ia buru-buru masuk dan menyerahkan dua kresek tadi kepada seseorang yang ada di dapur. "Ini box-nya," ujarnya ketika mendapati sang juru masak, Ibu Leah yang sudah memakai apron putih. Sedang mengaduk sesuatu di wajan panasnya. "Taro di situ aja, Neng." Biandra tersenyum sebentar, lalu segera mengambil kain pel dan membersihkan lantai setelah menyimpan tas selempangnya di dalam loker pegawai. Beberapa pegawai sudah ada yang menjalankan tugasnya, sebagian kecilnya baru memakan apron yang sama sepertinya, berwarna hitam. Suara bising para pegawai langsung lenyap setelah dari arah depan, muncul suara ketukan sepatu berirama santai. Semua orang menunduk lalu menyapa lelaki yang baru datang itu tanpa disadari Biandra. Suasana belum ramai pengunjung, membuat suara sekecil apa pun akan terdengar. "Semangat kerjanya ya, nanti jangan pulang dulu. Saya mau traktir kalian. Nanti kita makan makan." Lalu gemuruh dan tepuk tangan mulai bergema dengan para wajah yang semringah. Sama dengan lelaki sang pembawa kabar gembira itu. Mereka mengucapkan terima kasih. "Wuidih, Pak Bos lagi menang lotre kayaknya ya," suara cekikikan muncul setelahnya. Laki-laki itu hanya tersenyum menanggapi. Seseorang juga ikut menimpali. "Lancar jaya Bos, biar nanti bisa traktir lagi." "Bos termantul pokoknya. Enteng jodoh, ya." Yang dijawab lagi dengan senyum lalu mengaminkan doa dari para pegawainya. Matanya berkeliling melihat semua sudut di sekitarnya. Memastikan bahwa kinerja para karyawannya tidak bisa diragukan lagi. Pagi-pagi mereka sudah bersemangat seperti ini. Lalu matanya mendapati seseorang yang asing bagi penglihatannya. "Kamu tidak ikut mendoakan saya?" Eh? Biandra yang sedang membersihkan tanaman hias di sudut ruangan terhenyak, lalu kemudian menunduk. Bingung harus merespon seperti apa. "Sehat-sehat dan bahagia lahir batin, Pak." Semua orang yang mendengar, mengaminkan doa dari Biandra. "Anak baru?" Didit yang berada di sebelahnya mengangguk. "Iya, itu anak barunya." Pak Bos mengangguk paham. Lalu pamit dan segera keluar dari sana. "Udah pada sarapan belum? Ayok sarapan dulu." Bu Leah berteriak dari arah dapur. Sebagian orang mulai berkumpul di sana, segera mencicipi sarapan buatan Bu Leah di wadah besar yang berisi setumpuk nasi dan lauknya. "Eneng, yang baru. Sini ikutan. Nggak papa ramean, bersih kok. Tenang." "Namanya Bian, Bu." Amel berhenti mengunyah lalu memanggil Biandra untuk ikut serta. Yang dijawab dengan gelengan kecil dan ucapan terima kasih. Ia memilih melanjutkan pekerjaannya lagi. Menurunkan kursi yang sebelumnya tersusun di atas meja. Derit kursi yang diturunkan semakin menambah riuh suasana. Menjelang siang, satu persatu orang mulai memadati tempat makan itu. *** "Nih, Agung, Tofan, Dean. Sepuluh rebu ya, mana mana." Semua murid berkumpul di satu sudut, kursi paling belakang tentunya. Mengerumuni seorang siswi yang memegang beberapa lembar kertas dengan satu kaki dinaikkan ke atas kursi. Berisikan gambar anggota tubuh dengan coretan pensil yang terlihat bagus. "Aelah, goceng lah goceng ya." Agung menawar sambil menengokkan kepala ke luar kelas sesekali. "Iya bener. Goceng lah, duit jajan gue dipotong lagi. Ah!" Dean ikutan mendumel. "Maen hape terus sih lo!" Agung menimpali. "Oh no no. Nggak ada ya kemarenan, kalian bilang setuju sama harga gue." Gadis itu menyembunyikan setumpuk kertas tadi di belakang punggungnya. Satu tangan menengadah ke arah teman-temannya. Tak lupa dengan wajah garangnya yang dibuat-buat. "Nggak seru si Ayish mah. Yaudah nih nih," kata Dean dengan bibir cemberut. "Woy cepet, cepet. Pak Dedi mau masuk." Seruan Denis di depan pintu menambah riuh suasana kelas. Mereka segera mengambil kertas yang disodorkan Isyara dengan tergesa. "Duitnya belom woy, Andi!" "Istirahat elah, suwer." Isyara berdecak, kembali membagikan kertas itu dengan terburu. Tiga detik sebelum guru biologi itu masuk, semua murid sudah duduk manis di kursi masing-masing. "Tugasnya kumpulkan sekarang. Yang ketinggalan silakan tahu diri." Namun kali ini tidak ada satu pun murid yang meninggalkan kelas seperti pertemuan sebelumnya. Pak Dedi menaikkan kacamatanya, mengerutkan dahi, merasa bingung. "Tidak ada yang ketinggalan? Tidak ada yang bolos, tugasnya?" Semua kompak menjawab tidak, semakin membuat kerutan di dahi guru yang sudah berumur itu bertambah. "Ini Pak, tugasnya." Sadar keadaan semakin mencekam, sang ketua murid mengambil inisiatif pertama. Disusul murid yang lain. Tanpa banyak bicara, guru itu melanjutkan pembelajarannya. Karena dikeluarkan dari kelas sebab tidak mengerjakan tugas dari Pak Dedi lebih seram. Bukan hanya berdiam di luar kelas, saat guru itu selesai mengajar, siap-siap saja berbincang di ruangannya dua jam tanpa jeda. Ditambah tugas susulan yang beranak pinak. Memikirkannya saja sudah membuat perut mual. *** "Gila hayo, nilainya gede beuh!" Andi menepuk pundak Isyara bangga. Yang di tepuk masih asik mengunyah pisang molen yang tadi dibelikan Dean. Ia mencecap ketiga jarinya lalu bersendawa dengan lantang. Yang lain menutup hidung sambil menjauhkan wajah. "Jorok beut ih!" Arini menepuk paha Isyara yang dibalas anggukan yang lain. Sedangkan Isyara hanya melanjutkan makan dengan santai. "Maap maap. Yaudah, nanti order lagi ya kakak~" baca itu dengan kalimat menggemaskan, karena seperti itu cara Isyara mengatakannya. Dengan mulut penuh molen, ia menggapai botol minum untuk melonggarkan tenggorokannya. "Kok bisa jago gambar sih, Is?" Agung mendekat, mencomot molen di atas meja setelah memberikan minum kepada Isyara. "Udah hukum alam sih ya, udah cantik, tubuh semampai, pinter gambar. Ya ... itulah seorang Isyara Ayuliandra." Ia mengibaskan rambutnya ke belakang, tepat mengenai bibir Denis. "Najis gila. Ditanya malah muji sepedean, ew." "Orang cantik mah bebas." Semuanya menyoraki Isyara yang malah ngakak ditertawakan seisi kelas. *** "Eh, mau ke mana?" Dikri menggebrak loker di sampingnya sampai Biandra terlonjak kaget. Dia melirik Dikri sekilas lalu segera mengenakan kardigan yang diambilnya dari gantungan di sana. "Mau pulang." Otomatis Dikri mencegah dengan menahan pergelangan tangannya. Biandra langsung menangkisnya dengan wajah kurang nyaman, sedetik setelah Dikri menyentuhnya. "Eh maap, replek." Mengangkat kedua tangan di samping kepala layaknya buronan teciduk polisi, Dikri tersenyum canggung. "Kan mau makan bareng dulu sama Bos," yang di jawab Biandra dengan, "sampein maaf ke Bos, aku nggak bisa ikut." Lalu ia meninggalkan Dikri. Laki-laki itu berkedip sekali dengan kedua bahu diangkat, terserah. Dikri membuka pintu sebelah, merebahkan diri sebentar sebelum makanan enak masuk ke perutnya. Ruangan ini terdapat sebuah kasur bertingkat yang khusus disediakan untuk istirahat karyawan. Satu kasur lagi berada di sudut tembok sana, dekat jendela belakang. Biandra pamit pulang kepada Amel, Cika dan Bayu yang sedang berkumpul di kursi depan, sedang fokus pada gawai masing-masing. Tentu saja respon mereka sama dengan Dikri barusan saat ia mengatakan tidak akan ikut. Tapi Biandra bisa menyampaikan alasannya yang untung saja diterima mereka. "Yaudah, nanti aku bilang Bos deh. Padahal jarang-jarang loh, Bos ngadain makan bareng sama kita gini, ya?" Pertanyaan Bayu dibalas anggukan oleh Amel dan Cika. Biandra hanya tersenyum sebagai permintaan maaf. "Gue mau ke depan dulu, ya. Barengan aja yuk, Bian." Perkataan Amel barusan membuat Biandra semringah seraya mengangguk senang. Ia menarik lengan Amel sangking girangnya. Sampai di depan, mereka berpisah lalu saling melambaikan tangan. Bukannya tidak sopan menolak ajakan atasan, tapi Biandra cukup tahu diri jika urusan di rumah saja masih banyak yang harus dibereskan. Ia tidak mungkin melalaikan tugasnya saat di rumah. Masih banyak baju yang harus dilipat dan di setrika. Belum lagi cucian yang jumlahnya tidak mungkin sedikit itu pasti sedang menunggu di sana. Lagipula ini sudah cukup larut, bisa-bisa pulang kerja langsung tidur jika sampai ikut acara makan malam itu. Biandra menyetop angkot lalu melengok sebentar sebelum menaikinya. Ada tiga orang penumpang dengannya. Seorang ibu dan anak SMA. Ia melihat jam tangannya sekilas lalu fokus pada jalanan kembali. *** Menutup pintu lalu mengucap salam, Biandra tidak mendapat sahutan seperti biasanya. Isyara sudah tidur? Ia menaiki tangga untuk mencapai kamar. Jangan bayangkan rumah berlantai dua dengan tangga melingkar atau dengan pegangan besi yang mengkilap. Rumah ini memang disediakan demikian, lantai atas hanya sepetak kamar saja, tidak ada ruangan lain. Jika lanjut ke balkon, maka bukan pemandangan indah yang terlihat, melainkan jejeran jemuran penghuni kontrakan lain yang tergantung tertiup angin malam di sana. "Eh, Teteh udah pulang ternyata." Isyara yang semula berbaring dengan buku n****+ di atas perutnya sektetika terduduk saat Isyara membuka pintu penghubung kamar ke luar. Biandra masih mengenakan seragam kerjanya saat mengambil jemuran di atas sana. "Tempat kerja kemarin nggak malem gini deh pulangnya, kan?" Biandra keluar dengan setumpuk pakaian yang sudah kering, dibawa melalui pelukan dalam kedua tangannya. "Jangan n****+ mulu yang dibaca, buku pelajarannya juga." Isyara cengengesan lalu menutup novelnya, tidak lupa menyelipkan bookmark pada halaman 37. "Iya Teh, sini Ayish bantuin," Biandra menolak dan langsung membawa pakaian itu ke bawah, di ruangan yang tidak besar ini hanya tembok sebelah kiri yang menjadi pembatas ruang TV dengan dapur. Lemari plastik bergambar boneka beruang menjadi batas ruang TV dengan tempat shalat yang hanya cukup untuk dua sajadah. Ia meletakkan semua pakaian itu ke atas satu-satunya sofa lapuk yang ada di sudut ruangan. "Teh, Ayish udah bikin telor dadar. Enak deh yang sekarang, dijamin. Panasin lagi aja kalo mau makan, ya!" teriakan itu dijawab dengan deheman kecil oleh Biandra yang sangsi akan terdengar di telinga Isyara. Ia lalu melepas kantuk dengan mandi. Tubuhnya butuh siraman air yang dingin untuk membuat kepalanya kembali segar. Tidak mudah baginya untuk berkenalan dengan orang baru, seperti teman satu profesinya sekarang. Dulu Isyara bekerja di sebuah toko pakaian, namun pemiliknya mengalami kerugian besar karena terjadi kebakaran. Berhubung Amel mengatakan ada lowongan di tempat kerjanya, Biandra segera mengambilnya tentu saja. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu. Beruntung ia mendapatkan pekerjaan baru setelah melakukan pekerjaan lepas_seperti yang dilakukannya kemarin. Menjadi seorang kurir piza untuk menambah pundi-pundi rupiahnya untuk dijadikan penyambung hidup. Karena banyak di luaran sana yang mencari pekerjaan ke sana ke mari masih belum dapat. Sesulit itu mendapatkan pekerjaan. Tidak apa, asal ada niat dan kemauan pasti ada jalan. Itu yang selalu Biandra tanamkan dalam dirinya. Ia tidak mau melewatkan sebuah kesempatan yang ditawarkan Amel. Hari ini di depan cermin, Biandra tersenyum manis. Menepuk pelan pipinya lalu berpindah menepuk kepalanya tiga kali. "Hari ini sudah cukup. Terima kasih. Besok bisa lebih baik lagi. Semangat!" Ia menutup pintu kamar mandi lalu melanjutkan melipat baju yang menumpuk di atas kursi sana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN