15. Hampir Terbongkar

1744 Kata
Waktu istirahat karyawan tiba. Seperti biasa, karyawan mulai menyerbu warung bakso Solo milik Sumi. Sumi dan Waluyo harus bisa cekatan melayani pembeli. Karena jam istirahat yang terbatas, membuat karyawan ingin segera dilayani. Saat ramai begini, Sumi tak bisa memperhatikan satu per satu pembeli. Dia hanya fokus pada bakso yang dia racik. Jangan sampai karena tak fokus, baksonya jadi salah rasa. Begitu juga dengan kehadiran Angga serta dua sahabatnya, Dicky dan Anton. Sumi tak sempat menyapa mereka. Sumi hanya mendengar pesanan mereka dari Waluyo. Sumi bisa menyapa mereka saat pembeli mulai sepi. “Bu Sumi sibuk terus ya? Sampai kita-kita susah ngobrol sama Ibu.” Ucap Angga usai melihat Sumi sedikit santai. “Iya Mas, Alhamdulillah. Ya begini Mas namanya orang jualan. Kalau lagi ramai sampai gak lihat siapa-siapa yang beli. Kalau lagi sepi, bisa duduk-duduk santai.” Sumi sembari membereskan mangkuk-mangkuk kosong sisa bakso. “Gak papa Bu, disyukuri saja! Memangnya anak Ibu ke mana Bu? Kayaknya sudah beberapa hari gak ikut Ibu. Apa anak Ibu sudah bekerja?” Tanya Angga yang tak pernah melihat Ranti lagi. “Cie... cie... ada yang kangen nih Bu!” Dicky meledek. “Siapa... siapa? Baru ini gua dengar seorang Angga bisa kangen sama seorang gadis. Dan gadis itu baru Ranti Bu!” Anton meledek Angga. “Apa sih? Gua hanya tanya sama bu Sumi! Karena beberapa hari anaknya memang tidak kelihatan lagi.” Angga membela diri. “Sudahlah lo ngaku saja! Lo kangen kan sama Ranti?” Anton terus meledek. “Ngomong apa lo Ton! Gua gak seperti itu!” Angga terus membela. “Wis to? Kasihan mas Angga. Itu gak lihat wajahnya sampai merah begitu!” Sumi tak ingin dilanjut lagi. “Ranti di rumah. Dia lagi malas ikut jualan, katanya pengin di kontrakan saja!” Sumi menerangkan. “Oh, kirain sudah dapat pekerjaan Bu.” Angga tersenyum. “Belum ada Mas! Susah, wong lulusan cuma SMK mau jadi sekretaris! Ada-ada saja memang anak Ibu.” Sumi sadar pendidikan anaknya yang hanya menengah. “Ya namanya juga keinginan Bu! Sapa tahu rezeki anak Ibu! Bisa saja lulusan SMK jadi sekretaris!” Dicky menimpali. “Iya Bu benar! Kalau rezeki kita gak tahu. Apalagi postur tubuh dan wajah Ranti juga mendukung jadi sekretaris. Jadi, Ibu gak usah pesimis!” Anton menimpali. “Apa Mas? Mas Anton tadi bilang apa pesi...? Apa tadi?” Sumi ingin tahu. “Apa Bu? Oh pesimis! Pesimis itu gak percaya diri sama saja kaya putus harapan Bu.” Anton menjelaskan. “Owalah, ada-ada saja ya bahasa sekarang! Oh ya, kalian ada info tentang kerjaan SPG gak? Sambil tunggu ada kerjaan sekretaris, anak Ibu katanya mau kerja jadi SPG. Mungkin teman kalian ada yang punya lowongan, nanti kasih tahu Ibu ya?” Sumi mencari tahu. “Jadi, anak Ibu sekarang sudah mau kerja jadi SPG? Syukur deh Bu, kalau SPG kayaknya lebih banyak lowongan. Nanti kalau ada info, saya kasih tahu Ibu! SPG apa saja kan Bu?” Angga bertanya balik. “Iya kali Mas! Ibu juga ndak tahu. Anak saya cuma bilang SPG. Yang penting kerjanya di AC katanya. Anak saya gak mau panas-panasan.” Sumi menjelaskan. “Oh ya, nanti deh kalau ada.” Angga melanjutkan. “Mas Anton sama mas Dicky juga! Kalau ada info, kasih tahu Ibu ya!” Sumi juga meminta tolong pada Anton dan Dicky. Sumi berharap dengan bantuan Angga, Anton, dan Dicky pekerjaan akan semakin cepat didapat. Sumi ingin Ranti segera bekerja. Sumi bukannya ingin dibantu keuangan oleh Ranti. Sumi hanya ingin, Ranti punya kegiatan tidak berdiam di kontrakan. Jika Ranti terus di kontrakan, Beni akan terus mendatanginya kapan pun. Bahkan saat Sumi dan Waluyo tak ada di kontrakan. Sebagai orang tua yang memiliki anak gadis, Sumi tentu khawatir. *** Ponsel Angga tiba-tiba berdering. Satu panggilan masuk ke ponselnya. Hingga mengagetkan Angga dan teman-temannya yang sedang asyik berbincang. Angga sendiri heran. Untuk apa bosnya menghubungi dia saat istirahat begini. Kalau tidak ada kepentingan, bosnya tidak akan menghubunginya saat jam istirahat. “Bos Daniel telepon. Ada apa ya? Kok tumben jam istirahat telepon.” Angga berucap heran. “Gak tahu! Lo angkat saja, kali penting!” Perintah Dicky pada Angga. “Selamat siang Pak! Ada yang bisa saya bantu?” Angga sopan. “Pak Angga, tolong kamu datang ke sini sekarang! Ada hal penting yang ingin saya bicarakan! Nanti sopir yang akan jemput Pak Angga.” Perintah seseorang pada Angga. “Iya Pak! Memangnya tidak bisa bicara sekarang? Saya sedang makan di warung bakso depan.” Angga menjelaskan. “Tidak, terlalu panjang kalau saya bicara di sini! Sepuluh menit sopir akan menjemput!” Seseorang itu mematikan panggilannya sepihak. “Ngapain bos Daniel telepon jam istirahat begini?” Tanya Anton ingin tahu. “Gua juga gak tahu! Gua suruh ke sana sekarang, nanti mas Beni yang akan jemput.” Angga sedikit menjelaskan. “Memang ya jadi bos, semaunya saja kalau memerintah. Sudah tahu jam istirahat, masih saja suruh kerja!” Anton menimpali. “Gak papa, namanya juga bos!” Angga menyambung. “Tapi pak Beni tahu gak warung ini?” Tanya Dicky pada Angga. “Paling tahu. Warung ini kan depan kantor kita persis. Dan satu-satunya warung bakso Solo di dekat sini kan hanya warung bakso bu Sumi!” Angga menjelaskan. “Tunggu-tunggu Mas! Tadi kalian bilang pak Beni? Memang pak Beni yang kalian maksud itu, Beni yang bagaimana? Soalnya anak saya punya teman juga namanya Beni. Tapi dia manajer. Katanya bekerja di kantor dekat sini juga. Tapi gak pernah cerita nama kantornya apa.” Sumi ingin tahu. Kenapa namanya bisa sama. “Oh, kalau Beni yang ini sopir dari bos kami Bu. Berarti beda! Manajer sama sopir, jauh. Mungkin kebetulan saja namanya sama.” Angga menjelaskan “Iya yah! Manajer sama sopir jelas beda! Berarti hanya namanya saja yang sama. Orangnya beda, soalnya beda profesi.” Sumi mengiyakan. Sumi memang sudah mendapat penjelasan dari Angga. Kalau Beni yang dimaksud adalah Beni dari sopir bos mereka. Bukan Beni seorang manajer. Tapi Sumi benar-benar penasaran, seperti apa Beni sopir bos Angga itu. Kenapa, perasaan Sumi tiba-tiba tidak enak. “Sudah Bu, pasti Beni sopir pak bos bukan Beni yang Ibu maksud! Soalnya Beni yang Angga maksud, orangnya biasa banget. Kayaknya kalau dekat sama Ranti gak mungkin. Secara Ranti cantik, lha Beni ini tampang pas-pasan, kantong kosong. Pokoknya gak pas lah sama Ranti!” Anton menjelaskan. “Iya sudah! Mungkin hanya perasaan Ibu saja!” Sumi menenangkan hatinya. Untuk membuktikan rasa penasarannya, Sumi ingin melihat langsung seperti apa sosok Beni yang Anton maksud. Beni yang hanya sopir serta memiliki tampak pas-pasan. Kalau Beni pacar Ranti saat ini memang memiliki tampang pas-pasan juga. Cuma, Beni pacar Ranti seorang manajer bukan sopir. Pasti pikiran Sumi salah. *** Sudah hampir sepuluh menit Angga menunggu. Namun, Beni belum juga tiba di warung bakso Solo bu Sumi. Sembari menunggu, Angga masih berbincang dengan dua sahabatnya juga Sumi, pemilik warung bakso. “Mana si Beni itu? Nanti dia mampir-mampir lagi!” Ucap Anton ketus. “Iya katanya sepuluh menit!” Dicky menimpali. “Mungkin macet! Sabar saja, gua yang nunggu saja sabar. Kenapa kalian yang sewot?” Angga lebih sabar. “Iyo to Mas, Jakarta kan gak bisa ditentukan. Kita bilangnya jam segini, tahu-tahu macet! Susah ditebak!” Sumi menimpali. “Itu dengar kata Bu Sumi! Bu Sumi saja tahu.” Angga membenarkan. Tak lama mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan warung bakso Sumi. Si pengendara mobil hendak keluar dari mobil. Namun, tiba-tiba dia teringat nama Sumi. “Bu Sumi? Kok kaya nama ibunya Ranti? Jangan-jangan ini warungnya ibunya Ranti beneran? Ibu sama bapaknya Ranti kan jualan bakso di sekitar sini juga! Alamat, gua bisa ketahuan ini! Kenapa gua bisa lupa ya? Tahu begini, gua parkir jauh-jauh dari warung ini!” Sopir tak jadi keluar. “Apa gua pindah parkir saja? Tapi, nanti mas Angga cariin! Aduh, sial! Jangan sampai deh gua ketahuan sama orang tua Ranti! Bisa-bisa semuanya terbongkar! Kalau Ranti mau nerima gua apa adanya, kalau gak! Bisa diputusi gua! Jangan sampai deh, gua kehilangan cewek secantik dan semulus Ranti!” Beni kembali berucap. Beni memberi aba-aba pada Angga. Beni terus menekan klakson, agar Angga mendekatinya. Beni tak mungkin keluar dari mobil. Apalagi sampai menghampiri Angga di warung bakso. Bisa-bisa penyamarannya terbongkar. “Itu sopir pak Daniel gak sopan banget sih! Orang turun, panggil orangnya kek! Klakson-klakson gak jelas!” Anton tampak emosi. “Iya benar, gak pernah diajari sopan santun kali!” Dicky menimpali. “Mungkin sopirnya buru-buru, jadi gak mau keluar!” Sumi menengahi. “Tapi aku jadi makin penasaran? Siapa Beni sopir bosnya Angga itu? Kenapa dia tak mau keluar? Padahal biasanya, sopir keluar menghampiri jemputannya. Angga ini sama saja bosnya kan? Aku jadi makin penasaran.” Sumi berucap sendiri. “Apa aku coba samperi itu sopir saja? Biar aku gak penasaran lagi? Karena perasaanku tiba-tiba kepikiran Beni, pacar Ranti. Iya, aku akan coba samperi sopir yang namanya sama kaya teman dekat Ranti! Biar gak penasaran.” Sumi berniat mendekati sopir yang bernama Beni itu untuk membuktikan rasa penasarannya. Sumi melangkahkan kedua kakinya keluar dari warung. Kebetulan warung juga sedang sepi. Tak masalah kalau Sumi tinggal sebentar ke depan. Mobilnya juga berada di depan warungnya. Andai saja, kaca mobil depan terbuka. Sumi bisa melihat seperti apa Beni sopir bosnya Angga itu? Kenapa namanya bisa kebetulan sama dengan teman dekat Ranti. Hanya saja mereka berbeda profesi. Bahkan perbedaan itu sangat jauh. Namun, rasa penasaran Sumi semakin menguat. Sumi akan segera melihat seperti apa Beni sopir bosnya Angga itu. “Loh-loh kok ibunya Ranti mendekat ke sini? Aduh gimana ini?” Sopir cemas. “Bu, Bu Sumi kita mau bayar!” Ucap Anton pada Sumi. “Oh ya! Sama bapak saja! Ibu mau keluar sebentar.” Sumi tetap ingin melihat Beni sopir bosnya Angga. “Aduh, mati aku! Kenapa bu Sumi pakai ke sini segala?” Beni pasrah. Denyut jantungnya terpacu cepat. “Bapak gak ada Bu, tadi bilang mau ke toilet.” Anton kembali memanggil Sumi. “Bapak pakai acara gak ada lagi! Orang mau lihat kaya apa si Beni sopirnya Angga itu!” Sumi sedikit kesal. “Selamat... selamat! Untuk ibunya Ranti gak jadi ke sini! Buruan kek mas Angga ini! Nanti keburu ibunya Ranti lihat gua! Gagal semua rencana!” Beni emosi sendiri. Sumi membalikkan badan. Sumi tak jadi melihat seperti apa, Beni sopir bosnya Angga. Karena Sumi harus mengurusi p********n Anton dan kedua sahabatnya. Sumi mempercepat pekerjaannya. Agar Sumi bisa segera melihat si sopir yang katanya bernama Beni juga. Sebelum Angga dan sopir itu pergi meninggalkan warung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN