Bos Daniel ke luar kota. Ini menjadi kesempatan Beni untuk bertemu gadis pujaannya, Ranti. Bahkan sehari ini, Beni bisa bebas menemani Ranti tanpa ada gangguan dari bosnya.
Pagi-pagi, Beni sudah menghubungi Ranti. Hari ini Beni ingin mengajak Ranti ke manapun dia mau. Beni siap menjadi sopir pribadi Ranti selama satu hari ini.
Beni meminta Ranti untuk siap-siap. Usai bapak dan ibunya jualan, Beni akan menjemputnya ke kontrakan. Beni meminta Ranti menghubunginya saat bapak dan ibunya berangkat berjualan.
Ranti yang sudah dibutakan cinta dan harta Beni, hanya bisa menurut. Usai bapak dan ibunya berangkat jualan, Ranti langsung menyiapkan diri untuk bertemu Beni. Dia merias wajah, memilih pakaian yang bagus serta sedikit terbuka. Karena menurut Beni, Ranti lebih cocok dengan pakaian yang sedikit terbuka. Ranti lebih terlihat menarik.
Entah dirasuki makhluk apa? Ranti pun menurut saja dengan ucapan Beni. Ranti seperti kerbau yang dicocok hidungnya saat bersama Beni. Hanya, jika Ranti menuruti, Beni akan memberikan barang yang diminta Ranti.
Ranti tak peduli dengan permintaan Beni. Yang penting dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Jalan-jalan, nonton, pakaian, serta kebutuhannya secara gratis. Bagi Ranti, hanya satu yang tak mau diserahkan sebelum mereka benar-benar syah menjadi sepasang suami istri. Dan Ranti sangat menjaga harta satu-satunya itu.
Beni akhirnya tiba di kontrakan Sumi dan Waluyo. Suasana kontrakan sepi, karena dua penghuninya sudah pergi mencari rezeki. Dan kini tinggal Ranti, anak gadis mereka.
Tanpa malu Beni langsung memeluk tubuh kekasihnya itu. Inilah alasan kenapa Beni tak mau ke kontrakan Ranti dulu sebelum orang tuanya pergi berjualan. Beni ingin menikmati waktu berdua dengan kekasihnya.
“Mas Beni, apaan sih? Gak enak nanti ada yang lihat!” Ranti malu-malu.
“Ngapain malu, kita kan pacaran! Dan sebentar lagi, kalau lo mau gua bisa melamar sama orang tua lo.” Beni semakin mempererat pelukannya pada Ranti.
“Masa Mas? Tapi aku kan baru 19 tahun. Gak mungkin orang tuaku mengizinkan.” Ranti beralasan.
“Gua akan menunggu sampai orang tua lo mengizinkan. Sampai 10 tahun gua siap tunggu lo! Karena gua sangat mencintai lo. Gua akan lakukan dan berikan apa pun untuk lo. Asal gua bisa bersama lo selamanya.” Beni sudah dibutakan cinta Ranti.
“Mas Beni bisa saja bikin Ranti melambung. Sudah yuk, katanya mau ajak jalan-jalan! Aku bosan di rumah terus.” Ranti tak ingin lama-lama di rumah. Karena tujuan Ranti menerima Beni tidak hanya untuk cintanya tapi lebih pada hartanya.
“Tunggu sebentar! Memangnya lo gak kangen sama gua? Gua ingin memeluk lo lebih lama lagi.” Beni terus merayu. Bahkan wajah Beni mulai mendekati wajah Ranti. Beni semakin mendekatkan kedua bibirnya ke kedua bibir Ranti.
“Ayuk Mas! Aku bosan di kontrakan!” Ranti menghindar. Ranti juga melepas pelukan Beni sepihak.
“Kenapa Ran? Kita kan sudah resmi jadi kekasih! Kalau sebatas ciuman sepertinya wajar saja. Kenapa lo menghindar? Apa lo gak cinta sama gua? Atau lo takut?” Beni sedikit kecewa.
“Bukan begitu Mas! Aku gak mau sampai ada orang lihat. Terus sampai ke orang tuaku. Bisa saja kita dilarang berhubungan lagi. Dan aku gak mau itu terjadi. Karena aku cinta sama Mas Beni.” Ranti beralasan.
Beni terdiam. Memikirkan ucapan Ranti. Ucapan Ranti memang ada benarnya. Karena ini kontrakan orang tua Ranti. Pasti tetangga sekitar sudah mengenal orang tua Ranti. Jika Beni lama-lama di dalam kontrakan hanya dengan Ranti. Tetangga pasti akan curiga. Bisa saja tetangga melaporkan tindakan Beni dan Ranti pada orang tua Ranti.
“Iya sayang, benar juga kata lo! Kenapa gua gak kepikiran sampai ke situ? Lo memang pintar! Sudah cantik, pintar lagi. Gak salah gua jadian sama lo, Ranti.” Beni terus memuji Ranti.
“Ya sudah, kita pergi sekarang!” Tangan kiri Ranti menarik tangan kanan Beni ke luar kontrakan.
“Baiklah! Lo cantik banget Ran hari ini.” Puji Beni lagi.
“Mas Beni ini gak usah muji Ranti terus! Yang ada Ranti jadi tambah melambung tinggi.” Ranti tersipu.
“Memang benar yang gua ucapkan! Gua memuji lo karena sesuai kenyataan. Gua gak merayu apalagi menggombali lo!” Beni meyakinkan.
Beni dan Ranti berjalan bergandengan. Mereka tak peduli lagi dengan tetangga yang melihatnya. Bagi Beni, Ranti adalah cintanya. Sementara bagi Ranti, Beni adalah laki-laki incarannya.
“Untung tadi Beni percaya sama omonganku. Kalau gak, dia pasti sudah menciumku. Maaf ya Ben, untuk saat ini aku baru mencintai hartamu! Aku belum merasakan cinta sama kamu! Aku baru belajar suka sama kamu.” Ranti berucap dalam hati.
***
Ranti dan Beni sudah tiba di parkiran umum. Seperti biasa, Beni selalu membawa mobil mewahnya. Apalagi sehari ini bosnya sedang berada di luar kota. Sementara mobil tetap Beni yang bawa. Beni benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk menghabiskan waktu dengan Ranti.
“Mas Beni memang ada acara apa kok libur? Kayaknya ini bukan hari libur ataupun Minggu?” Ranti bertanya pada Beni di dalam mobil.
“Iya namanya juga manajer! Pengin libur, libur saja! Gua itu kangen sama lo. Pengin seharian jalan sama lo. Jadi, gua ambil cuti hari ini khusus buat lo.” Beni beralasan.
“Ah Mas Beni ini, selalu saja bikin Ranti senang. Makasih ya Mas!” Tangan kanan Ranti memegang tangan kiri Beni lembut.
“Terus kita mau jalan ke mana Mas?” Tanya Ranti lagi.
“Terserah lo saja! Lo minta ke mana gua turuti.” Beni menurut.
“Kita ke mall saja yuk!” Ajak Ranti pada Beni.
“Mall?” Beni terdiam.
“Kenapa mesti mall sih Ran? Kita ke warung makan atau ke taman aja kenapa? Alamat dompet gua tipis lagi. Hutang baru lunas kemarin, masa iya gua mau hutang lagi sama mas Angga. Nasib-nasib! Coba aku jadi bos kaya mas Angga apa bos Daniel, pasti Ranti langsung gua lamar deh! Ini mau senangin pacar saja susah!” Beni berucap sendiri.
“Bagaimana Mas? Kenapa Mas Beni diam? Mau gak? Aku pengin ada yang dicari di sana! Lagian kalau di mall kan dingin. Kita bisa nonton, jalan, makan, sekalian belanja juga. Mas gak mau kan aku panas-panasan?” Ranti menjelaskan.
“Iya Ran, kita ke mall sekarang! Apa yang gak buat lo?” Beni berusaha menutupi.
“Ya ampun Ben! Gimana lo bisa mengiyakan? Yang ada lo gali lubang tutup lubang terus!” Beni kembali berucap dalam hati.
“Tapi gak mungkin juga gua menolak. Yang ada, Ranti curiga sama gua. Tahunya dia kan gua orang kaya. Padahal mah mobil milik bos semua. Gua hanya sopir biasa. Gak papalah, gali lubang tutup lubang. Yang penting gua bisa bersama pujaan hati gua.” Beni tersenyum sendiri.
“Mas Beni kok senyum-senyum sendiri? Mas Beni kenapa?” Tanya Ranti yang tak sengaja melihat Beni tersenyum sendiri. Padahal Ranti tak mengajaknya bicara.
“Ehm, gak papa!” Beni gugup. Dia tak menyadari kalau Ranti memperhatikannya.
“Gua hanya senang banget karena hari ini gua bisa menghabiskan waktu sama lo!” Beni beralasan.
“Mas Beni ini bisa saja.” Ranti tersenyum manis.
Senyum maut yang selalu terbayang di pikiran Beni. Senyum manis yang sudah membuat Beni tergila-gila pada gadis berlesung pipit itu. Bahkan Beni sampai tak kuasa untuk mencoba manisnya kecupan bibir Ranti.
***
Mobil Beni sudah tiba di parkiran salah satu mall besar di Jakarta. Sesampai di parkiran, Beni langsung turun dari mobil. Lalu menghampiri pintu sebelah. Beni membukakan pintu mobil untuk kekasih hatinya.
“Silakan ratu!” Ucap Beni tunduk sembari mengulas senyum untuk kekasihnya.
“Mas Beni apaan?” Ranti tersipu.
“Wah gede banget ya Mas?” Ranti tampak kagum.
“Biasa aja! Ini salah satu mall besar di Jakarta. Kapan-kapan gua ajak lo ke mall yang lebih besar dari ini. Lo mau kan?” Beni merayu.
“Beneran Mas? Ranti mau banget. Makasih ya Mas Beni?” Ranti tak berhenti memberi senyumnya untuk Beni.
Ranti dan Beni memasuki area mall. Seperti saat ke luar kontrakan tadi. Kali ini, Beni juga terus menggandeng Ranti. Beni tak ingin lepas dari Ranti.
“Sekarang kita mau ke mana dulu?” Tanya Beni pada Ranti.
“Kita nonton dulu yuk Mas! Sapa tahu ada film bagus.” Ajak Ranti pada Beni.
Beni pun menuruti keinginan Ranti. Keduanya menuju bioskop yang berada di lantai 4. Kebetulan ada film roman yang cocok dengan suasana hati Ranti dan Beni. Keduanya memilih film itu untuk mengawali kebersamaan hari ini.
Usai menonton film, rasa lapar mulai terasa di perut Beni. Beni mengajak Ranti makan di resto yang berada di dalam mall juga.
Menonton sudah mereka lakukan. Mengisi perut juga baru selesai. Namun, waktu belum sore. Beni masih ingin menghabiskan harinya dengan Ranti.
“Sayang, kita mau ke mana lagi habis ini?” Tanya Beni pada kekasihnya.
“Ke mana ya? Kita lihat-lihat dulu kali Mas! Kita kan baru nonton sama makan.” Ranti meminta pada Beni.
Sesuai permintaan kekasihnya, Beni pun hanya bisa menuruti. Ranti memasuki kawasan Department Store. Lagi-lagi Beni hanya bisa mengikuti keinginan kekasihnya.
“Mudah-mudahan dia gak pilih macam-macam. Uang gua masih cukup buat belanja in Ranti. Masa iya, gua biarin Ranti bayar sendiri. Di mana muka gua taruh?” Beni berucap dalam hati.
Ranti memilah-milih beberapa pakaian.
“Mas, buat Ranti bagus yang mana?” Ranti menunjukkan 2 gaun pada Beni.
“Dua-duanya bagus buat Ranti. Ranti itu udah cantik, mau pakai apa aja tetap cantik!” Beni memuji.
“Tapi, kayaknya Ranti lebih cocok yang ini! Yang ini aja!” Beni menunjuk satu gaun selutut dengan leher sedikit terbuka.
“Tapi, apa gak terlalu terbuka Mas?” Ranti sedikit ragu.
“Gak sayang! Ini kan Jakarta gak masalah lo pakai pakaian begitu. Lagian, kita jalan pakai mobil! Jadi cuma gua yang bisa lihat lo di jalan.” Beni beralasan.
“Ya sudah, aku ambil ini!” Ranti setuju. Ranti memberikan gaun pada Beni.
Ranti kembali berjalan. Mencari sesuatu yang dia inginkan. Kali ini Ranti menuju bagian alas kaki.
Beni terus mengikuti ke mana kekasihnya melangkah. Diam-diam tanpa sepengetahuan Ranti, Beni melihat banderol harga gaun yang dipilih Ranti.
“Buset ini gak salah! Satu gaun saja harganya sudah seperempat dari gaji gua! Mati gua! Alamat, gali lubang tutup lubang beneran ini!” Beni berucap sendiri.
“Ternyata punya kekasih cantik begini butuh modal banyak. Tapi gak papalah. Yang penting hari ini gua senang bisa menghabiskan waktu seharian bersama Ranti. Meski kantong gua tipis! Bahkan sampai bolong gua rela.” Beni kembali berucap sendiri.
Ranti memilih satu pasang sepatu berhak. Lalu Ranti menuju bagian tas wanita. Satu tas kembali Ranti pilih. Lalu memberikannya pada Beni.
Ranti tak berhenti sampai di situ. Ranti kembali melihat-lihat jam tangan. Namun, sepertinya tidak ada yang cocok. Ranti kembali melanjutkan pencariannya.
Diam-diam Beni kembali melihat banderol sepatu dan tas pilihan Ranti.
“Tiga barang sudah setengah dari gaji gua. Terus untuk makan sebulan bagaimana? Belum besok-besok gua ketemu Ranti lagi! Masa iya gua gak bawa apa-apa?” Beni menepuk jidat.
“Ran, lo gak capek dari tadi keliling terus? Kaki gua pegal, kita istirahat dulu ya?” Beni beralasan.
“Mas Beni capek? Ya sudah kita istirahat dulu! Itu di depan ada kursi!” Tangan kanan Ranti menunjuk kursi yang berada di luar kawasan Department Store.
Ranti dan Beni menuju kasir sebelum istirahat. Beni mengeluarkan sejumlah uang sesuai jumlah ketiga barang yang dipilih Ranti.
“Wah beneran dompet gua menipis ini! Harus sabar punya kekasih cantik begini!”
Ranti dan Beni duduk di bangku tunggu yang tersedia di dalam mall. Ranti tak lupa mengucapkan terima kasih pada Beni karena sudah memberikan barang-barang ini semua untuk Ranti.
Ranti menyenderkan kepala di atas bahu Beni. Ranti juga tak segan memeluk Beni dari samping.
Beni tak bisa mengungkapkan kebahagiaannya hari ini. Karena Ranti terus saja menempel pada Beni. Ranti selalu memberi kejutan-kejutan manja yang tak diduga Beni. Usai Beni memerikan barang-barang keinginan Ranti.
Beni gak masalah dompetnya menipis yang penting hatinya bahagia. Apalagi pelukan dari Ranti terus dia terima. Senyum Beni di hari ini semakin melebar dan tak henti.