Ini sudah berjalan menuju menit ke 30 akan tetapi laki-laki yang berjarak beberapa langkah dariku tetap diam, bahkan bungkam padahal dialah yang mengajakku kemari.
"Sebenarnya kamu mau bicara apa Gilang, saya juga perlu istirahat untuk kerja besok."setelah beberapa lama diam, hatiku gusar dan memilih mengeluarkan suara.
"Sebenarnya apa pekerjaanmu?"pertanyaan Gilang seakan ambigu terdengar olehku. Ia seakan bertanya pada dirinya sendiri.
"Saya tidak tau apakah kau akan percaya atau tidak. Tetapi saya hanya mengucapkannya sekali. Saya bekerja sebagai pelayan di kafe "bigfood"."ucapku tegas, hatiku benar-benar pasrah jika laki-laki yang ayah ingin pilih menjadi imamku ini tdk percaya sama sekali.
"Aku tau, dan aku sudah menduga akan ini. Awalnya aku tak percaya jikalau kau bekerja di club malam, dan tertanya fikiranku tidak salah"tepat setelah Gilang mengucapkan serentenan kata itu, kepalaku yang sadari tadi menunduk kini menatap Gilang mencari kebohongan akan tetapi tak ada kebohongan yang kudapatkan. Laki-laki ini benar-benar percaya padaku
Laki-laki seperti Gilang langsung percaya jika aku tidak mungkin bekerja ditempat seperti itu, tetapi kenapa ayah selalu aja menuduhku 'jalang' sedang yang mendidikku sejak kecil adalah dirinya sendiri. Yang mengajarkan banyak hal padaku adalah dia, bahkan kata bunda 'ayah' adalah kata pertama yang bisa kusebutkan dengan jelas.
"Kau percaya?"tanyaku sambil terus menatapnya sedangkan laki-laki yang berpakaian casual ini tetap menatap kedepan jadi otomatis hanya dari samping mataku menatapnya
Wajahnya terlihat sangat serius bahkan entah apa yang ada di fikirannya hingga bisa mempercayaiku secepat ini, ayah? Laki-laki ini saja mempercayaiku lalu kenapa kamu begitu keras hati akan keadaan.
Aku mencoba menetralkan fikiranku, mencoba tetap bersikap dingin dan mempunyai harga diri didekat Gilang yang katanya sebentar lagi menjadi suamiku. Aku akan menjadi pengganti di pelaminan.
Sebuah permainan yang benar-benar bercanda.
"Tentu, ayahmu hanya dibutakan oleh bukti yang ada saat menatapmu pertama kali dan mendengar perkataan ayahmu padamu. Entahlah aku tidak yakin bahkan tak percaya atas tuduhan yang ada"
"Jadi, kumohon dan kuharap kau menerima pernikahan ini Aila, awalnya hatiku memang tertarik padamu dan kukira aku akan dijodohkan denganmu tetapi ternyata pada Siska. Allah lebih tau sesuatu. Dan sekarang apa kau tdk ingin menerima hal ini"
Ucapan panjang lebar Gilang membuatku bimbang, entah apa yang terjadi. Jadi apakah kesimpulan laki-laki ini ia mencintaiku dan memilihku
Mendengar dia sebenarnya menginginkanku tentu tidak langsung kupercayai, aku takkan semudah itu mempercayai omongan seseorang apalagi yang bicara adalah laki-laki. Bisa saja itu hanya taktiknya agar aku menyetujui permainan ayah ini.
"Kamu fikir aku percaya dengan ucapmu? Bukankah laki-laki selalu identik dengan bualannya." setelah ucapanku selesai kudengar helaan napas Gilang, apa aku cukup rumit untuknya?
"Kamu fikir ini waktunya bercanda?" ucapnya sarkas, apakah ucapanku terlalu berlebihan.
"Bagaimana aku bisa percaya Gilang. Kamu itu orang asing dan tiba-tiba ngajak aku bicara kayak gini. Kamu bilang maunya sama aku? Perempuan mana yang akan percaya? Kamu itu udah ngelamar kakak aku, walaupun bukan kakak kandung tetapi itu bukti kalau perasaan kamu ke aku itu hanya sekedar kagum atau bahkan sepintas." balasku tak kalah sarkas, mencoba membuatnya sadar kalau perasaannya itu hanya kagum saja.
"Saat orang tuaku mengatakan ia ingin menjodohkanku dengan orang lain, awalnya aku menentang tetapi mereka mengatakan inilah permintaannya karena selama ini mereka berdua tak pernah meminta apapun padaku. Mereka membebaskan aku dari segala aturan selagi aku nyaman dan tidak banyak tingkah serta merta tetap pada batasan." ucapan itu terdengar lirih, mungkin fikirannya sedang bimbang.
"Orang tuamu maunya kamu sama kak Siska bukan sama aku, terus...."
"Biarkan aku bicara dulu Aila!" aku langsung diam mendengar nada dinginnya. Laki-laki dengan segala sikap otoriternya dan juga kepala batunya,batinku.
"Aku hanya mengikut saja, saat pertama kali kesini aku jadi teringat dengan seseorang yang dulunya tinggal disini. Ingatanku langsung kembali ke masa lalu rasanya kebahagian menyergap hatiku dan aku tak pernah tau jikalau orangtuaku mengetahui rumah orang yang kucintai."
Mataku langsung terpejam, benar dugaanku Gilang tadi hanya membual mana mungkin laki-laki sepertinya menyukai perempuan pas-pasan dengan penampilan biasa aja sepertiku. Sangat tidak sebanding.
Tentu saja, dia menyukai kakak Tiriku itu dengan segala kesempurnaan yang Kak Siska miliki tentu saja membuat semua laki-laki bertekuk lutut didepannya. Sedang aku? Pake eye liner saja engga bisa bedaan bentuk-bentuk kosmetik juga engga bisa apalagi pake make up full kayak Siska. Memikirkannya saja sudah membuat badanku merinding, rumitnya.
Punya baju kurang bahan kayak dia? Dari kecil bunda udah ajarin biar memakai pakaian tertutup walaupun masih menggunakan jeans sesekali. Tetapi bunda selalu bilang perempuan harus pandai menjaga dirinya karena kalau bukan aku lalu siapa lagi?
"Aila? Kau melamun dan tak mendengar perkataanku?" lamunan panjangku tersentak dan menatap bingung kearah Gilang. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Memangnya kamu bilang apa sih?" bukannya menjawab dia malah bungkam. Jangan bilang kalau laki-laki ini ngambek? Emang kata itu Bisa dipake dalam dunia laki-laki ya?
"Apasi Gilang, aku mau istirahat. Capek habis pulang kerja dan ditambah lagi dibebani masalah besar kayak gini, kan...."
"Jadi kamu berasa terbebani karena mau nikah sama aku? Jadi kamu engga mau nikah sama aku?" aku yang sadari tadi memperhatikan Bintang kini menoleh menatap Gilang. Menatapnya bingung.
"Kamu kenapa sih! Engga jelas banget." bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memukul sesuatu didepannya. Besi pembatas balkon dan aku sangat yakin itu pasti sangat sakit sekali.
"Jangan nyakitin diri sendiri Gilang!" peringatku. Aku tak ingin dituduh yang tidak-tidak oleh ayah. Cukup kata 'jalang' yang selalu ia lontarkan setiap kami betemu. Apa otakku selalu saja dipenuhi sikap ayah yang keterlaluan? Baru saja beberapa menit yang lalu memikirkannya sekarang malah memikirkannya lagi.
"Lihat! Kau melamun lagi. Apa sebenarnya yang kamu fikirkan Aila?" lagi dan lagi aku memfokuskan pandanganku padanya yang ternyata sudah menatapku sadari tadi.
"Bukan urusanmu." balasku dingin. Memangnya dia siapa mau mencampuri urusanku baru beberapa saat lalu ayah menyuruhku menggantikan posisi Kak Siska tetapi sikapnya sudah semena-mena dan sok tau seperti ini.
"Apa sesulit itu mempercayaiku Aila?"
"Siapa yang ingin mempercayai pembual?" tanyaku balik, seakan menantangnya.
"Apa wajahku terlihat suka mempermainkan perempuan?. Apa kau benar-benar tidak ingin menikah dneganku Aila?"
"Aku takut akan luka lagi Gilang, tunggulah Kak Siska sampai ia kembali aku tak bisa"setelah mengucap hal itu kakiku melangkah pergi akan tetapi baru beberapa langkah tanganku ditahan oleh Gilang
"Aila, Coba bawa ulang memorimu kemasa lalu, apakah kamu mengingat seseorang yang selalu kamu panggil pelangi?"
"Pelangi." gumamku, mataku terpejam mengulang ke masa lalu,pelangi?. Sosok itu adalah seseorang yang sering aku temui pas smp. Kami hanya berteman beberapa minggu hingga akhirnya ia menghilang tanpa kabar.
"Apakah kamu tidak menginginkannya menjadi imanmu, bukankah dulu kamu sangat bahagia jika bersamanya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Gilang aku berbalik dan melepaskan tangannya yang menahanku pergi. Dan kembali melanjutkan langkahku masuk kedalam rumah.
"Aku adalah pelangi itu Aila,Tidak bisakah kamu memikirkannya kembali."
Hanya perkataan itu yang kudengar sebelum langkahku benar-benar masuk kedalam rumah menuju kamar dan otakku dipenuhi pertanyaan.
Bagaimana bisa? Bukankah dia sudah pergi jauh dari kehidupanku? Bukankah kebersamaan kami sudah berakhir sejak ia lulus dulu? Kenapa harus kembali dan ternyata dia adalah Gilang laki-laki yang akan dinikahkan denganku.
Permainan baru apalagi ini takdir?