Bab 8 - Takdir Berpihak?

1500 Kata
**** Gilang Pov.    Entah kegilaan apa yang telah kulakukan, menerima Aila menjadi pengganti Siska yang merupakan perempuan pilihan orang tuaku kenyatannya dia lebih memilih karir modelingnya daripada pernikahan yang tinggal menghitung hari lagi. Ada sedikit rasa kecewa datang menghinggapi karena sepertinya perempuan pilihan mama itu tidak terlalu menghargai ikatan pernikahan tetapi aku tetap bersyukur karena Allah lebih cepat memperlihatkan sikap aslinya. Mereka langsung menghubungi orang tuaku dan mengabarkan berita yang cukup membuatku tercengang bahkan mama sampai menangis melihat sikap asli calon menantu pilihannya itu tak sesuai dengan penilaiannya. Ku akui perempuan yang akan menggantikan posisi Siska adalah perempuan yang sejak dulu kusukai, kami bertemu dipinggir jalan. Dia mandiri dan cukup membuat mama merasa lega karena pernikahan ini setidaknya tidak akan membuat malu keluarga karena dibatalkan. Tetapi ayahnya mengatakan sesuatu yang sangat sulit kupercayai, bukan sulit kupercayai tetapi memang takkan mungkin kupercayai sampai kapanpun, kami pernah dekat bahkan saling mengenal satu sama lain. Namanya Aila Permatasari, perempuan yang membuatku merasakan arti dari kata Cinta pandangan pertama dan membuat orang sepertiku rela melakukan apapun agar senyum Indah tercipta pada wajahnya. Ucapan ayahnya kembali tergiang dalam fikiranku. "Saya meminta maaf nak Gilang, Siska pergi meninggalakan rumah tanpa jejak sama sekali mengingat pernikahan tinggal menghitung hari maukah nak Gilang menerima Aila sebagai pengganti, akan tetapi ia sudah kehilangan mahkotanya" Tidak ada pilihan lain selain menyetujui semuanya, tetapi ada perasaan janggal dalam diriku. Hatiku tak bisa mempercayai sosok Aila menjadi perempuan serendah itu. Apalagi sampai bekerja di sebuah hiburan malam? Sangat sulit dipercayai. Awalnya aku mengira Aila-lah yang akan menjadi istriku akan tetapi itu diluar rencana Allah, semua diluar perkiraanku sendiri Tetapi sepertinya Allah mendengar apa yang ku ingini,Aila kini yang menjadi calonku. Dan dia akan menjadi teman hidupku sebentar lagi Aila Perempuan yang telah memikat hatiku beberapa tahun lalu, entah diriku mengira itu hanyalah Cinta monyet pada anak smp tetapi itu berlanjut hingga detik ini. Membayangkan wajah tenang perempuan itu membuat detak jantungku berpacu cukup cepat. Saat ia marah karena aku malah mengejeknya pendek, wajah kesalnya seakan menjadi hiburan tersendiri yang masih kuingat dengan jelas sampai saat ini. ~flashback on "Aku engga pendek kakaknya aja yang ketinggian." aku memperhatikan wajah kesal Aila sangat lucu. "Terima aja kenapa sih! Kamu memang pendek kok." ia menoleh padaku dan melototkan matanya pertanda bahwa ia sudah sangat marah sekarang. "Kenapa? Itu mata kamu kenapa?" ia semakin merenggut kesal. "Aku pulang." ia berdiri kemudian melangkah menjauhi taman,Bukannya mengejarnya aku hanya tersenyum pelan di tempat merasa sangat senang karena mengerjai Aila. "Jadi ceritanya lagi ngambek nih?" aku semakin tertawa kecil saat wajah itu semakin tertekuk, aku menyamai langkahku dengan Aila dan perempuan berjilbab tosca ini seakan tidak peduli tetap berjalan kedepan. "Yaudah deh! Kakak minta maaf. Engga ngomong kayak gitu lagi." aku berusaha membujuk, dia menghentikan langkahnya kemudian menatapku kesal, tangannya terlipat didepan d**a. "Maaf ya?" pintaku lagi, "Engga mau. Kakak ngatain aku pendek." judesnya, ia kembali berjalan. Aku tertawa kecil ditempat sambil menggelengkan kepala melihat betapa kekanakannya sikap Aila tetapi bukannya risih tetapi aku malah suka karena itu berarti dia nyaman bersamaku, wajah Aila benar-benar lucu jika sedang kesal Seperti ini. "Yaudah. Aila mau apa?" tanyaku setelah berhasil berada di dekatnya lagi. "Apa ya..." rasanya aku sangat ingin mencubit pelan pipi itu sekarang juga, wajahnya yang sedang berpikir seperti ini benar-benar menggemaskan tetapi aku urungkan karena Aila akan semakin kesal jika aku melakukannya. "Beliin aku es krim 5." Aila memperlihatkan semua jari tangan kanannya seolah memperlihatkan jumlah eskrim yang dia mau, perempuan benar-benar tidak bisa jauh dari makanan manis satu itu. "Tapi kalau kakak udah beliin kamu maafin ya?" hatiku menghangat saat melihat betapa antusiasnya dia menanggapi ucapanku, binar matanya benar-benar terlihat bahagia seakan tidak sabar menunggu 5 es krim itu berada ditangannya. "Kamu itu sudah besar tapi masih aja suka eskrim." ucapku santai "Kak..." aku tau itu adalah peringatan, aku segera menaikkan kedua jariku di hadapan wajahnya menandakan perdamaian. Dapat kudengar dia mendengus kesal tetapi aku hanya tertawa kecil, "yaudah ayo... Kita ke supermarket untuk beliin tuan Putri eskrim." Aila dengan semangatnya berjalan didepanku dan aku hanya bisa menggelengkan kepala beberapa kali melihat betapa antusiasnya dia. Apakah semua perempuan akan seantusias itu jika dihadapkan dengan makanan manis dingin itu? Atau hanya Aila saja? Kami berdua meninggalkan taman kemudian berjalan ke supermarket terdekat untuk memenuhi keinginan tuan Putri satu ini. Aku bahagia karena Aila nyaman bersamaku. ~flashback off "Kuharap kali ini takdir benar-benar dipihak kita Aila." gumamku lirih. -Gilang Pov end- **** Mataku tetap Setia menatap rembulan sedangkan jam sudah menunjukkan pukul 2 malam, fikiranku tetap berkelana pada pernikahan yang sangat kuyakini akan memberiku luka yang cukup besar nantinya. Napasku tidak bisa tenang, jantung berpacu begitu cepat ketakutan ini takkan pernah bisa pudar sampai seribu tahun lamanya, firasatku mengatakan akan ada luka yang begitu besar menghampiriku. Mengapa kak Siska harus melampiaskan semua beban ini padaku, kenapa harus aku?, tidakkah cukup luka yang kuterima semenjak kehadirannya bersama Ibu Miranda dirumah ini. Mengambil semua perhatian ayah dan sampai ayahku sendiri tdk bisa mengenali anak kandungnya sendiri. Ingatanku kembali pada janji setiaku pada bunda, bahwa aku akan memakai cadar tepat sehari ijab kabul pernikahanku diucapkan oleh Imam yang Allah kirimkan padaku. "Non Aila belum tidur?"aku menoleh dan menemukan salah satu pembantu dirumah ini sedang berdiri di ambang pintu "Belum bi, saya memikirkan mengapa takdir sangat menyukai memberiku permainan yang sangat besar seperti sekarang ini."jawabku dan mataku kembali menatap ribuan Bintang yang saling menyinari satu sama lain. Seakan bertanding siapa pemilik cahaya paling terang. Bintang itu saja saling bertanding memperlihatkan keindahannya sedang aku malah terus menerus merenungkan takdir yang sangat suka menarik ulur perasaanku. "Non Aila harus tetap tegar Seperti Bintang yang paling kecil itu, cahayanya redup posisinya seakan paling bawah tapi lihatlah ia tetap Setia berada disana bahkan tdk memilih mundur sama sekali. Bahkan lihat Bintang dekat bulan itu. Ia sangat kecil tetapi ia seakan tersenyum dan menunjukkan pada semua Bintang yang lebih besar darinya bahwa dia bisa berada didekat bulan. Paling dekat malah," "Bulan juga selama ini selalu dipermainkan bahkan ia kadang harus mundur meredupkan cahayanya karena keegoisan hujan, kadang juga bulan harus tertutupi dengan sekumpulan awan yang begitu serakah. Tetapi apakah bulan pernah menyerah? Apakah ia pergi? Tentu tidak. Malah ia makin Setia ditempatnya tanpa perduli bagaimana banyaknya hal yang ingin memudarkannya." perempuan yang berumur 48 tahun itu datang kesisiku menjelaskan sebuah makna kehidupan melalui objek yang sedang ku tatap diatas sana. Sesekali perempuan yang bernama Hani ini mengelus punggungku menyalurkan sebuah ketegaran menandakan bahwa saya tidak sendiri. "Terimakasih bi, sekarang Aila akan berusaha setegar Bintang-bintang itu. Semenjak bunda pergi hanya bibi tetap Setia mendukung Aila" Bi Hani hanya tersenyum dan tetap menunjukkan senyum menenangkan untukku, aku kira semenjak kepergian bunda semuanya ikut pergi tetapi nyatanya tidak. Ada paruh baya yang masih mendukungku, ia tetap memberikan sebuah hal yang sepatutnya ayah berikan padaku. Rasa kasih sayang yang sangat aku rindukan malah datang dari orang lain. Bukan dari ayah kandungku sendiri. Jujur saja, ayah telah berubah dari waktu ke waktu bahkan aku semakin tidak mengenalinya. Sikapnya sekarang kini tak seperti sikapnya saat bunda masih berada di antara kami. Sempat terbesit dalam benakku untuk mengusir mereka dari rumah ini tapi itu bukan sifat yang bunda ajarkan. Bunda.. Sosok malaikat yang selalu mengajarkan banyak hal padaku termasuk bersikap baik kepada setiap orang meskipun mereka orang paling jahat sekalipun, tetapi yang menjadi pertanyaanku saat ini adalah apakah aku harus tetap bersikap baik pada ayah yang tega mengatai Putrinya sendiri? "Bi.. Apakah bibi juga berfikir bahwa aila adalah perempuan rendah seperti yang ayah tuduhkan?"tanyaku tanpa menatapnya sama sekali, berusaha menyiapkan hati jika bi Hani juga ikut mengataiku. "Non,bibi ada dirumah ini sebelum non lahir dan bibi tetap ada disini sedang non sudah sebesar ini!  Bibi hafal sikap nyonya dalam mendidik Putri semata wayangnya dan bibi sangatlah yakin bahwa itu tidaklah benar, tuan hanya sedang dibutakan oleh kenyataan serta bukti yang ibu miranda berikan. Tetap bersabar ya non. Allah pasti memberikan yang terbaik" aku tersenyum lega mendengarkan perkataan bi Hani, ada rasa yang tidak bisa kujelaskan mendengar kata demi kata yang ia ucapkan. "Terimakasih bi" ucapku lirih sambari memeluknya erat, berusaha merasakan kehangatan yang begitu kurindukan. Dan dapat kurasakan bi Hani tersenyum dan mengelus pelan punggungku. Berusaha menguatkan perempuan rapuh sepertiku. "Bundamu pasti bersedih karena melihat putrinya seperti ini." perkataan Bi Hani membuatku tertegun kembali mengingat ucapan ibu itu. "Bi?" panggilku "Kenapa Non?" tanyanya pelan "Teman lama Bunda kemarin menemuiku dan mengatakan jika ia memimpikan Bunda." kataku dengan suara yang cukup pelan, tapi aku yakin Bi Hani masih bisa mendengarnya. "Memimpikan bagaimana Non?" "Katanya dia melihat Bunda sedang bermain ayunan tetapi saat ia berusaha menggapainya tapi ia tidak bisa. Saat Bunda berbalik kata teman lamanya itu Bunda seperti habis menangis, matanya sembab." aku memejamkan mata sejenak berusaha mengingat senyum lembut Bunda, suara menenangkannya, segala perhatiannya padaku, aku begitu merindukan dia ada disini. "Mungkin karena teman lamanya selalu memikirkannya makanya terbawa mimpi. Nyonya itu sudah bahagia disana dan dia pasti akan sangat bahagia lagi jika melihat putrinya selalu tersenyum dan engga cengeng seperti ini." aku melepaskan pelukanku, sambari tertawa aku menghapus bekas air mata di pipiku. Perkataan Bi Hani memang benar Bunda akan selalu bahagia jika aku juga bahagia disini. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN