Chapter 6

1065 Kata
"Maaf Mas, maaf. Baik akan saya ambilkan," balas petugas mini market beberapa kali menundukkan kepalanya meminta maaf. Meskipun ia sedikit merasa takut melihat ekspresi marah Zavier. Namun, ia juga merasa kagum dengan sikap laki-laki itu. Di luaran sana, mana ada laki-laki yang mau membeli pembalut untuk pasangannya. Sementara Zavier, meskipun ia memiliki tubuh yang tinggi kekar, ia tidak merasa malu membeli barang yang sangat sensitif untuk dibeli para lelaki. Setelah membeli pembalut, Zavier bergegas kembali ke cafe. Ia takut Flora akan pergi karena terlalu lama menunggunya. Karena ia hanya berjalan kaki, sibuk mencari, dan berdebat dengan petugas mini market. Jadi ia menghabiskan waktu sampai tiga puluh menit lebih. Zavier berlari agar cepat sampai di cafe. Ketika ia baru sampai di pelataran cafe. Ia menoleh dan melihat Flora duduk sambil termenung dari balik kaca. Mungkin wanita itu bertanya-tanya ke mana Zavier pergi yang harus membutuhkan waktu lama. "Ini Flo," kata Zavier menyerahkan bungkusan plastik besar dengan nafas yang memburu. "Apa ini?" tanya Flora mengernyitkan dahinya. "Keperluan pribadi untukmu. Aku tidak tahu harus membeli yang mana. Jadi, aku membeli semua jenis pembalut yang ada di mini market," sahut Zavier membuat seluruh isi cafe menatapnya. Semua wanita yang ada di dalam cafe saling berbisik. Mereka menatap Zavier dengan tatapan kagum. Mereka juga menatap Flora dengan tatapan iri. Bagaimana bisa Flora mendapatkan laki-laki sesempurna Zavier? Masalah wajah tidak diragukan lagi. Karena ketampanan Zavier melampaui batas normal ketampanan seorang laki-laki. Ia juga kaya dan penuh perhatian. "Beruntung sekali wanita itu." "Andai saja kekasihku sama seperti dia. Maka, aku akan sangat bahagia." "Apa ada laki-laki lain di luaran sana yang seperti dia? Jika ada, maka aku ingin mengencaninya." "Andai aku kekasihnya dan dia kekasihku. Maka tidak ada hal lain yang aku inginkan lagi di dunia ini." Para wanita saling berbisik dan menggumamkan kata-kata pujian untuk Zavier. Sementara sang topik pembicaraan, ia hanya fokus pada Flora yang sibuk menutupi debaran jantungnya. Sepertinya, kali ini Zavier berhasil merebut hati Flora. "Apa kau yang membelinya?" tanya Flora ragu. Bisa saja Zavier meminta orang lain untuk membelinya agar terlihat keren di depan Flora. "Tentu saja iya. Mana mungkin aku menyuruh orang lain untuk membelikannya. Sedangkan di sini, aku tidak mengenal siapapun," sahut Zavier. "Apa kau tidak malu," tanya Flora lagi dengan dahi yang berkerut. "Tidak! Sebenarnya aku malu, tapi aku tidak punya pilihan lain karena kau begitu membutuhkannya," balas Zavier menggeleng pelan. Apapun akan ia lakukan demi mendapatkan hati Flora. "Aku tidak menyangka ada laki-laki seperti Zavier. Di luaran sana mana ada laki-laki yang mau membeli pembalut di mini market," bisik Flora dalam hati. Ia merasa kagum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Zavier. "Ya sudah, aku ke toilet dulu sebentar," kata Flora menyambar bungkusan plastik pemberian Zavier. Kemudian ia bergegas melangkahkan kakinya menuju toilet dengan langkah besar. Namun baru satu langkah, Zavier sudah mencekal lengannya. "Tunggu!" cegah Zavier. "Kenapa?" Flora menoleh ke belakang dan bertanya dengan kening yang berkerut. "Sebentar," sahut Zavier. Ia bangkit berdiri dan melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Kemudian, ia memasangkannya di pinggang Flora, untuk menutupi bercak merah yang ada di gaun wanita itu. Pipi Flora memerah karena malu. Ia menyentuh pipinya agar Zavier tidak melihatnya. Jika laki-laki itu sampai melihatnya. Maka akan ditaruh mana wajahnya itu. "Terima kasih," kata Flora. Setelah mengucapkan kata terima kasih, Flora langsung menuju toilet. Ia tidak ingin Zavier melihat dirinya yang sedang kacau. Apalagi jika Zavier sampai mendengar detak jantungnya. Apa ia akan ketahuan karena saat ini ia mulai tergoda dengan sikap romantisnya? Benar. Zavier memang benar-benar romantis. Di luaran sana belum tentu ada laki-laki sempurna seperti Zavier. "Ya Tuhan! Apa yang salah dengan jantungku?" gumam Flora menyentuh dadanya dengan tatapan mata yang fokus ke depan. Ia menatap pantulan wajahnya yang memerah di cermin. Terlebih telinganya yang sedari tadi ia tahan untuk tidak menyentuhnya. "Tarik nafas dalam-dalam Flo, lalu hembuskan," gumam Flora lagi. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia melakukannya hingga berkali-kali sampai detak jantungnya bisa dikontrol kembali. Merasa detak jantung dan ekspresinya sudah bisa dikendalikan. Flora masuk ke salah satu bilik dan dengan cepat melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia keluar dalam waktu sepuluh menit. Ia kembali mengatur nafas sebelum akhirnya keluar. Namun ketika ia kembali, ia tidak mendapati sosok Zavier di sana. Mungkin laki-laki itu mencoba menarik ulur hati Flora. "Dia ke mana?" lirih Flora bertanya pada dirinya sendiri sambil mengedarkan pandangannya. Tiba-tiba terdengar notifikasi di ponselnya. Ia melihat nama Zavier terpampang jelas di layar ponselnya. Ia mengusap layarnya dan membaca pesan masuk. "Maaf aku pergi tanpa berpamitan. Tiba-tiba, ada sesuatu di perusahaan yang memaksa aku untuk buru-buru pergi." "Tidak masalah. Terima kasih untuk hari yang luar biasa ini." Flora mengetik pesan dan memencet tombol kirim. *** Beberapa bulan berlalu, hubungan antara Flora dan Zavier semakin dekat. Mereka sering pergi bersama sekedar untuk menghabiskan waktu luang. Zavier selalu memberikan kejutan-kejutan yang tidak pernah Flora dapatkan sebelumnya. Sampai pada suatu hari, Zavier mengungkapkan perasaannya dan bukan meminta Flora untuk menjadi kekasihnya. Namun ia langsung melamar, meminta Flora menjadi pendamping hidupnya. "Beberapa bulan aku mengenalmu, aku rasa sudah terlalu cukup untuk menjadikanmu bagian dari hidupku. Maukah kau menjadi kekasihku? Ah, tidak, tidak. Maukah kau menjadi pendamping hidupku? Maukah kau menjadi ibu dari calon anak-anakku?" Zavier berlutut memegang sebuah cincin berlian. Ia sengaja mengajak Flora ke cafe favorit wanita itu. Di hadapan semua pengunjung cafe, ia melamar Flora begitu romantisnya. Sementara Flora, ia menutup mulutnya yang terbuka lebar. Ia tidak percaya dengan apa yang ia alami saat ini. Ia tidak percaya bahwa Zavier melamarnya di depan banyak orang. "Maukah kau?" tanya Zavier lagi yang kemudian diangguki oleh Flora. "Iya, aku mau," sahut Flora, yang kemudian disambut suara tepukan tangan yang sangat meriah dari para pengunjung. Zavier meraih tangan kanan Flora dan menyematkan cincin di jari manisnya. Setelah itu, ia berdiri mengecup kening Flora dan memeluknya. "Terima kasih karena sudah mau menerima lamaranku," bisik Zavier di telinga Flora. "Maukah kau berdansa denganku?" ajak Zavier. "Tentu!" sahut Flora. Mereka berdua berdansa ditemani cahaya bulan dan bintang. Flora meletakkan kepalanya di bahu Zavier. Ia merasa hari ini adalah hari yang paling membahagiakan baginya. Hari terindah di sepanjang kehidupannya. Ini pertama kali baginya mendapatkan pria yang benar-benar mencintainya. Karena selama ini, laki-laki yang mendekatinya selalu pergi karena tidak tahan dengan sikap dinginnya. "Terima kasih, Zavier," gumam Flora. "Untuk?" "Untuk segalanya. Meski kita belum lama saling mengenal. Tapi aku benar-benar bahagia bisa selalu bersamamu." "Tidak. Justru aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Karena kau mau menerimaku sebagai pendamping hidupmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN