"Dewa, siapa gadis itu?" tanya Utami yang tanpa sengaja melihat Maura sedang memperhatikan mereka dari kejauhan.
Dasar bocah. Bisa-bisanya dia mengintip disana." Dewa mengumpat dalam hati sambil memperhatikan Maura dari kejauhan.
"Aduh! Gawat, kenapa bisa ketahuan sih. Dasar Maura kamu kenapa terlalu ceroboh." Gadis itu mengumpat dirinya sendiri sambil memukul jidatnya. Berharap mendapatkan informasi tentang siapa tamu yang menemui sopir sekaligus suaminya, ia justru ketahuan.
"Aku masuk dulu." Dewa segera berjalan ke arah Maura yang masih berdiri di balik pintu.
"Sedang apa kamu di sini? Apa kamu nggak dengar kalau aku memintamu masuk ke dalam kamar."
"Enggak mau. Ingat ya, kamu itu hanya seorang sopir jadi kamu nggak berhak memerintahku seperti ini." Maura langsung membentak Dewa sambil bertolak pinggang. Ucapan gadis itu rupanya membuat Dewa sangat kesal. Ia segera menarik tangan Maura ke arah kamar.
"Lepas! Lepasin nggak. Kamu nggak bisa memperlakukan aku seperti ini, dasar pria sinting." Maura terus memaki Dewa yang masih memegang tangannya dan menariknya ke arah kamar. Pria itu terus menarik Maura seperti seekor kambing. Ia seolah tidak mendengar setiap teriakan dan u*****n yang keluar dari mulut gadis itu.
Beberapa saat mereka pun sudah berdiri di depan kamar. Dewa segera membuka pintu dan langsung mendorong tubuh Maura masuk ke dalam kamar.
"Kamu diam di sini, sampai aku memerintahkanmu untuk keluar." Dewa langsung menutup pintu kamar dan segera menguncinya dari luar.
"Eh, pria sinting! Cepat buka pintunya atau aku laporkan kamu pada Papa ku agar dia memecatmu." Maura terus berteriak sambil menggedor pintu kamarnya. Berkali-kali gadis itu memohon. Namun, tetap tidak membuat pria itu membuka pintunya.
***
Dewa yang sudah berada di ruang tamu, segera duduk di hadapan kedua orang tuanya.
"Dewa, siapa wanita muda itu. Apa jangan-jangan kamu sudah menikah?" tanya Utami saat sang putra sudah duduk di hadapannya.
"Bukan, dia adalah adik dari salah satu temanku. Dia sengaja di titipkan ke rumah ini karena keluarganya sedang melakukan perjalanan dinas."
"Apa kamu yakin? Mama lihat gadis itu sedang hamil." Utami rupanya sempat melihat perut Maura yang sedikit membuncit. Dewa seketika panik mendengar ucapan Utami.
"Ada tujuan apa Mama dan Papa menemui ku kemari." Pria itu langsung mengalihkan pembicaraan Utami.
"Begini, tujuan kami datang kemari untuk memintamu kembali ke rumah. Kamu nggak bisa seperti ini terus, Dewa. Mau nggak mau kamu harus bersedia meneruskan perusahaan Papa."
Tidak salah lagi, mereka pasti ingin aku kembali ke rumah." Gumam Dewa dalam hati sambil langsung memalingkan wajahnya.
"Maaf, Pa. Bukannya aku nggak mau meneruskan perusahaan Papa, tapi aku ingin membuka usahaku sendiri dengan nama ku sendiri."
"Ehm … dasar anak sombong, kamu lihat dirimu sekarang. Apa kamu sudah bisa mewujudkan mimpimu, nggak 'kan. Bahkan sampai saat ini kamu masih menjadi sopir rendahan dan masih tinggal di rumah yang Papa belikan!" bentak Alex sambil berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat begitu marah dengan keputusan Dewa.
"Jadi Papa ingin aku pergi dari rumah ini! Baik, aku akan pergi dari rumah ini jika memang itu yang Papa inginkan."
Dewa segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tamu. Sementara itu Utami yang tidak ingin perseteruan antara anak dan suaminya semakin panjang segera mengejar sang putra.
"Dewa. Bukan begitu maksud Papa, Nak. Dia hanya ingin kamu belajar tanggung jawab, apalagi usiamu sudah nggak muda lagi. Sampai kapan kamu hidup sendiri seperti ini, bagaimana pun juga kamu harus menikah."
"Ma. Aku ini udah dewasa, aku berhak menentukan hidupku sendiri. Jadi Mama dan Papa nggak perlu repot-repot untuk mengatur hidupku." Dewa langsung berhenti dan segera menoleh ke arah Utami yang ada di sampingnya.
Kedua mata wanita paruh baya itu terlihat mulai berkaca-kaca. Ia seakan menahan luka dan harapan yang besar pada putra semata wayangnya.
"Dasar anak tidak tahu diri!" bentak Alex yang berdiri tidak jauh dari Dewa dan Utami. "Sudah. Ma, kamu nggak perlu mengemis pada anak ini, lebih baik sekarang kita pergi dari rumah ini."
"Tapi. Pa, semua ini bisa di bicarakan baik-baik. Berikan Dewa waktu untuk berpikir dulu, Mama yakin dia pasti mau meneruskan perusahaan Papa." Utami kini mencoba meyakinkan Alex untuk memberikan kesempatan pada sang putri. Kini terlihat jelas tatapan mata Dewa dan Alex yang penuh dengan kemarahan dan kebencian satu sama lain.
"Tidak perlu. Sekarang ayo kita pergi dari rumah ini, biarkan dia selamanya menjadi sopir murahan." Alex segera meninggalkan rumah itu tanpa mempedulikan sang istri yang masih berdiri di dekat Dewa.
"Nak. Mama mohon pikirkan semuanya baik-baik, ini semua demi masa depanmu." Pesan Utami sebelum ia pergi mengikuti Alex yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Sesaat setelah kepergian kedua orang tuanya, Dewa yang tidak dapat lagi menahan emosinya langsung berteriak dengan kencang hingga membuat semua orang terkejut, termasuk Maura yang saat itu ada di dalam kamarnya.
"Dasar pria sinting! Dia pikir rumah ini hutan bisa berteriak sesuka hati." Umpat Maura yang saat itu duduk di tempat tidur.
***
Setelah kejadian siang itu, Dewa memutuskan untuk menenangkan diri di sebuah club malam. Ia terlihat menikmati berbagai minuman dan alunan musik.
Cukup lama ia berusaha menenangkan pikirannya dengan menikmati minuman keras. Hingga akhirnya pria itu memutuskan untuk pulang.
"Mbok! Mbok Darmi.” Dewa berteriak sambil mengetuk pintu rumahnya. Mbok Darmi yang saat itu sudah terlelap dalam tidurnya. Langsung terbangun dan segera bergegas menuju ke ruang tamu.
"Astagfirullahaladzim!" Mbok Darmi yang baru saja membuka pintu langsung terkejut, saat tubuh kekar pria itu jatuh di hadapannya.
"Cepat tutup pintu dan kembali ke kamarmu." Pria itu kini berjalan ke arah kamarnya dengan sempoyongan. Berkali-kali pria itu terlihat terjatuh selama perjalananan ke arah kamarnya.
"Ya Allah, Tuan. Mari saya bantu." Wanita paruh baya itu langsung menganggkat tubuh Dewa yang sudah terbaring di lantai.
"Nggak perlu! Lebih baik cepat kamu masuk ke kamar sekarang."
Pria itu mendorong tubuh renta Mbok Darmi dengan kasar. Dewa yang benar-benar hilang kesadaran kini mulai berjalan ke arah kamar Maura. Dengan segera ia membuka kunci kamar tersebut hingga membuat gadis muda itu terkejut.
"Mau apa kamu kemari."
"Kenapa, bukankah aku suami mu. Jadi aku berhak meminta hak ku sebagai seorang suami." Dewa tersenyum sambil memegang pundak gadis itu dengan kencang.
Suami. Dasar tidak tahu malu, bisa-bisanya dia menyebut dirinya suami." Maura berbicara dalam hati sambil berusaha melepaskan diri dari tangan Dewa.
"Malam ini kamu terlihat begitu cantik." Pria itu menatap wajah Maura dengan lekat. Perlahan ia mulai mendekatkan wajahnya ke arah Maura. Melihat hal itu gadis muda itu segera menutup kedua matanya.