Tatapan kaget, dengan eksfresi yang berbeda-beda terlihat pada wajah tampan, ke lima cowok yang kini menatap syok, Samuel. Yang baru saja mengeluarkan sebuah kata yang berhasil menyihir mereka dalam sekejap.
Samuel mengusap wajahnya kasar. Se syok itu kah mereka. Hingga diam selama bermenit-menit, dengan terus menatap kearahnya. Samuel tersentak kaget. Saat tiba-tiba Bagas, mencengkram ke dua sisi bahunya dan menguncang-guncangkannya. "Lo mau nikah?"
"Lo beneran mau nikah!"
"Sam.... demi apa, lo udah tunangan tanpa ngasih tau kami. Selama ini lo anggap kami, apa?.... astaga, gue masih syok!" Heboh Bagas.
"Gak usah ngedrama. Jijik gue liat muka lo yang so ngedramatis, gini." Jino geleng-geleng masih tak percaya. "Gila. Dua kali gue dapet berita kaya gini. Yang pertama ngawinin, yang kedua mau nikahin anak orang." Cerca Jino. Samuel memutar bola matanya, jengah. "Percaya, gak percaya lo semua. Tapi ini emang kenyataannya. Gue udah tunangan dari tiga bulan yang lalu." Ucap Samuel.
Kelima cowok itu, sama-sama terdiam. Hening sejenak, hingga suara rintihan pelan, terdengar ke lima cowok itu. Dan mengalihkan pandangan mereka pada sosok Kara, yang perlahan mengerjapkan kelopak matanya. "A-arga, k-kenapa kamu disini?" Lirih Kara, saat pandangannya menangkap sosok Samuel.
Kara terpaku, melihat lima cowok yang sedang menatap ke arahnya. "Arga.... mereka?"
******
Malam pun tiba. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Kara tersenyum tipis, pada kelima teman Samuel yang pamit untuk pulang. Ke lima cowok itu, sangat betah berada di rumah sakit. Mereka bahkan tak mengganti seragam mereka. "Kami pulang dulu. Tapi besok, pasti kami bakalan kesini, lagi. Dan bawain sweety queen buah-buahan." Ujar Jino.
"Gak usah repot-repot. Aku gak mau, kalian bolos." Ucap Kara, lembut.
"Aih.... suaranya itu loh Teh, alus pisan ey." Ujar Adi.
"Kami bukan bolos. Cuman, gak ikut pelajaran aja." Samuel menutup setengah wajahnya dengan tangannya. Menghela nafas gusar. "Pintu keluarnya disana. Kalo keluar, jangan lupa tutup pintunya, lagi." Usir Samuel. Dengan cara yang paling halus.
Jino berdecih. Kemudian berlalu keluar, setelah menyempatkan melempar senyuman pada Kara. Kara terkekeh pelan. Ternyata teman-teman Samuel, sangat humoris dan baik dari dugaannya. Apalagi Jino.
Samuel dapat menghela nafasnya lega, setelah semua temannya pergi.
"Mereka, baik ya, Ar." Ujar Kara. Samuel hanya berdeham kecil, dan duduk di sofa. Kemudian mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. "Mulai sekarang. Kita akhirin aja." Ujar Samuel. Kara membulatkan matanya, kaget. Apa yang dimaksud Samuel, apa yang diakhiri?
"M-maksudnya?" Tanya Kara, deg-deg an.
"Gue mau.... lo tujukin identitas, asli lo. Gak ada lagi kecamata nerd, dan tentang pertunangan kita, gue harap ini udah gak jadi rahasia, lagi. Biarin orang lain tau hubungan kita, tapi.... bukan sebagai tunangan melainkan sebagai pasangan kekasih. Gue udah gak mau ambil resiko, lagi. Keselamatan lo lebih penting." Jelas Samuel, dengan satu tarikan nafasnya. Kara terpaku. Dengan pipi yang bersemu merah. "T-ta-tapi-"
"Gue tunangan lo. Gue tau mana yang terbaik buat, lo." Potong, Samuel. Tegas. Kara mengangguk, pelan. Apa yang diucapkan Samuel benar. Semua untuk kebaikannya. "Ar. Aku sampai kapan disini?" Tanya Kara. Setelah keheningan menjebak mereka.
"Tunggu luka lo sembuh total." Balas Samuel. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya yang menyala. Kara menghela nafasnya. Berada di rumah sakit, bagaikan berada di dalam sel penjara, bagi Kara. Perlahan Kara memejamkan matanya, dan bernafas dengan teratur.
"Minum obat lo, dulu." Tegur Samuel. Membuat Kara, kembali terjaga. Melihat Kara yang kesulitan. Samuel membuang nafasnya pelan, menyimpan ponselnya. Dan membantu Kara untuk bangun.
Dua pil obat, Samuel berikan pada Kara, seraya dengan air minumnya. Kara meminum obatnya dengan cepat, dan memejamkan matanya. Rasa pahit obat, yang diminumnya seperti berbekas di tenggorokannya. Entah repleks atau bukan, Kara menarik kaos oblong yang dipakai Samuel dan memuntahkan isi perutnya ke sana. Kara sangat mual, karna obat yang di minumnya tadi.
Keduanya seperti patung. Sama-sama kaget dengan yang terjadi. Samuel mengedipkan matanya beberapa kali, dan berdeham. Pandangannya menatap lurus kaos yang dipakainya. "A-arga, a-aku gak sengaja. Ta-"
"Bersihin mulut lo." Ucap Samuel memotong ucapan Kara, sembari memberikan tisu pada Kara.
"Minum." Kara menurut. Setelah mengelap sudut bibirnya. Kara meminum air yang di berikan Samuel hingga habis.
"Maa-"
"Istirahat. Gue keluar sebentar, kalo butuh sesuatu panggil suster, selama gue pergi." Lagi-lagi, Samuel memotong ucapan Kara.
"Iya." Balas Kara, setelah terdiam. Kara menatap Samuel yang keluar dari ruangannya, dan tersenyum miris. Apakah Kara selalu merepotkan dan membuat susah Samuel?