Kara mengerjabkan matanya beberapa kali, dan terdiam sejenak seperti orang linglung saat mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang di tempatinya. Terasa begitu berbeda.
Aneh. Kara menekan keningnya dan tersentak. "Astaga. Ini kamar Arga." Kaget Kara, ia baru ingat jika semalam dirinya ketakutan dan meminta untuk tidur di kamar Samuel.
Kara menatap sofa yang semalam di tempati Samuel. Namun sekarang sudah kosong, dan selimutnya pun malah dipakai oleh Kara sekarang. Kara bergegas bangun dan membereskan tempat tidur Samuel terlebih dahulu. Setelah itu pergi ke kamarnya untuk mandi.
Hari ini adalah hari sabtu, sekolah libur. Jadi Kara tak perlu buru-buru, karna yang dilakukannya hari ini mungkin hanya bersih-bersih dan menonton tv. Kara yang hendak masuk ke kamarnya. Dikaget kan dengan suara benda yang terjatuh, dan suara itu berasal dari dapur. Karna panik, takut ada pencuri atau orang asing yang masuk. Kara segera pergi ke dapur dengan membawa tongkat kayu, untuk berjaga-jaga.
Kara mematung. Mata bulatnya tambah membulat, dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Tongkat di tangannya reflek jatuh ke lantai, karna syok melihat pemandangan di depannya. "Arga, kamu apain dapurnya?" Tanya Kara, kaget.
"Gue masak nasi goreng, sekalian bikin jus buat gue." Ujar Samuel ketika sadar dengan kehadiran Kara. Kara mengedipkan matanya sekali dan kembali menatap seluruh dapurnya yang berantakan. Sepertinya pekerjaan Kara bertambah lagi hari ini.
"Kenapa gak bangunin aku aja?" Tanya Kara setelah semua kesadarannya terkumpul kembali.
"Males." Kara menghela nafasnya pelan. "Belendernya kenapa bisa jatuh gini. Terus juga isi nya kenapa bisa tumpah kemana-mana?" Tanya Kara, lagi.
"Tadi gue lupa tutup belendernya." Jawab Samuel, tanpa dosa.
Mendengar jawaban Samuel, Kara hanya bisa menghela nafas pelan lalu berjongkok memungut belendernya yang tergeletak di bawah, dan menaruhnya di meja. Entah bagaimana ceritanya hingga belendernya saja sampai jatuh kelantai. Kara mengambil serbet. Dan mulai mengelapi lantai yang basah oleh genangan jus yang di sebabkan oleh ke teledoran Samuel. "Kamu mandi dulu aja, biar aku beresin ini." Suruh Kara.
Samuel mengambil alih serbet di tangan Kara, dan menatap malas. "Gue yang berantakin, berarti gue juga harus ikut beresin." Ujar Samuel.
******
Kara meneliti semua sayuran lalu menoleh pada Samuel, yang nampak acuh berdiri di depan sebuah rak bumbu-bumbu dapur. "Nanti malem, mau makan apa?" Tanya Kara.
"Terserah.... asalkan gak asin." Balasnya cuek. Kara mengangguk. Tangannya mengambil beberapa jenis sayuran, lalu menaruhnya ke troli belanjaannya yang sudah diisi ikan dan daging.
"Ar.... bisa ambilin itu gak." Pinta Kara menujuk botol saos dan kecap yang berada di rak paling atas. Kara yang tingginya hanya 163, masih tak bisa menggapainya, dibandingkan dengan Samuel yang tingginya kira-kira hampir 186. Entah bagimana Samuel bisa mendapatkan badan se tinggi itu. Terkadang Kara bingung. Banyak usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan tinggi badan yang memuaskan. Tapi hasilnya tetap saja sama, mentok di 163. Syukur-syukur naik 1cm kek.
"Pendek." Hina Samuel dengan gumaman pelan. Seraya mengambil kan botol kecap dan saos yang dipinta Kara. "Aku gak pendek, Ar. Cuman kurang tinggi, dikit aja." Komen Kara tak terima gumaman Samuel.
Samuel memutar bola matanya. Bejalan menuju lemari pendingin, mengambil satu botol colla berukuran sedang kemudian menaruhnya ke dalam troli.
Setelah merasa cukup, dengan yang di perlukan. Kara mendorong trolinya menuju kasir.
"Ini aja, Mbak?" Tanya petugas kasir laki-laki itu. Diangguki Kara.
"Sekalian, ini juga." Kara membulatkan matanya kaget. Melihat Samuel menaruh banyak bungkusan chiki, yang beraneka rasa ke meja kasir. "Arga.... ini gak kebanyakan?" Pertanyaan itu diacuhkan oleh Samuel. Yang hanya bereksfresi datar.
"Ini, Mbak. Totalnya jadi 420 ribu." Setelah mengambil semua plastik berisi belanjaan mereka. Samuel memberikan kartu atm nya, menerimanya kembali dan berlalu pergi dengan langkah lebar. Kara menambah cepat langkah kaki nya, menyamakan langkahnya dengan Samuel. Tanpa berani berkomen apa-apa, selain menghela nafas.
******
Hari sudah menjelang malam. Namun tak sedikitpun memperlihatkan tanda-tanda Samuel pulang. Tadi, setelah mengantarkan Kara. Samuel langsung pergi, tanpa bilang kemana nya. Kara yang baru mengganti baju nya dengan piyama tidur, menatap sendu makanan yang di hidangkannya di meja makan, belum sedikitpun disentuh.
Kara menghela nafasnya penjang, rasanya sia-sia saja dirinya memasak. Dengan gontai, Kara masuk ke kamarnya membaringkan badannya ke kasur lalu menatap kosong lelangitan kamarnya, hingga perlahan mulai memejamkan matanya.
Kara membuka kembali matanya. Diam sejenak dan meraba nakas, mengambil ponselnya yang berdering. Saat mengecek ponselnya. Satu panggilan terlewatkan dari Samuel, namun beberapa saat kemudian Samuel mengirimkan pesan chat kepada Kara. Dengan gercep, Kara membuka isi chat itu dan terdiam.
Arga
Mlm in gue gk plng.
Perlahan jari lentik Kara, mulai mengetik beberapa huruf untuk balasan pesan Samuel.
Oke.
Kara tak ingin banyak bertanya. Toh mungkin, bukan urusannya. Jadi buat apa peduli dengan apa yang di lakukan Samuel.
******
Dengan tampang sedikit lelah. Samuel masuk ke dalam apartemennya yang begitu sepi. Tentu saja, karna Kara mungkin sudah tidur. Melihat jam yang sudah menujukan pukul sebelas malam. Helaan nafas terdengar begitu pelan. Ketika Samuel melihat makanan, yang tersaji utuh di atas meja makan. Terselip rasa bersalah ketika dirinya lagi-lagi, mengecewakan Kara.
Samuel menarik kursi. Mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan juga lauknya, kemudian mulai makan. Selesai makan. Samuel pergi ke kamar mandi terlebih dahulu, mengganti pakaiannya. Dan berjalan keluar kamarnya. Niatnya hendak mengambil air minum. Tapi karna melihat pintu kamar Kara yang tak tertutup rapat, mengurungkan niat Samuel. Tatapan mata Samuel terpaku, melihat Kara yang tidur meringkuk di atas kasurnya dengan tangan yang memegangi perut, seperti orang kesakitan.
Samuel segera menghampiri Kara. Menaruh gelas yang di pegangnya ke nakas. Dan mengamati wajah Kara yang memucat. Bibir ranum nya pun bergetar menahan ringisan kesakitan. Samuel menepuk pelan pipi Kara. Mencoba membangunkannya.
"A-arga.... kamu kenapa disini?" Tanya Kara dengan suara yang sangat lirih. Ketika matanya menangkap sosok Samuel yang sedang membangunkannya.
"Lo kenapa, sakit?" Tanya Samuel, tanpa memperdulikan pertanyaan Kara. Kara mengubah posisinya menjadi duduk. Dan menggeleng pelan. "Aku gakpapa." Pandangan tajam Samuel yang tadinya menatap wajah pucat Kara, beralih pada tangan Kara yang meremas perutnya sendiri. "Perut lo sakit?" Kali ini, Kara mengangguk.
"Biasanya lo minum obat apa kalo sakit perut kaya gini?" Kara menggeleng. "Aku gak perlu obat."
"Terus lo butuhnya apa?" Tanya Samuel bingung. Kara menundukan kepalanya malu. Menatap diam-diam Samuel yang juga sedang menatapnya bingung.
"Pembalut." Cicit Kara. Pipinya sudah merona malu.
"Hah?!" Beberapa detik pikiran Samuel langsung blank. Mata nya berkedip sekali. Menatap cengo Kara. Satu detik, dua detik, tiga detik. Hingga Samuel mulai tersadar dan berdeham pelan. Aura dinginnya langsung lenyap akibat wajah blank nya tadi.
"Aku lagi dapet. Kamu bisa tolong beliin aku pembalut?" Ulang Kara, amat pelan. Seperti bisikan di telinga Samuel.
Samuel menegakan badannya, mengusap lehernya, salah tingkah. "K-kenapa gak lo aja."
Bodoh. Kau Samuel. Yang benar saja, menyuruh wanita keluar malam-malam!
Samuel malu. Hei.... ini pertama kali nya Samuel malu dan gugup seperti ini. Bayangkan saja, cowok cuek yang males diribetkan dengan cewek. Harus membeli barang, yang cukup memalukan jika cowok yang membelinya.
Kara menggeser badannya. Hingga terlihat bercak merah, mengotori seprai berwarna pink, yang di tempati nya. "Arga." Melas Kara. Samuel merasa pipinya seperti di bakar. Terasa sangat panas.
Malu. Sungguh sangat malu. Tanpa banyak bicara. Samuel langsung bergegas keluar dari kamar Kara, dengan wajah yang sudah tak karuan lagi.