Bab 5: Kutukan Medusa
Athena sering mengunjungi kuil-kuilnya di dunia manusia, memastikan bahwa para penyembahnya menjaga kesucian tempat-tempat ibadah itu. Salah satu kuilnya yang paling megah terletak di tepi pantai, dikelilingi oleh pepohonan yang hijau dan penuh kedamaian. Di sana, para pendeta dan pendeta perempuan melayani Athena dengan penuh kesetiaan, termasuk seorang wanita muda bernama Medusa, yang terkenal akan kecantikannya yang menawan dan hatinya yang lembut.
Medusa adalah manusia biasa, namun kecantikannya membuatnya terkenal hingga ke Olympus. Parasnya begitu memesona, dengan rambut hitam panjang dan mata yang bercahaya. Sebagai pendeta Athena, Medusa memiliki rasa hormat yang dalam terhadap dewi pelindungnya dan menjaga kemurnian hidupnya di dalam kuil dengan penuh bakti. Namun, nasib tragis menimpanya ketika Poseidon, dewa laut yang berkuasa dan impulsif, tertarik padanya.
Suatu hari, Poseidon melihat Medusa di kuil Athena dan terpesona oleh kecantikannya. Didorong oleh hasratnya, Poseidon mendekati Medusa di dalam kuil, tempat yang seharusnya menjadi tempat yang sakral dan terlarang bagi keinginan semacam itu. Medusa, yang hanya manusia, tidak mampu melawan kekuatan seorang dewa. Tragedi pun terjadi, dan kesucian kuil Athena tercemar oleh tindakan Poseidon yang tidak dapat dihindari oleh Medusa.
Athena, yang menyaksikan apa yang telah terjadi di kuilnya, merasa marah dan terluka oleh pelanggaran yang dilakukan di tempat sucinya. Meskipun ia menyadari bahwa Medusa bukan pelaku kesalahan, rasa kecewanya begitu besar. Athena adalah dewi yang menjunjung tinggi kehormatan dan kesucian, terutama di tempat-tempat ibadahnya, dan dalam kemarahannya, ia merasa harus mengambil tindakan untuk memulihkan kehormatan kuilnya.
Dengan hati yang berat, Athena menghampiri Medusa, yang menangis dan hancur setelah peristiwa tersebut. Athena mengutuk Medusa, mengubahnya menjadi sosok mengerikan dengan rambut yang terbuat dari ular berbisa dan tatapan yang mampu mengubah siapa saja yang melihatnya menjadi batu. Kutukan ini membuat Medusa terisolasi dari dunia dan menjadi makhluk yang menakutkan bagi semua orang yang mendekatinya.
Namun, keputusan ini tidak mudah bagi Athena. Meski ia melakukannya untuk menjaga kehormatan kuilnya dan sebagai hukuman simbolis atas pelanggaran tersebut, Athena bergulat dengan rasa bersalah dan kekecewaan dalam dirinya. Ia sadar bahwa kutukan ini bukan hanya menghukum Medusa, tetapi juga mengorbankan kehidupan seorang wanita yang sebelumnya tidak bersalah dan setia.
Selama bertahun-tahun, Athena terus merenungkan keputusannya, bertanya-tanya apakah tindakannya benar-benar adil. Di satu sisi, ia tahu bahwa ia harus melindungi kehormatan kuilnya dan menghukum pelanggaran yang terjadi. Namun, di sisi lain, ia merasakan simpati mendalam terhadap Medusa yang telah menjadi korban. Athena memahami bahwa kadang-kadang bahkan dewi kebijaksanaan pun dihadapkan pada keputusan yang tidak sempurna, dan bahwa keadilan tidak selalu hitam-putih.
Tragedi Medusa menjadi pengingat abadi bagi Athena bahwa kebijaksanaan tidak hanya tentang memutuskan apa yang benar, tetapi juga tentang menanggung beban dari setiap keputusan. Meski ia harus melanjutkan tugasnya sebagai pelindung dan pejuang, di dalam hatinya, Athena selalu menyimpan kesedihan bagi Medusa—sebuah kisah pahit yang mengajarkannya tentang kompleksitas kekuasaan dan tanggung jawab.