L 03. Between You And Me

2297 Kata
[Baby Pov] "Are you ok?" Haras menggenggam tanganku. Ia menatapku cemas. Aku menarik napas dalam, kemudian tersenyum. "Aku nggak apa-apa kok." Aku balas menggenggam tangannya. Haras mengangguk. Bandara sangat ramai malam ini. Harusnya aku bisa memprediksi karena waktu liburan sudah habis, jadi kemungkinan arus balik sedang tinggi. "By.." "Hm?" Haras menatapku lama. "Kamu yakin mau ikut partisipasi Face Of ATTAIR?" Akhirnya Haras mengangkat topik ini. Itulah kenapa kemarin aku ragu memberitahunya. Tapi tidak mungkin Haras tidak diberitahu, kan? "Itu bakal sibuk banget, By. Nggak cuma itu, bakal banyak banget orang. Kalian juga handle acara puncak kan? Closing ceremony.." Aku mengangguk lagi. Haras benar. Akan ada banyak pekerjaan. Dan terpenting akan ada banyak orang. Poin pentingnya, kemungkinan besar aku akan berhubungan dengan orang yang banyak itu. "Kamu bener. Tapi.." aku tersenyum. "Aku nggak enak sama anak-anak. Nggak cuma itu, ada senior juga. Semuanya terlibat dan bekerja keras, rasanya jahat banget aku ngehindar terus, nggak pernah partisipasi. Ini bukan cuma nama fakultas aja, tapi kampus kita juga." Haras menghela napas. "Iya aku tau. Tapi masih ada yang lain kan? Kamu bisa bantu mereka, bisa juga partisipasi tanpa harus langsung turun.." "Be, i'll be fine. At least, aku mau coba." Aku menatap tepat di manik mata Haras. Mata yang selalu berhasil menenangkan kapan saja. "Mungkin ini udah saatnya. Aku nggak bisa sembunyi selamanya, kan?" "By.." "Ada kamu. Aku akan baik-baik aja." Aku tersenyum. Haras terdiam selama beberapa waktu. Lalu perlahan ia akhirnya ikut tersenyum. "Tapi jangan dipaksain ok. Saat kamu ngerasa nggak kuat, langsung berhenti. Nggak akan ada yang marah." Aku mengangguk. "Oh iya, gimana masalah tadi? Udah beres?" "Sejauh ini sih udah. Udah ketemu juga sama anak FP tadi. Nggak ngerti aku isi kepala tuh anak cewek." "Mungkin lagi puber." Haras menarik sudut bibirnya. "Iya kali." Kemudian kami mengarahkan perhatian ke pintu kedatangan luar negri. Tak lama satu persatu orang muncul dari sana. Akhirnya orang-orang yang kami tunggu muncul. "Kakak....!!!" Sagara langsung berlari ke arah kami. Ia kemudian langsung memeluk Haras. "Mi.." Haras memeluk Tante Ayura, kemudian memeluk Om Jonattan. Si kembar tampak anteng di dalam baby stroller. Tapi begitu melihat kami, mereka langsung rusuh minta digendong. Haras langsung mengambil Eira dan menggendongnya. Tentu saja Noel tidak mau ketinggalan. "Noel, kak Baby tuh capek, jangan minta gendong.." kata Tante Ayura. "Nggak apa-apa kok, Tante. Noel kangen ya sama Kakak..." kutoel hidungnya. Si Noel itu sangat lucu. Benar-benar menggemaskan. Rasanya ingin aku gigit pipinya. "Heh sombong.." Haras mencubit hidung Sena. Adik Haras yang kini berusia sembilan tahun. Tinggi. Tampan. Persis seperti Haras dulu. Aku jadi ingat masa kecil kami. Rasanya baru kemarin aku dan Haras pakai seragam merah putih. Sekarang Haras sudah punya empat orang adik. Sena memanyunkan bibirnya. Di antara ke empat adik Haras, Sena memang yang paling irit bicara. Sangat irit. Bahkan lebih irit daripada Haras dulu. Dia benar-benar copyan Haras. Tidak diragukan. "Kalian pasti capek ya. Harusnya nggak perlu jemput gini. Bisa ketemu di rumah aja.." Haras menggeleng. "Nggak kok, Mi. Har juga udah kangen nih sama si jelek ini. Lihat nih pipinya, boleh digigit nggak?" Haras mencium gemas si bungsu, Eira. Anak perempuan itu tertawa karena geli. "Kalian udah makan? Kita ngobrol sambil makan malam gimana?" Tawar Om Jo. Semuanya mengangguk setuju. "Noel sini sama Papi, kasihan Kak Baby gendong kamu.." Noel menggeleng. "Nggak mau. Maunya sama kak Baby.." ia memeluk leherku, bersandar manja ke bahuku. "Nggak apa-apa, Om.." aku tersenyum, mengelus pelan bahu Noel. "Yaudah yuk.." "Kamu udah kecil, tambah kecil gendong Noel gitu.." Haras berbisik di telingaku. Aku mencibir. "Walaupun kecil tapi aku kuat.." Haras tersenyum. "By.." "Hm.." "Udah cocok loh.." Aku mengerutkan kening. "Udah bisa punya sendiri," Haras mengedipkan sebelah matanya. Aku melotot kemudian mencubit Haras membuat dia tertawa. ... "Gimana kabar Mama sama Papa?" "Baik, Tante. Mama titip salam." Tante Ayura tersenyum. "Makan yang banyak Har. Udah semester tiga pasti makin sibuk ya.." aku tersenyum melihat hangatnya hubungan keluarga Haras. Bagaimana Tante Ayura menyayangi anak-anaknya kadang membuat aku takjub. Mungkin karena aku melihat bagaimana Tante Ayura membesarkan Haras, jadi aku tau bagaimana hebatnya dia sebagai seorang Ibu, juga sebagai seorang perempuan. Tante Ayura memang perempuan yang luar biasa. Tidak heran Om Jo begitu mencintainya. Lihatlah, mereka bermesraan lagi. Tante Ayura mencubit Om Jo karena Om Jo menciumnya tiba-tiba. Aku sudah sering bersama mereka, jadi pemandangan seperti ini sudah biasa. Haras pun sama. Ia begitu menyayangi adik-adiknya. Padahal jarak usia mereka terpaut sangat jauh. Dan, aku takjub Haras tidak merasa iri sama sekali pada adik-adiknya. Lihatlah bagaimana ia memanjakan adik-adiknya. Ah, kadang aku iri melihat mereka. Keluarga mereka besar dan ramai. Sedangkan aku, anak satu-satunya. Di rumah hanya ada Mama dan Papa. Kadang Papa tugas keluar kota. Sepi sekali. Tapi bukan berarti keluarga kami tidak hangat. Kami hanya kurang ramai, itu saja. "Gimana di kampus?" "Hmm, lagi lumayan sibuk, Mi. Lagi persiapan buat OSPEK." "Nggak kerasa ya kalian udah masuk tahun tiga. Rasanya baru kemarin kalian pakai seragam merah putih. Sekarang Haras udah setinggi ini.." "Dia aja yang semungil ini terus, Mi.." Haras menoleh padaku dengan cibiran di bibirnya. Aku mencubit lengannya membuatnya mengaduh disertai kekehan kecil. "Kalau Harasnya nakal pukul aja, By," ujar Tante Ayura. "Mami nggak tau aja, dia nih kejam.." Aku melotot. "Lihat nih, badan aku biru semua.." "Har.." aku menarik lengannya. "Biru kenapa?" Si irit bicara buka suara. "Emang Kak Baby ngapain sampai badan Kak Har biru semua?" Sambungnya. Seketika kami terdiam. Wajahku rasanya panas. "Kita main gunting, batu, kertas. Iya, terus yang kalah dikasih hukuman. Dicubit.." aku menjelaskan pada Sena. Sena mengerutkan kening, terlihat bingung. Sementara Haras sudah menahan tawa. Aku melotot padanya tapi dia malah menaikkan alis dan tersenyum jahil. "Om denger lukisan Baby menang kompetisi ya kemaren.." "Oh, iya, Om.." "Selamat ya. Hebat.." Om Jo mengacungkan jempolnya. "Masih harus banyak belajar, Om. Masih banyak kekurangan.." "Itu udah hebat. Om yakin, Baby bakal jadi pelukis hebat dan terkenal. Nanti Om sama Tante bakal mengunjungi pameran yang isinya karya Baby.." Aku tersenyum. "Amin, Om. Semoga.." aku refleks menoleh pada Haras. Dia juga tengah memandangku. Tanpa aku sadar, aku selalu menoleh padanya. Mungkin karena aku sudah melakukannya sejak lama. Sudah jadi kebiasaan. Sisa makan malam kami berlangsung hangat dan menyenangkan seperti biasanya. Keluarga ini, tempat nyaman kedua setelah mama dan papa. Kadang aku berpikir, bagaimana jika tidak bersama mereka? Bagaimana jika aku tidak bersama Haras? Akankah aku bisa tersenyum seperti ini? "Oh iya, Har..." tiba-tiba Tante Ayura menatap kami bergantian dengan ekspresi yang tidak aku mengerti. Tante Ayura melirik Om Jo. Haras menatap Maminya menunggu. "Cindy di Jakarta sekarang.." Sendok yang sedang dipegang Haras terjatuh hingga terdengar bunyi dentingan pada piringnya. Aku diam-diam melirik Haras. Apa Cindy kembali? ... Sepanjang perjalanan kembali ke asrama, Haras tidak banyak bicara. Ia fokus mengemudi. Aku perhatikan saja dia yang sedang serius itu. "Kenapa?" Haras buka suara. Ia sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya. "Jangan lama-lama liatinnya. Aku sempurna banget kalau dilihat dari samping kayak gitu," sambungnya dengan sombong. Aku terkekeh. Dasar Tuan Narsis. "Hati-hati, nanti kamu jatuh cinta sama aku. Susah lepasnya.." Aku melipat tangan di d**a. "Masa sih?" Haras menoleh, mengangguk. Aku berdehem. "Tes tes, cek, 1, 2, 3.." aku membuat bentuk mic dengan tangan. "Baiklah, saya akan bertanya. Apa Mas Harasatya Kevano sudah punya pacar?" Kemudian aku arahkan tanganku ke Haras. Ia menoleh lagi. "Hmmmm, belum.." jawabnya. "Saya masih single. Belum punya pacar.." Aku menaikkan sebelah alis. Haras tersenyum. "Mbak wartawannya udah punya pacar belum?" tanyanya balik. "Boleh saya minta nomer hapenya, mana tau kita cocok.." Aku tergelak. Kalian tidak akan menyangka Haras bisa sepecicilan ini. Ya, dia memang bukan Haras yang pendiam seperti dulu lagi. Tapi, hanya saat bersama denganku saja. Kata Milani sih begitu. Haras hanya seperti ini saat denganku. Sebab kata Milani, di kampus, terutama di lingkungan fakultasnya, Haras terkenal jarang senyum dan jarang bicara. Aku tidak yakin Milani tau darimana, tapi aku percaya padanya. "Maaf, saya udah punya pacar, Mas.." "Oh ya? Wahh, saya patah hati nih, Mbak. Masa belum perang saya udah kalah.." Aku menahan senyum. "Gantengan mana pacar Mbak sama saya?" "Hmmm, bukan masalah ganteng sih, Mas." "Maksudnya gimana, Mbak?" "Saya suka sama dia karena itu dia. Bukan karena dia ganteng.." Sudut bibir Haras tertarik. "Wah, saya nggak ada harapan nih berarti?" "Maaf, saya nggak ada niat jatuh cinta sama orang lain.." Haras menoleh lagi, menatapku beberapa detik, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke jalan. Tapi tangannya meraih tanganku lalu menggenggamnya. "Be.." aku menggenggam tangan Haras dengan kedua tangan. "Hmm.." "Apa kita kasih tau aja ya tentang status kita?" Aku rasa suaraku berubah serius sekarang. Haras perlahan menghentikan mobilnya. Ternyata kami sudah sampai di lingkungan asrama. Ia menghadap sepenuhnya padaku. "By, ingat nggak alasan kenapa kita merahasiakan soal ini?" Aku mengangguk. Haras membelai rambutku. "Nggak usah paksain diri kamu. Aku baik-baik aja. Gini aja udah cukup.." "Tapi.." aku menatap kekasihku itu. "Kenapa? Rumor yang bilang aku gay, iya?" Haras tersenyum. "Nggak usah peduliin. Nggak usah pikirin orang lain. Yang tau kebenarannya kan kita." Jujur saja, aku merasa bersalah pada Haras. Alasan kami menyembunyikan status kami adalah karena diriku. Rasanya tidak adil untuk Haras. "Udah yuk.." Haras membuka seatbelt. Kami turun. Area asrama tidak terlalu ramai. Nyaris tidak ada siapa-siapa. "Oh iya, kamu ingat Paris, adiknya Milani?" "Hm.." "Dia satu gedung sama kamu. Dia di asrama kamu juga.." "Oh ya?" Aku mengangguk. "Kamu tau dari mana?" Selidik Haras. "Tadi aku ke sana, nemenin Milani.." "Ke kamarnya Paris?" Haras terkejut. Aku mengangguk santai. "Kamu ke kamarnya? Masuk ke kamarnya?" Aku mengangguk lagi. "Kenapa?" "Dia cowok, loh.." "Terus?" "Terus?" Aku terkekeh. "Ya ampun Be, kamu mikir apa sih? Aku cuma nemenin Milani aja. Ngobrol juga enggak. Tapi kenapa kamu kayaknya nggak suka gitu sama Paris? Dia kayaknya baik. Lagian dia junior kamu loh, anak Arsitektur juga.." "Nggak ada. Biasa aja.." "Kenapa? Takut kalau ganteng? Eh kayaknya Paris bakal jadi kandidat duta dari FTSL ya?" "Nggak tau. Aku mana ngurus yang begituan.." Aku manggut-manggut. "Kamu langsung balik ke asrama, istirahat, jangan keluyuran lagi. Lihat tuh mata kamu." Aku tunjuk matanya. Dia masih terlihat biasa sebenarnya. Tapi aku tau dia lelah dan kurang tidur. Haras mengangguk. "Dah sana masuk.." ia tersenyum hangat. "Hm.." "By.." Haras menahan tanganku. Aku menoleh padanya. Haras kemudian maju, lalu sebuah kecupan hangat mendarat di keningku. "Selamat malam. Mimpi indah ya.." Haras mengacak rambutku sekilas, kemudian mendorongku masuk. Ia melambaikan tangan sebelum pintu kamar benar-benar tertutup. Dia semanis itu. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta padanya? ... [Author Pov] Namanya Kayhan. Selain tampan dan pintar, tidak ada yang tau bagaimana kehidupan seorang Kayhan. Tidak ada yang tau tentang keluarganya. Kecuali teman-teman dekatnya tentu saja. Sebenarnya bukan Kayhan saja, Haras pun tidak ada orang yang tau bagaimana kehidupannya. Keduanya seperti sepakat merahasiakan tentang keluarga mereka. Entah untuk alasan apa. Hari masih sangat pagi. Bahkan belum ada tanda-tanda kehidupan di gedung asrama itu. Namun Kayhan terlihat sudah rapi dengan baju kaus hitam dan almamater kampusnya. Dia memang terbiasa bangun pagi. Sembari menuruni tangga, Kayhan mengetuk layar ponselnya. "Nih anak udah bangun belum sih?" Ia menempelkan ponselnya di telinga. "Kay.." "Eh, Baby.." Kayhan menurunkan ponsel. "Dari mana?" tanyanya. Baby tersenyum. "Buang sampah. Mau pergi ya?" Kayhan mengangguk. Baby mengerti. Haras sudah memberitahunya tadi malam. Hari ini Haras dan Kayhan akan menemui senior mereka. Baby tidak tau detailnya, yang jelas ada hubungannya dengan OSPEK FTSL. Baby sendiri masih sangat kumal. Rambutnya dicepol asal, kaca mata, dan dia masih mengenakkan baju tidur. "Hati-hati ya.." Kayhan kemudian berlalu. ... "Bangun woy! Gue udah deket asrama lo nih.." "..." "Lima menit, Har. Lima menit lo nggak datang gue cium lo sampai pingsan.." "Yes my love, ini gue lagi siap-siap.." "Jijik anjir.." Kayhan langsung memutuskan sambungan. Ia membelokkan mobil ke arah parkiran gedung asrama Haras. Lalu tiba-tiba terdengar bunyi benturan keras dari belakang. Kayhan pun ikut terpental sedikit. Beruntung ia memakai seatbelt. "Astagfirullah.." Kayhan memegangi lehernya yang berdenyut. Ia melepaskan seatbelt, kemudian segera turun. Siapa yang menabrak mobilnya pagi-pagi begini? Sebuah BMW hitam terlihat berada kurang lebih setengah meter dari mobil Kayhan. Bagian depan BMW itu penyok. Pun sama kondisinya dengan bagian belakang mobil Kayhan. Kayhan baru akan menghampiri supir BMW itu saat pintu mobil lebih dulu terbuka. Seorang perempuan keluar dari mobil. Dalam gerak lambat Kayhan memperhatikan bagaimana perempuan itu turun, kemudian dengan angkuh melangkah ke arahnya. Ia menurunkan sedikit kaca mata hitamnya, melihat bagian depan mobilnya dan bagian belakang mobil Kayhan yang rusak karena ulahnya. Kayhan melipat tangan di d**a, menatap perempuan yang hebatnya tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "I have no time. Jadi mau diganti rugi berapa?" Tanya perempuan itu. Lipstik merah pekat melekat sempurna di bibirnya. Kayhan menatap perempuan itu dengan datar. "Nggak tau kalimat maaf ya? Nggak pernah belajar kalau salah itu yang pertama kali harus dilakukan adalah minta maaf?" Perempuan itu langsung mengarahkan pandangan pada Kayhan. Ia lepaskan kaca matanya. Dengan gaya sangat angkuh, ditatapnya Kayhan tepat di manik mata. "Buat apa minta maaf? Yang penting itu uang. Just tell me how much do you want.." "Simpan aja uangnya." Kayhan kemudian berbalik, siap pergi. "Eh, tunggu!" Dengan enggan Kayhan berbalik. Dipandanginya perempuan itu dengan ekspresi tak bersahabat. "Gue nggak suka berhutang sama orang.." kata perempuan itu. Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas, ia mencatat sesuatu kemudian menyerahkan kertas itu pada Kayhan. "Hubungin gue setelah lo tau berapa biaya buat perbaikan. Gue akan bayar.." setelahnya perempuan itu kembali ke mobilnya. Kayhan memandang dengan datar saat mobil itu berlalu melewatinya. Laki-laki itu membuang napas kasar. "Ini udah 7 menit.." Protes Haras begitu Kayhan turun dari mobil. "Kenapa?" Ia mengerutkan kening melihat ekspresi sahabatnya itu. "Pakai mobil lo deh.." "Mobil lo kenapa?" Kayhan menghela napas. "Lihat aja sendiri.." "Njir. Lo kecelakaan di mana pagi-pagi gini?" "Ntar aja ceritanya. Buruan. Gue udah lapar nih!" Kayhan melangkah lebih dulu ke tempat mobil Haras parkir. "Njir. Nyonya lagi pe em es nih.." Haras kemudian bergegas menuju ke mobilnya, sebelum Kayhan benar-benar mengamuk. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN