Bab 6. Apakah Jack ...

1040 Kata
"Ah, maaf kalau makanku sedikit berantakan. Ini karena aku terlalu lapar," cicit Ivy dengan wajah sungkan. Setelahnya, ia mencoba untuk tersenyum pada Jacob. Seraut senyum yang ia paksakan untuk hadir di bibirnya. "Hmm, tidak masalah, kau boleh memesannya lagi jika memang benar-benar masih lapar," ucap Jacob acuh tak acuh, sambil mencomot satu kentang di piringnya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Namun Ivy justru menggeleng pelan. Bukan karena ia tidak bisa membayar semua makanan yang telah ia habiskan, tapi entah mengapa ia merasa sangat canggung di hadapan Jack sekarang. Selain itu, ia juga sudah melihat betapa anggunnya seorang Jack kala menikmati makanan yang ada di hadapannya. Memang ini hanya makanan murah, namun suaminya itu memperlakukan makanan tersebut dengan sopan. Fine, mungkin Jack tidak tampak seperti seorang konglomerat sejati karena Jack tidak menggunakan pisau dan garpu untuk mengambil makanannya melainkan dengan menggunakan tangannya sendiri. Tapi, cara Jack mengambil makanan tersebut, mengunyahnya dengan sangat pelan, serta tidak berbicara di saat sedang mengunyah makanan. Hanya dengan melihat hal ini saja, bagi Ivy Jack justru terlihat seperti seorang pria yang sangat terpelajar. Alih-alih sebagai pemilik peternakan yang hidupnya selalu serampangan. Dan satu lagi, pria itu juga mengusap bibirnya dengan tissue setelah makan. Bukan ala koboi, tapi seolah sedang menggunakan serbet khusus. 'Apakah selama ini aku yang kurang banyak bergaul? Mengapa aku baru tahu jika seorang pemilik peternakan bisa seteratur ini hanya untuk menikmati makanan cepat saji?' pikirnya, tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Jacob. Naasnya, suaminya itu tiba-tiba mengangkat wajahnya dan melemparkan pandangan padanya. Membuat ia yang tidak sempat mengelak, sontak membeku ketika netranya dan netra Jacob seketika bertemu. "Ada apa? Apakah ada sesuatu pada wajahku?" Ivy menggeleng pelan, lalu dengan cepat menurunkan pandangannya. Menatap kakinya yang bergerak gelisah di bawah meja, juga tangannya yang saling menangkup di atas pangkuannya. "Maaf," ucapnya sekali lagi, mengacuhkan gelenyar yang terasa di atas kulitnya. Sengatan listrik di otak kecilnya, dan debaran jantungnya yang seakan sedang berlomba di dalam tubuhnya. Entah mengapa ia bisa merasakan semua ini hanya karena pandangannya dan Jack saling bertemu. Padahal, bersama Bastian dulu, ia tidak pernah merasakan sesuatu yang sangat sensitif seperti sekarang. Bukan karena Bastian tidak memiliki wajah yang tampan, well— Memang tidak setampan Jack. Namun cukup untuk membuat banyak wanita di Kota Savannah yang tergila-gila pada suami psiko-nya itu. Ya, Bastian terlihat sangat manis jika berada di luar rumah. Dan seperti seorang penjagal jika berada di rumah. Tapi Ivy tidak bisa menampik kalau Bastian juga seorang pria yang sangat menawan. 'Andai kau tidak mengetahui sifat aslinya,' monolognya dalam hati. Dan jika ia melihat Jack sekarang, sejujurnya ada sedikit kemiripan sifat antara Bastian dan Jack. Yaitu sama-sama suka bertingkah layaknya pria sejati jika berada di luar rumah. 'Oh, akuilah, Ivy. Kau tahu 'kan, jika Jack jauh lebih baik? Setidaknya tadi saat kalian berada di apartemenmu.' Oke, ia juga tidak akan menampik yang satu itu. Satu kebaikan yang Jack lakukan dengan mengajaknya pergi makan malam di saat ia benar-benar sedang sangat lapar. 'Dan jangan lupa saat kau mengatakan ingin mengambil pakaianmu. Bukankah Jack juga menemanimu?' 'Dia hanya takut kalau aku akan melarikan diri darinya,' sahut sisi hatinya yang lain. Membuat kedua sisi hatinya kini saling bertengkar di dalam tubuhnya. Pertempuran antara Malaikat, dan Iblis. Tiba-tiba suara tapak gelas yang beradu dengan meja kayu mendadak terdengar, membuat Ivy reflek mengangkat sedikit pandangannya ketika mendengar suara tersebut. "Kau sudah selesai?" Suara Jack terdengar kemudian, dan Ivy pun menanggapi pertanyaan suaminya itu dengan menganggukkan kepalanya. "Su-sudah," jawabnya tergagap. Lalu perlahan-lahan menghela nafas, juga mengumpat dalam hati tentang mengapa ia harus secanggung ini di hadapan seorang Jack. 'Please, Ivy. Pria itu hanyalah salah seorang dari pemilik peternakan yang terdapat di pinggiran kota. Rumahnya bahkan sangat sederhana, lalu mengapa kau ....' 'Yayaya, setidaknya cintailah seorang pria seperti Bastian yang memiliki segalanya.' Perang batin pun kembali terjadi, dan demi mengusir dua makhluk mungil yang tampak berperang tepat di depan batang hidungnya— Ivy pun menghela nafas dalam satu kali sentakan. Itu cukup berhasil, karena kini Iblis dan Malaikat mungil itu entah hilang ke mana. Di saat yang sama, membuat Jacob langsung menatap ke arahnya. Menerima tatapan tajam Jack, tubuh Ivy langsung bergidik ngeri. Karena tatapan itu mengingatkannya akan tatapan Bastian di saat mantan suaminya itu sedang marah padanya. "Maaf," lontarnya untuk yang ketiga kalinya. Di hadapannya, ia kemudian melihat Jack melengos begitu saja. "Bil ...!" Suaminya itu lalu berteriak pada salah seorang pelayan wanita. Dan pelayan tersebut segera bergegas mendekati Jacob setelah mendengar teriakan itu. Tak lama berselang, Ivy dan Jacob pun meninggalkan kedai pizza. Meski tanpa memesan seloyang pizza. "Sebaiknya jangan melakukan sesuatu seperti itu lagi ketika kita berada di tempat umum!" tegur Jacob, sesaat setelah Ivy menempatkan bokongnya dengan nyaman di kursi truk. "Maksudmu?" tanya Ivy tak mengerti, ia bahkan tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan. Ataukah ... jangan-jangan tadi Jack marah padanya karena ia tanpa sadar menghela nafas dengan sedikit keras? Dan apakah karena itu juga nanti Jack akan menghukumnya setibanya ia di rumah, persis seperti yang selalu Bastian lakukan padanya? 'Oh, Tuhan. Mungkinkah pria ini juga memiliki sifat psikopat?' bisik hatinya cemas. *** Jacob membanting pintu rumah setelah ia dan Ivy masuk ke dalam rumah peternakan miliknya. Ia juga membiarkan Ivy membawa kedua tasnya seorang diri, dan berlalu begitu saja melewati wanita yang baru ia nikahi itu menuju kamarnya. Ivy yang melihat tingkah Jack tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala lalu menghela nafas lelah. Sejak dari kedai pizza, ia dan Jack sudah tidak saling berbicara sejak Jack marah padanya di dalam truk. Alasan klise, itu yang pertama kali tercetus di dalam otak kecilnya ketika ia mengetahui apa penyebab kemarahan Jack padanya. Suaminya itu hanya tidak suka melihat Ivy menghela nafas dengan keras, karena menurut Jack saat itu— "Itu akan membuat semua orang berpikir buruk padaku, bahwa aku telah memarahimu di tempat umum!" "Huft!" sambil menyandang tas ransel di pundak kanannya, Ivy tertatih membawa tas pakaiannya menuju kamar tempat di mana pagi ini ia dan Jack telah berbicara berdua. Karena itu satu-satunya kamar yang ada di rumah peternakan ini. Namun, sesaat ia merasa ragu untuk memasuki kamar tersebut. Karena saat ini pintu kamar telah ditutup oleh Jack tak lama setelah suaminya itu memasuki kamar. "Bagaimana ini?" gumamnya pelan, sambil menggigit bibirnya. Bingung apakah ia harus mengetuk atau menunggu Jack hingga Jack keluar dari kamar? Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN