Bab 1. Menabrak Seorang Wanita.

1164 Kata
Kota Savannah tengah malam, suara sirine dari beberapa mobil polisi terdengar memecah kesunyian kota. Sementara itu, di dalam sebuah taksi, seorang wanita bernama Ivy Miller terus mendekap erat ransel yang ia bawa. Pada punggung tangan wanita itu tampak beberapa memar baru, begitu juga di pipinya. Malam ini, akhirnya ia berhasil kabur dari rumah suaminya yang sering menyiksanya selama satu tahun pernikahan mereka. "Selamat tinggal, Bastian. Kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi." Ivy melempar pandangannya ke luar jendela taksi, memperhatikan jalanan gelap yang dilalui oleh taksi yang akan membawanya pergi meninggalkan kota Savannah di mana selama ini hidupnya terasa bagaikan di penjara. Ivy berhasil keluar dari rumah suaminya dengan memalsukan kematiannya. Berharap agar laki-laki yang hanya bisa menyiksanya itu tak lagi mencari dan menganggapnya telah mati. "Semoga setelah ini aku bisa memulai hidupku dengan lebih baik lagi ke depannya." Ivy yang lelah pun akhirnya tertidur. Membiarkan sopir taksi membawanya ke kota New York, tempat di mana dulu ia dibesarkan di sebuah panti asuhan. *** Tepatnya satu bulan kemudian. Di saat serpihan salju masih tampak berguguran memenuhi jalan sekitar. "Taksi!" Ivy terlihat sedang berlari kecil mengejar satu taksi yang baru saja melintas di hadapannya, tak lupa ia mengeratkan syal yang membalut lehernya. "7th street, Sir," ucapnya setelah masuk ke dalam taksi yang sudah berhasil ia berhentikan. Sopir taksi pun segera mengaktifkan tarif argo taksi kemudian mulai melajukan mobilnya menuju tempat yang telah Ivy katakan. Di belakang sopir, Ivy mengambil ponselnya setelah mendengar bunyi nada sebuah pesan telah masuk ke dalam ponselnya itu dan bergegas membuka pesan tersebut yang ternyata berasal dari Clara. Seorang suster di panti asuhan tempatnya dulu tinggal. Ivy pun tersenyum kala membaca pesan itu dan langsung bergegas membalasnya. Di tengah keasikannya, tanpa diduga taksi yang Ivy tumpangi tiba-tiba menabrak sesuatu hingga membuat Ivy sangat terkejut. Mobil itu bahkan langsung berhenti mendadak. Membuat kepalanya sampai terantuk sandaran kursi yang ada di depannya. "Argh ...." Ivy menjerit sambil menyentuh kepalanya, mengacuhkan jeritan orang-orang yang berada di luar taksi. Tak lama berselang, suara ketukan bertubi-tubi terdengar memukul-mukul kaca taksi. Mendengar suara-suara tersebut, Ivy dengan cepat menoleh. Melihat keadaan di luar di mana beberapa orang pria tampak sedang menggedor-gedor kaca jendela taksi dengan emosi. "Apa yang terjadi?" tanyanya cemas pada sopir taksi yang juga terlihat sangat ketakutan. "Sa-ya, saya tidak sengaja menabrak orang, Nona," jawab sopir taksi terbata. "Apa?!" Ivy terhenyak mendengar jawaban dari sopir itu, ia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya bisa termangu menatap sang sopir yang kini sedang mencoba keluar dari taksi untuk menjelaskan pada beberapa orang yang tengah marah bahwa tabrakan yang dilakukannya bukanlah ia sengaja. Penjelasan sopir taksi itu sama sekali tidak berguna di saat dua orang petugas lalu lintas datang menghampiri. Membawa sang sopir dan juga Ivy menuju ke sebuah mobil patroli yang terparkir tak jauh dari tempat kecelakaan terjadi. Sementara itu, di kejauhan, tepatnya dari dalam sebuah sedan mewah, seorang pria berwajah datar kini tengah memperhatikan Ivy dan sopir taksi yang sedang berjalan untuk masuk ke dalam mobil polisi. Di depan sebelah kanan pria itu, di kursi kemudi, duduk seorang pria lainnya. Pria itu tampak sibuk memperhatikan keramaian yang terjadi di hadapannya. Menghalangi jalannya yang akan mengunjungi salah satu resto mewah yang terdapat di jalan tersebut. "Tuan Jacob, kemungkinan kita akan terlambat sampai ke restoran. Sepertinya ada kecelakaan di depan sana.” Pria berwajah datar itu hanya menanggapinya dengan berdeham pelan tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari Ivy. Seolah ia merasa seperti pernah bertemu wanita itu di suatu tempat. "Siapa dia? Di mana aku pernah bertemu dengannya?" gumam pria itu pelan. *** Aku sama sekali tidak melihat kejadiannya, Pak!" kekeh Ivy di kantor polisi ketika dua orang petugas kepolisian bertanya padanya tentang kronologis kecelakaan. Ia bahkan melanjutkan, "Aku sedang mengirim pesan, lalu tiba-tiba tabrakan terjadi," ujarnya menambahkan. Dua petugas yang bertanya pada Ivy saling berbisik sesaat, kemudian memperbolehkan Ivy untuk pulang. Dengan syarat, ia harus meninggalkan nomor ponselnya agar bisa dihubungi sewaktu-waktu. Ivy menurut saja, meski merasa kesal karena ia jadi terlambat pergi bekerja. Sambil menunggu bus, ia mencoba menghubungi sahabatnya. "Halo, Tina. Apa kamu bisa katakan pada Bos kalau aku akan terlambat hari ini?" tanyanya saat panggilan baru saja terhubung. Suara bernada cemas itu terdengar di seberang panggilan, disambung dengan ceramah Tina setelahnya. "Ivy? Terima kasih, Tuhan. Kau di mana? Apa kau tahu? Bos baru saja mencarimu." "Aku ada sedikit masalah, Tina. Taksi yang aku naiki menabrak seorang wanita sampai tewas. Jadi aku ... aku ikut dibawa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan sebagai saksi," terang Ivy, raut wajahnya terlihat cemas. Terlebih ia tahu jika sang bos pasti akan marah padanya karena terlambat. "Lalu sekarang? Bisakah kau secepatnya datang ke sini?" Ivy mengedarkan pandangannya sebelum menjawab pertanyaan itu. Ketika ia melihat sebuah taksi akan melewatinya, ia pun melambaikan tangannya. Karena bus yang ia tunggu tak juga kunjung tiba, sementara ia harus bergegas pergi bekerja. "Aku berada tak jauh dari bar. Mungkin sekitar lima menit atau sepuluh menit lagi aku akan sampai," ujarnya sembari memasuki taksi yang telah berhenti di hadapannya. Ivy lalu memberitahukan tujuannya pada sang sopir taksi, baru melanjutkan kembali ucapannya pada Tina yang sedang berbicara dengannya di seberang panggilan. "Tina, aku sudah di dalam taksi. Sampai bertemu di sana, oke." Ivy langsung mengakhiri panggilan telepon dan meminta sopir taksi untuk jalan dengan lebih cepat. Tak sampai sepuluh menit, Ivy telah tiba di depan bar tempat ia bekerja. Setelah membayar ongkos taksi, ia pun tergesa-gesa memasuki bar. "Bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Bos?" tanya Tina pada Ivy yang sedang berpapasan dengannya saat Ivy akan mengantarkan sebotol whisky ke sebuah meja. Ivy menoleh pada sahabatnya itu. "Sudah," sahutnya singkat seraya mencembungkan pipinya. "Tadi di depan pintu masuk. Pria itu mengancam akan memecatku jika aku terlambat sekali lagi," tambahnya. Tina mendengus geram, tapi ia tidak menanggapi ucapan Ivy tadi. Hanya menggerakkan kepalanya ke kanan, memberi isyarat pada Ivy agar segera mengantarkan whisky yang sedang dibawanya ke meja yang telah memesannya. Seraya memutar bola matanya, Ivy pun melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti. Usai meletakkan semua bawaannya ke atas meja dan mengisi dua cangkir kosong yang terdapat di atas meja tersebut. Setelah selesai, wanita itu pun bergegas pergi tanpa memedulikan godaan dari dua tamu pria yang tengah duduk mengelilingi meja. Sejak Ivy bekerja di bar itu, ia memang kerap digoda oleh beberapa tamu pria karena wajahnya yang cantik. Ya, Ivy bukanlah wanita jelek seperti yang pernah Bastian katakan. Sebenarnya, Ivy memang cantik karena mewarisi kecantikan dari sang ibu. Bahkan karena kecantikan itulah, Bastian tidak pernah ingin melepaskannya. Namun, suaminya itu memiliki gensi yang tinggi hingga tak pernah mengakui dan memujinya. "Mereka cukup tampan," celetuk Tina, saat Ivy mendekati sahabatnya yang saat ini sedang memperhatikan dua tamu pria yang baru saja ia layani. Sementara itu, di sudut ruangan bar, tanpa Ivy ketahui, sepasang mata diam-diam tengah memperhatikannya dengan penuh kemarahan. Pria itu menatap tajam, seolah Ivy adalah buruan yang tak boleh lepas sedetik pun dari pandangan matanya. "Kau harus membayar semua perbuatanmu padaku, Ivy," gumam sang pemilik sepasang mata tajam itu, terus memperhatikan Ivy dengan kedua tangan yang mengepal erat. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN