Untuk sementara waktu Baron menyerahkan kasus Mayang pada Taka hingga juniornya itu menemukan beberapa pria yang memiliki hubungan dengan Mayang. Sementara dirinya akan beralih pada kasus Karisa. Baron merasa jika ada pihak yang berusaha untuk menutup-nutupi kasus kematian Karisa. Jelas itu bukan tindakan yang benar. Dia pun berencana datang ke SMA Cendikiawan III untuk bertemu dengan Julie. Dan sepertinya Tuhan menakdirkan mereka untuk bertemu hari ini. Saat di parkiran mobil polres, Baron menerima panggilan dari Julie, mereka memang sudah saling menyimpan nomor telpone.
"Halo..." Ucap Baron.
"Halo, bisa kita bertemu sebentar? Ada hal penting yang ingin aku sampaikan."
Baron kemudian membuka pintu mobilnya, menyalakan mesin mobil dan berkata, "Kau dimana?" Tanyanya cepat.
"Aku baru selesai mengajar." Jawab Julie seraya merapikan buku-buku di meja kerjanya, hal yang selalu dia lakukan sebelum pulang.
"Baiklah, tunggu di sana. Aku akan menuju ke SMA Cendikiawan III."
Sejujurnya dia sedikit bingung kenapa Baron tergesa-gesa sekali. Tapi ia menuruti perintah Baron dan tidak bertanya apapun. Begitu panggilan berakhir, Baron segara tancap gas dengan kecepatan tinggi agar bisa segera sampai di SMA Cendikiawan III. Sementara Julie memutuskan untuk menunggu Baron di warung dekat sekolah. Para guru pasti akan bingung jika melihatnya bertemu dengan penyidik yang menangani kasus kematian Karisa. Dia tidak ingin menyebabkan kehebohan di sekolah. Jadi bertemu Baron di warung dekat sekolah adalah pilihan yang tepat.
Selama sebulan lebih mengajar di SMA Cendikiawan III, Julie belum pernah sekalipun berkunjung ke warung Ceu Unun, dan hari ini dia akan bertemu dengan Baron di sana. Julie sengaja meninggalkan motornya di parkiran sekolah, ia kemudian berjalan menuju warung Ceu Unun. Warung sederhana itu sedang tidak terlalu ramai, hanya ada dua siswi yang tidak Julie kenal--juga tidak mengenal Julie--sedang membeli jus Mangga. Belakangan ini memang sudah memasuki musim Mangga, Mangga dijual dengan harga yang murah namun berkualitas bagus. Ada juga sepasang kekasih yang sedang makan siang di warung Ceu Unun, beliau memang menyediakan masakan jadi juga, tidak banyak, hanya makanan sederhana yang mudah dimasak.
Julie mengangguk seraya tersenyum pada Ceu Unun, dia duduk di pojok kemudian memesan segelas es teh manis. Sembari menunggu Baron, Julie juga melahap bakwan dan tempe goreng yang masih hangat karena baru saja diangkat dari penggorengan. Lumayan, untuk mengganjal perut. Ketika Julie hendak mengambil pisang goreng, tibalah Baron di warung Ceu Unun, dia pun mengurungkan niatnya. Baron berjalan menghampiri Julie, melihat Julie dengan sedikit aneh karena bibirnya terlihat berminyak. Julie buru-buru mengambil tissue yang ada di depannya, lalu mengelap bibirnya.
Julie berdeham, "Kau mau minum apa?" Tanyanya pada Baron.
"Nanti saja." Jawab Baron cepat. Dia lalu melihat sekeliling untuk memastikan bahwa itu adalah tempat yang aman untuk berbicara mengenai kasus Karisa.
Julie menyadari itu, "Di sini jauh lebih baik daripada di dalam sekolah."
Baron tidak mengerti dengan ucapan Julie. Sebab tujuan dia datang ke sekolah adalah untuk bertemu dengan Kepala Sekolah serta dewan guru. Ia ingin menyampaikan bahwa dirinya akan tetap melanjutkan penyidikan meski pimpinan melarangnya. Julie kemudian menceritakan semuanya pada Baron, mengenai Adiwiyata yang memintanya untuk tidak lagi membahas kasus kematian Karisa hingga fakta bahwa Demi bukan pelaku dari kasus ini. Saat itulah Baron merasa kalau kasus kematian Karisa sudah terkontaminasi dengan campur tangan pihak-pihak tertentu. "Ada pihak yang ingin menutupi fakta di balik kasus kematian Karisa. Surat perintah mengenai penghentian penyidikan kasus ini sudah dikeluarkan." Ungkap Baron, dia tentu harus menyampaikan hal itu pada Julie.
Mata Julie terbelalak, "Mengapa bisa pas begini? Apa ini hanya kebetulan?"
Baron menggeleng. Selama menjadi penyidik, ia menemukan banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan dengan baik karena adanya campur tangan dari pihak-pihak berkuasa, itu biasanya ditemukan dalam kasus-kasus korupsi. "Ini bukan kebetulan. Ada pihak yang sudah merencanakan hal ini."
"Jadi kau sudah tidak bisa menyidiki kasus ini lagi?" Tanyanya khawatir. Sejujurnya saat ini Baron adalah harapan terbesar Julie. Dirinya memang sudah sepakat untuk bekerjasama dengan Adrian, tapi Baron adalah orang yang memiliki kemampuan serta wewenang untuk menangani kasus itu secara legal sebab Indonesia adalah negara hukum. Meski seringkali hukum itu tidak diberlakukan sebagaimana mestinya.
Baron menatap Julie, sebelumnya dia berharap bisa meminta pihak sekolah untuk mengajukan permohonan penyidikan kembali, namun mendengar cerita Julie barusan, dia sadar bahwa saat ini pihak sekolah pun tidak bisa diajak bekerja sama. Satu-satunya perwakilan dari SMA Cendikiawan III yang tetap ingin kasus ini terus diselidiki hanyalah Julie. Karena Baron tak kunjung bicara, Julie pun berkata, "Apa jika pihak keluarga Karisa mengajukan permohonan untuk penyidikan kembali kasus ini, pihak kepolisian akan mengabulkannya?"
Baron sedikit terkejut karena Julie cukup paham mengenai teori hukum, dia adalah partner yang cukup baik untuk diajak bekerja sama. Namun ya, lagi-lagi teori kadang tidak sesuai dengan realita di lapangan. "Jika keluarga Karisa adalah keluarga kaya raya yang memiliki kedudukan atau jabatan tertentu, itu bisa dilakukan. Sebab aku yakin, pihak yang ingin menutupi kasus ini bukanlah orang biasa. Hanya orang yang memiliki kekuatan yang bisa mengendalikan pimpinan kepolisian."
Julie seketika merasa lemas. Dia tahu kondisi keluarga Karisa saat ini. Mereka hanyalah keluarga sederhana yang merasa bersyukur karena bisa makan hari ini dan mencukupi beberapa kebutuhan primer lainnya. Mereka tidak pernah membayangkan jika untuk mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa membutuhkan uang atau koneksi. Yang mereka tahu, negara tercinta ini akan memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara. Salah satunya adalah hak warga negara untuk mendapatkan hukum yang adil. Berkedudukan sama di depan hukum, serta berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
"Jadi kau akan menyerah dan menutup kasus ini seperti perintah pimpinanmu?" Tanya Julie pada Baron.
Lagi-lagi Baron menatap Julie dengan lekat, "Kita memang baru kenal, tapi satu hal yang harus kau tahu tentangku, aku tidak pernah menyerah dalam menegakkan keadilan." Ujarnya mantap.
Dan seketika tumbuh rasa kagum dalam diri Julie terhadap Baron. Pria yang ada di sampingnya saat itu adalah pria terkeren yang pernah dia lihat selain almarhum ayahnya. Keduanya sama-sama anggota kepolisian yang memiliki integritas yang tinggi. Sudah lama Julie tidak melihat pria seperti itu sejak ayahnya meninggal. Pria yang berpendirian teguh serta percaya diri. Dan yang terpenting adalah pria yang bertanggungjawab atas segala sesuatu yang sudah menjadi tugasnya.
Baron melihat Julie yang sejak tadi tak berkedip menatapnya, "Kau sedang berusaha untuk membaca pikiranku lagi?" Tanya Baron.
Julie kemudian tersadar, "Eh...tidak, humm, jadi bagaimana?"
"Aku akan tetap melanjutkan penyidikan secara mandiri, tidak di bawah perintah kepolisian. Itu berarti aku tidak akan difasilitasi oleh pihak kepolisian, termasuk bantuan anggota tim...." Baron memberi tatapan penuh arti pada Julie, "Karena sekarang aku sudah tidak punya anggota tim untuk menyidiki kasus kematian Karisa, jadi aku rasa, aku membutuhkan bantuanmu."
Julie mengangguk cepat, "Aku akan bergabung denganmu untuk menyelesaikan kasus ini." Sejujurnya dalam hal ini, Julie merasa jika dia yang lebih membutuhkan Baron, bukan sebaliknya. Tapi ia bersyukur karena ternyata Baron memberinya kesempatan untuk bekerjasama. "Tapi apa aku boleh meminta satu hal?" Tanyanya.
Baron tidak menjawab, tapi dari bahasa tubuhnya ia mempersilahkan Julie untuk mengatakan hal yang ingin dia tanyakan. "Ada satu orang lagi yang ingin bergabung dengan penyidikan ini. Dia adalah seorang reporter yang tertarik dengan kasus kematian seorang perempuan yang tidak wajar. Aku berani jamin bahwa dia sama sekali tidak memiliki niat buruk apapun. Dia hanya ingin mengungkap fakta di balik kasus kematian Karisa agar keluarga Karisa mendapatkan keadilan." Jelasnya.
"Apa reporter itu bernama Adrian?" Tanya Baron.
"Kau mengenalnya?"
Baron tidak menjawab, dia justru menanyakan hal lain, "Apa kau berani jamin tidak tak memiliki kepentingan apapun?"
"Ya, aku sudah mendengar apa yang ada di pikirannya."
Meski ragu, namun pada akhirnya Baron mengiyakan permintaan Julie. Mereka bertiga lalu memutuskan untuk bertemu esok hari di kediaman Baron. Ya, Baron tidak bisa menggunakan meja kerjanya di kantor kepolisian untuk menyidiki kasus itu. Mereka membutuhkan "markas" untuk berdiskusi dan menyimpan bukti-bukti yang mereka temukan. Dan tempat yang aman menurut Baron hanya lah rumahnya. Saat ini dia tinggal sendiri di rumah yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya. Rumah yang awalnya akan dia tempatkan bersama orang terkasih, namun sayang orang itu harus pergi sebelum mereka hidup bersama.
******
Sementara itu, di dalam sekolah masih ada beberapa guru yang belum pulang karena masih ada kerjaan. Salah duanya adalah April dan Mei. Hari ini April ada tugas untuk membina ekstrakulikuler paduan suara, sementara Mei masih harus mengoreksi tugas para murid. Beberapa guru di SMA Cendikiawan III memang diberi kepercayaan untuk membina beberapa ektrakulikuler. April yang memang memiliki minat dan bakat di bidang tarik suara, mengajukan diri ke Kepala Sekolah untuk membina grup Paduan Suara. Meski begitu mereka tetap memiliki pelatih profesional, itulah mengapa ektrakulikuler dari SMA Cendikiawan III seringkali memenangkan lomba tingkat kabupaten/ kota.
April hendak keluar dari ruang guru menuju ruang latihan paduan suara, tapi kemudian dia mengurungkan niat karena baru saja mendapat kabar bahwa pelatih paduan suara masih dalam perjalanan menuju sekolah. Ia pun memutuskan untuk menghampiri Mei, dan duduk di kursi depan meja kerja Mei. "Bu Mei, apa kau sudah tahu?" Ucap April pelan. Di sana masih ada dua guru lagi yang belum pulang, entah sedang apa.
"Kenapa?" Tanya Mei.
"Pihak kepolisian sudah mengentikan penyidikan untuk kasus kematian Karisa, aku baru saja mendengarnya dari wakil kepala sekolah." Mengenai hal itu, petinggi sekolah memang tidak mengumumkan secara resmi, mereka diam-diam menyampaikan hal tersebut kepada para guru secara satu persatu.
Mei yang baru mendengarnya lantas terkejut. Dia yang tadinya mengoreksi tugas dengan tenang, kini menjadi gelisah. Pena yang sejak tadi dipegangnya kini terletak di atas buku murid. Mei menunduk sedikit, seperti menghindari kontak mata dengan April. "Apa Bu Mei sudah tahu itu?" Tanya April sekali lagi.
Mei menggeleng. April kini memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Mei, "Tapi Bu Julie tetap berencana untuk menyidiki kasus ini." Bisik April.
Semua yang keluar dari bibir April hari ini benar-benar membuat Mei terkejut. "Bu Julie?" Mei kembali memastikan.
April mengangguk, "Ya, sebagai wali kelas, dia merasa bertanggungjawab terhadap kasus kematian muridnya yang tak wajar ini. Ngomong-ngomong, kau juga pernah menjadi wali kelasnya Karisa saat kelas 10, kan?"
Entah mengapa pertanyaan itu membuat Mei merasa sangat tidak nyaman. Dia justru mengalihkan pembicaraan dengan berkata bahwa dia harus bergegas pulang. Setelah memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas, tanpa menunggu lama Mei segera bangkit dari kursinya, "Maaf Bu April, saya harus pulang sekarang."
April yang kebingungan ikut berdiri dari kursinya, "Lho, kita kan belum selesai bicara, Bu?" Tanyanya.
Lagi-lagi Mei mengabaikan pertanyaan April, dia mengangguk sekali meski matanya tak berani melihat wajah April, "Saya permisi." Ujarnya lalu berjalan menuju pintu keluar.
Meski merasa ada yang aneh dengan sikap Mei tapi April sudah sering tak dihiraukan oleh Mei. Dia menganggap itu sebagai karakter atau kepribadian Mei yang sulit diubah. Bertahun-tahun mengajar di sekolah yang sama dengan Mei tak lantas membuat mereka berdua menjadi akrab. Mei seperti membangun dinding pembatas antara dirinya dengan orang lain. Terlebih kepribadian mereka berdua sangatlah bertolak belakang.
Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, Mei bertemu dengan Adiwiyata yang baru saja kembali ke sekolah setelah melakukan pertemuan dengan para donatur sekolah di sebuah restoran. Dari kejauhan Adiwiyata sudah melihat keberadaan Mei, beliau pun berniat untuk menyapa dan berbicara sebentar. Namun Mei terus berjalan dengan posisi wajah menunduk, sama seperti ketika dia menghindari untuk melihat wajah April. Mei memilih untuk pura-pura tidak melihat pimpinannya itu. Ia berjalan cepat dengan tubuh gemetar dan keringat bercucuran di pelipisnya. Adiwiyata keheranan melihat tingkah Mei, tapi dia tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal itu karena ada masalah penting yang harus dia selesaikan saat ini.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Fadli sejak tadi mengikuti Tia yang pergi dengan teman sebangkunya ke sebuah cafe yang terletak di pusat jalan besar Cipatat. Mereka berdua hendak hunting foto di sana. Maklum, remaja jaman sekarang rela menghabiskan uang dan waktunya hanya untuk eksistensi di media sosial. Tapi Fadli memiliki tujuan lain, dia ingin berbicara empat mata dengan Tia tapi tidak di lingkungan sekolah. Fadli memilih meja yang cukup jauh dari meja Tia dan temannya. Fadli menunggu kesempatan hingga dia bisa berbicara berdua saja dengan Tia. Mereka berdua memang tidak dekat. Meskipun sekelas, mereka bahkan tidak pernah bertegur sapa. Itulah mengaoa Fadli sedikit sungkan untuk membuat janji dengan Tia.
Setelah memesan segelas ice red velvet dan ice green tea, teman sebangku Tia pergi ke toilet untuk bersiap sebelum mereka berfoto-foto cantik. Saat itulah Fadli menghampiri Tia dan mengajaknya berbicara. Tia terlihat sedikit kebingungan sekaligus terkejut. "Bisa kita bicara di mejaku sebentar?" Ucap Fadli. Tia pun mengiyakan permintaan Fadli. Meja yang Fadli pilih cukup jauh dari meja Tia dan temannya. Ia ingin memastikan tidak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.
"Apa saja yang kau bicarakan pada reporter itu?"
"Reporter?" Ucapnya kebingungan. Tia kemudian mengerti apa yang Fadli bicarakan. Jika sejak awal tahu bahwa Fadli ingin membicarakan kasus kematian Karisa, Tia pasti akan menolaknya. Namun lagi-lagi dia terjebak dalam pembicaraan itu, sama seperti ketika bersama sang reporter.
"Aku tidak bicara apa-apa." Jawabnya cepat. Tia kemudian berdiri dari kursi, hendak pergi meninggalkan Fadli.
Tapi Fadli dengan cepat menahannya, dia memegang pergelangan tangan Tia, "Kita belum selesai bicara."
"Aku sungguh tidak tahu apa-apa. Apa kau juga berpikir bahwa aku terlibat dalam kematian Karisa? Kau bisa bertanya pada Bu Julie. Dia tahu betul kalau aku tidak ada hubungannya dengan kasus ini."
Fadli ikut berdiri, posisinya kini sejajar dengan Tia, "Informasi apa saja yang kau berikan pada reporter itu?"
Sikap Fadli saat itu sungguh mengintimidasi Tia hingga ia tidak punya pilihan apapun selain memberitahunya, "Aku...aku hanya memberitahu bagaimana sikap Karisa di sekolah dan..."
"Dan apa?"
"Dan memberitahu nomor Bu Mei..." Setiap mengingat hal itu Tia sedikit merasa bersalah karena memberikan nomor telpone orang lain tanpa izin.
Seketika raut wajah Fadli memancarkan rasa lega, sambil menatap Tia, dia berkata, "Ya, harusnya aku tidak perlu khawatir karena kau sama sekali tidak mengenal Karisa dengan baik." Siswa lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Tia tanpa meminum sedikitpun Ice Coffe Milk yang sudah dipesannya.
Entah apa maksud perkataan Fadli, tapi yang jelas, Tia merasa aman karen Fadli sama sekali tidak menyalahkannya. Meski Tia tahu bahwa kematian Karisa tidak berhubungan dengan sikapnya yang kurang baik pada Karisa, tapi tetap saja dia merasa bersalah tiap kali mengingat perlakuan buruknya itu. Dia sering membicarakan Karisa dengan teman-temannya. Dia bahkan menyebarkan gosip bahwa Karisa pernah menggoda lelaki yang dia sukai. Padahal semuanya hanya omong kosong. Dan setelah diingat-ingat, Karisa tidak pernah sekalipun membalas perbuatan jahatnya. Gadis itu selalu membiarkan Tia bertindak sesuka hati, tak pernah peduli dengan semua tindakan Tia. Seketika Tia langsung merasa menyesal. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Karisa sudah tidak ada lagi di dunia ini bahkan sebelum Tia mengucapkan permintaan maaf.