(Bukan) Macan Ternak

2173 Kata
Intan Fashion pagi hari. Seorang wanita dengan s*****a andalan lengkap sedang mengeksekusi selembar kain disaksikan oleh tiga orang siswa yang terkagum-kagum. Ujung gunting yang mengkilat melaju di atas sebuah tanda yang berasal dari kapur jahit berwarna kuning. Jemarinya yang ramping seolah sedang menari lincah di atas meja berukuran satu kali dua setengah meter. "Din, jangan lihat wajah saya, gak akan ada di soal ujian. Percaya deh!" Siswa yang dipanggil Din gelagapan, mukanya merah karena malu. Dua siswa lainnya cekikikan. "Oke, kalian mengerti? Perhatikan serat kainnya, perhatikan jaraknya, silakan eksekusi!" perintah wanita itu. "Mengerti, Bu!" jawab mereka serempak. Namanya Intan, Intan Anindya Anjani. Sejak kecil bercita-cita sebagai seorang designer, melanglang buana ke Paris, menikah muda, kaya dan bahagia. Dia gagal untuk cita-cita pertama karena tidak lulus saat mengikuti seleksi penerimaan siswa baru di sebuah sekolah fashion di Jakarta. Melancong ke Paris belum sepenuhnya gagal karena masih banyak kesempatan. Meski akhir-akhir ini dia mengubah keinginannya dengan alasan Paris kejauhan. Dia memilih Thailand biar sekalian bisa lihat lady boy dari dekat. Penasaran, dadanya asli atau palsu. Menikah di usia dua puluh lima tahun, punya anak satu tahun kemudian. Cita-cita ke empat menjadi orang kaya, yang ini masih on proses. Saat dinyatakan tidak lulus sekolah fashion Intan mengikuti kursus menjahit, sekolah instruktur jahit dan membuka lembaga kursus jahit sendiri. Maka dari itu, di sinilah dia berada sekarang, mengawasi tiga orang siswa yang sedang praktik membuat kulot langsung pada kain. Dia membuat simpul dari pita ukur sambil sesekali mengawasi dan mengoreksi kesalahan siswanya. "Bu Intan, ada mamah sama Gia di kantor," kata Akbar, asisten instruktur di LKP Intan Fashion. Intan mengernyit kemudian menepuk keningnya sendiri karena melupakan sesuatu. "Hai cantik, sudah siap  periksa dokter?" "Tapi Gia mau sama Bunda," rajuk Gia. "Bunda kan lagi kerja, Nak!" bujuk Intan, dia merapikan anak rambut yang berantakan. Menghirup dalam-dalam aroma keringat putri kecilnya adalah satu kenikmatan yang tidak bisa dia ganti dengan apa pun. Aroma surga, surga Dunia yang Tuhan kirim sejak pertama kali dia melihat dua garis merah pada stik kecil pendeteksi kehamilan. Gia adalah salah satu alasan dia bertahan dan berubah menjadi wanita tangguh. Gadis kecil itu mengubah cara pandangnya dalam sekejap. Tidak ada lagi Intan yang Manja, tidak ada lagi Intan yang kekanakan. Bahkan tidak ada lagi kepahitan sejak pertama kali dia memeluk Gia dalam keadaan berlumur lemak, lendir dan darah sesaat setelah Gia lahir. "Mau, ya Bunda," pinta Gia sekali lagi. Mau tidak mau Intan mengangguk, Intan merasa sangat bersalah karena Gia kecil harus menderita TB paru dan harus berobat enam bulan lamanya. "Antrian Nomor 18, kira-kira jam sebelasan Ntan. Kurang dari satu jam lagi." Midah menyerahkan kartu pasien kepada Intan kemudian pamit setelah membenahi jaket dan syal yang Gia kenakan. "Bay, nitip ya. Abis zuhur bakal ada orang dari Disnaker, suruh tunggu aja," pinta Intan. "Oke, hati-hati macan ternak!" Akbar mengacungkan jempolnya tanda setuju. "Hah, apaan tuh?" Intan melongo. "Mama cantik antar anak!" teriak Akbar dan Dindin bersamaan. Intan hanya tersenyum menanggapi gurauan asisten dan siswanya. Dengan motor matic yang dilengkapi kursi bonceng di bagian depan Intan melaju menuju Klinik As Syifa. Gia yang riang tidak putus bersenandung, sesekali Intan ikut menimpali. Hingga tidak terasa Intan dan Gia sudah tiba di Klinik. Juru parkir membantu mengarahkan Intan untuk parkir di tempat yang teduh. Tepat di bawah pohon mangga yang tidak ada buahnya. "Nomor 18 Mbak." Intan menyerahkan kartu pasien, dia mengamati sekeliling. Kliniknya penuh, bahkan dia tidak kebagian kursi di ruang tunggu. Hingga seorang perawat membawakan beberapa buah kursi plastik untuk pasien yang tidak kebagian kursi. Tiba-tiba saja dia merasa bersalah, setiap Gia sakit dia tidak pernah mengantarnya ke klinik. Dia membayangkan mamahnya yang sudah tua harus antri sambil membawa balita yang cerewet seperti Gia. Di atas meja pendaftaran terdapat layar LCD yang bergantian menayangkan visi dan misi klinik, profil para dokter di perlihatkan bergantian. Intan melihat dengan seksama dia takjub melihat orang-orang berjas putih yang melayani pasien dengan tulus. Hingga matanya terpaku pada satu wajah dengan identitas yang dia kenal betul, dr Niko Al Fatih, 30 tahun. Wajahnya masih sama, hanya saja terlihat lebih tua dari saat terakhir dia melihatnya. Intan tersenyum, Niko benar-benar mewujudkan cita-citanya, tetapi  sesaat kemudian dia mengerjap. Ini tidak boleh terjadi, Intan tidak boleh bertemu dengan Niko. "Mbak, yang periksa dokter siapa?" Intan bertanya pada petugas di meja pendaftaran. "Nomor antrian berapa, Bu?" "Delapan belas." "Ruangan satu, dokter Niko," jawab petugas dengan ramah, Intan menggeleng putus asa diikuti oleh tatapan heran sang petugas pencatat pendaftaran. "Kalau mau ganti dokter gimana caranya, Mbak?" "Hari ini yang tugas praktik di poli hanya dokter Niko, Bu. Besok baru dokter Sukma." Intan kecewa, untuk apa petugas menanyakan perihal nomor antrian jika tetap saja bertugas hanya Niko. "Terimakasih, Mbak." Intan menghampiri Gia, gadis kecil itu tengah asik memainkan gantungan berbentuk bebek yang terpasang pada kunci motor Intan. Niko adalah orang yang punya andil besar dalam kegagalan Intan mengikuti seleksi masuk sekolah Fashion sesaat setelah lulus SMA. Segala sesuatu yang sudah dia persiapkan jauh-jauh hari akhirnya sia-sia. Malam itu, malam sebelum Intan berangkat menuju ibu kota Intan menyaksikan kejadian yang tidak terduga. Kejadian yang membuatnya kehilangan konsentrasi dan harus memgubur dalam-dalam kesempatan sekolah di tempat yang dia impikan sejak lama. Kemudian Intan pergi, membawa kesedihan seorang diri. Meninggalkan Niko tanpa ucap perpisahan. "Nomor Antrian enam belas." Suara perawat mengagetkan Intan. Sambil memijat pelipisnya dia berpikir semakin keras. Tidak mungkin membiarkan Gia masuk ke dalam ruang periksa seorang diri, ibu macam apa yang membiarkan anak usia tiga tahun periksa dokter sendirian. Bodoh! Tinggal dua nomor lagi, Intan semakin gusar. Beberapa orang di sekitarnya menyadari kegelisahannya. Mungkin mereka mengira Ibu satu anak ini kebelet pipis atau kegerahan. Sungguh, Intan tidak bisa diam. Di tengah aksinya, seorang pasien yang duduk persis di depannya mendelik sinis. Kemudian dia memakai masker dan berlalu dari hadapan Intan. Cakep, Intan akan berterima kasih kepada orang tadi karena secara tidak langsung dia memberi petunjuk  untuk mengenakan masker. Dia girang bukan kepalang. "Gia, bunda pinjam dulu kunci motornya. Gia tunggu di sini ya, mau ambil sesuatu di bawah jok motor." Gia mengangguk gadis kecil itu menatap punggung sang bunda yang menjauh kemudian menghilang ketika berbelok ke arah pintu keluar klinik. Intan ingat, asistennya selalu menyimpan masker dengan motif lucu-lucu di bawah jok motor. Tidak peduli masker itu bekas pakai Akbar, anggap saja intan sedang mencium Akbar. Meskipun dia bergidik jijik menatap dua buah masker dengan motif yang berbeda. Tetapi mau tidak mau dia harus pilih salah satu, hingga pilihannya jatuh pada masker doraemon yang terlihat paling bersih. "Bunda, Gia mau pakai itu," rengek Gia ketika Intan sudah kembali. "Ini terlalu besar, nanti bunda bikin yang pas buat Gia, Oke?" "Yang gambarnya Rainbow Ruby ya Mbun, atau kuda poni." Intan mengangguk sambil mengacak rambut Gia dengan gemas. "Nomor antrian delapan belas, silakan masuk!" Tarik napas, Intan. "Dokteeeel," pekik Gia bersemangat. Gadisnya menghambur ke pelukan Niko. Akhirnya, setelah hampir dua belas tahun Intan bisa melihat wajah Niko secara langsung, pria yang telah menjungkirbalikkan dunianya di masa lalu. Dia membenahi maskernya, memastikan Niko tidak dapat mengenalinya. "Halo, cantiknya dokter, waaah pipi kamu tambah mbem aja. Makannya banyak?" Intan melihat Niko dan Gia bergantian. Pria itu tidak banyak berubah, dia selalu senang dan sayang pada anak kecil, senakal dan serusuh apa pun dia. "Banyak, Gia lapel telus, Dok."  Mau tidak mau Intan tersenyum dari balik masker melihat reaksi Gia yang menepuk-nepuk perut dengan lucu. Putri kecilnya itu kemudian dibimbing Niko untuk memainkan stetoskop. Gia tertawa geli saat Niko memasang stetoskop pada telinga Gia kemudian menempelkan ujungnya tepat di d**a bidang Niko. Ah, d**a itu semakin bidang saja. Intan ingat betul, Niko tidak pernah absen mengunjungi pusat kebugaran. Dia terus mengawasi keduanya, sebetulnya lebih banyak menatap Niko dari pada Gia. Dulu wajah Niko suka berjerawat dan dia akan loncat-loncat kegirangan karena ada pekerjaan yang sensasinya luar biasa, yakni mencetin jerawat Niko. Kini, wajahnya mulus sekali. Mungkin istrinya merawat Niko dengan baik. Menggantikan tugasnya mencetin jerawat dan bersihin komedo. "Lho, Gia sama siapa ini, mamahnya mana?" Intan mengerjap, mata elang Niko baru saja melucuti dirinya. Dia buru-buru memperbaiki letak masker, khawatir ketahuan. "Bunda, salim dulu sama doktel," Giaaaa, kalau saja di rumah Intan pasti sudah melotot pada gadis kecilnya. "Bunda?" Ah, Niko suaranya membuat semburat warna merah muncul di pipi Intan. "Ayo, salim!" "Maaf, dok, Gia gak boleh gitu sama pak Dokter. Sini sayang." Intan meraih tangan mungil Gia, gadis bermata bulat itu merengut tidak suka. "Tidak apa-apa, jadi ini bundanya Gia?" Intan memutar bola matanya, Niko sebenernya ngerti atau pura-pura gak ngerti, sih? Dia terus saja tebar pesona, Intan mendelik tidak suka. Jangan-jangan Niko selalu mengumbar senyum seperti itu sama tiap pasien, huh, menjijikan. "Iya." Intan menjawab dengan menundukkan pandangan. Kali ini dia tidak boleh tergoda dengan senyum receh Niko. Tidak untuk kedua kalinya. Intan sadar diri dengan statusnya saat ini. "Baik, mari Gia, dokter periksa dulu." "Bagus, Gia masih suka batuk, Bu?" tanya Niko. "Kalau kedinginan sih dia batuk, biasanya subuh." Lagi. Dokter itu melirik, membuat Intan semakin panik. Dulu sekali lirikan Niko menjadi candu buat Intan, kemudian semuanya berubah sejak malam itu, malam yang tidak mau Intan ingat lagi meski diam-diam sering melintas dalam kepalanya kala dia sedang sendirian. Sekuat apa pun Intan berlari menjauh dari kenangan pahit tentang Niko maka ingatan itu semakin muncul, menari dan mengejek Intan yang sedang lemah di permainkan perasaannya sendiri. Hingga kemudian muncul sosok Alif, dia menawarkan obat merah untuk luka Intan yang menganga, membawanya hingga kursi pelaminan sebelum akhirnya membuat luka baru yang membuat Intan takut untuk kembali membagi hatinya dengan siapa pun. Cinta Intan hanya milik Gia, hidup Intan hanya untuk melihat Gia tumbuh dan berkembang meski tanpa sosok ayah. "Bu." Niko menyadarkan Intan dari lamunan. "Ah, maaf, bagaimana, Dok?" "Ini resepnya." "Terima kasih, Dok. Gia ayo!" Intan melenggang pergi, Gia melambaikan tangan pada Niko. Kasihan kamu, Nak. Gadis kecil yang tidak pernah mengenal ayahnya itu mudah akrab dengan pria dewasa, Intan sadar walau bagaimana pun Gia tetaplah anak kecil yang butuh sosok ayah. Biarkan dia menjadi orang yang egois saat ini, biarkan dia menjalankan dua peran sekaligus. Menjadi Bunda dan ayah untuk Gia. "Bunda, masih lama, ya?" "Gia laper?" "Ngantuk, Mbun, pengen bobo peluk Arci." Mata Gia sudah sayu, dia terus merengek ingin pulang dan tidur dengan memeluk Arci, teddy bear berwarna merah muda dengan bantalan hati di dadanya dengan tulisan I Love you yang hampir pudar. Boneka itu menjadi kesayangan Gia setelah gadis itu memergoki bundanya hendak melempar benda itu kedalam pembakaran sampah dengan api yang m******t-jilat. Padahal, Intan ingin sekali membuang segala sesuatu tentang masa lalunya. Termasuk Arci, boneka pemberian Niko saat hari valentine bertahun-tahun silam. "Gia bobo di sini saja, yang peluk Bunda, lebih nyaman," tawar Intan sambil menepuk pahanya, putrinya mengangguk pelan kemudian naik ke pangkuan Intan dan tidak lama kemudian dia terlelap. Tiba-tiba saja dia melihat Niko, dia berjalan sambil senyum-senyum tebar pesona. Menyebalkan, beberapa pasien yang sedang antri melihat Niko dengan tatapan memuja. Membuat pria itu semakin merasa jumawa dan besar kepala. Dokter itu, dia melempar senyum sopan kepada Intan yang tengah menatapnya. Intan menyadari itu, dia sebal, kemudian menunduk pura-pura melihat layar ponsel. Intan gelisah, antrian seakan tidak ada habisnya bahkan beberapa orang menggerutu karena lambatnya pelayanan di apotek. Masalahnya dia sudah ditunggu orang dari Disnaker. Akbar baru saja mengabarkan bahwa orang-orang itu baru saja tiba. "Atas nama Gianara," panggil petugas melalui pengeras suara. Setelah mendapatkan obat dia beringsut pergi, meninggalkan tempat itu dengan perasaan luar biasa lega. Memangku Gia yang masih terlelap bahkan saking lelapnya air liur bocah itu membasahi bahu Intan. Dia tersenyum menikmati momen demi momen bersama putri kecilnya. Memandangi wajahnya yang damai saat terlelap hingga dia kehilangan keseimbangan saat seseorang menubruknya tepat di ambang pintu keluar klinik. "Aduh!" rintih Intan sesaat setelah pantatnya mencium kerasnya lantai keramik. Beruntung dia bisa mendekap Gia dengan erat sehingga anak  yang masih terlelap dalam pangkuannya tidak terjatuh. "Bunda Gia, aduh, maaf saya gak sengaja." Niko lagi, Intan melotot makin sebal. Dia benci hari ini, benci karena harus melihat Niko kembali. "Makanya kalau jalan pakai mata. Untung saja Gia tidak jatuh," ketus Intan. Ada sedikit sengatan saat Niko berusaha membantu Intan berdiri, tetapi dengan cepat Intan menepis tangan Niko yang dia anggap lancang. "Maaf, Bu, Maaf banget." Niko membungkuk hormat, beberapa pasien yang sedang menunggu memasang wajah tegang melihat adegan tersebut. Beberapa ada yang sinis melihat dokter kesayangannya di bentak seperti itu. Yang benar saja, Intan merasa kutu kupret ini pakai ajian pelet atau sejenisnya buktinya meski benci dia mengakui kalau Niko memang semakin ganteng. "Untung saja ganteng, kalo enggak udah aku pites," sungut Bunda Gia keceplosan. Sesaat kemudian dia merutuki diri sambil berusaha berdiri sendiri. Menolak mentah-mentah uluran tangan yang Niko tawarkan. "Makasih, Bu, saya emang ganteng dari lahir," ucap Niko. Ingin rasanya Intan tertawa, sambil menggelitiki pinggangnya seperti dulu, saat mereka masih bersama. "Pede amat!" Intan pergi, dia tidak boleh berada dalam zona bahaya ini lama-lama. Bisa saja hatinya sendiri berkhianat. Dia tidak mau melihat ke belakang, setelah melepas masker beraroma Akbar dan memastikan Gia aman di kursi boncengnya Intan memacu kendaraanya dengan perasaan yang tidak biasa. Debaran jantungnya aneh, gelenyar itu sama seperti dahulu. Saat pertama kali dia merasakan jatuh cinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN