Cinta Lama Bersemi Kembali

1726 Kata
Niko mengembuskan napas lega. Luar biasa lega. Setelah reputasinya sebagai dokter ganteng di pertaruhkan karena insiden manis dari Intan. Bagaimana tidak, mereka bisa-bisanya bergosip kalau Niko sudah melakukan pelecehan sehingga dihadiahi tamparan. Untung Intan baik, wanita itu sedang menandatangani surat pernyataan bersama dokter Yvonne. Niko memandang punggung Intan, gerak geriknya menggemaskan. Apalagi ketika Intan memelas agar Niko tidak lapor polisi karena dia telah menamparnya. Sepertinya kepikiran pun tidak. Yang ada, naluri ingin melindungi Intan timbul begitu saja. "Ntan, makan siang dulu, yuk? Anggap aja sebagai permohonan maafku." Niko menatap Intan penuh harap. Intan mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak lucu. "Maaf, aku sibuk," tolak Intan. "Gak lama, kok, Ntan. Makan di kantin klinik juga gak apa." Intan balas dengan gelengan. Dia terus berjalan menuju parkiran. "Ntan," desak Niko. "Kasihan, Gia. Aku udah ninggalin Gia dari pagi." "Lain kali?" tanya Niko. "Tidak ada lain kali, Niko!" Niko kecewa. Tetapi senang, mendengar Intan menyebut namanya. Dia mengekori Intan, meski Intan beberapa kali menolak karena malu jadi tontonan akhirnya nurut juga. Niko ingin bertanya banyak tentang Intan, sebagai sahabat tentunya. Niko tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang meski dalam hati rasa sayang itu sama besarnya seperti dulu. Biarlah, Niko simpan perasaan itu seorang diri. Sampai suatu saat dia menemukan orang yang bisa menggantikan posisi Intan di hatinya. Meski itu entah kapan dan siapa. "Niko, bagaimana kabar Sara?" tanya Intan. "Dia lagi hamil anak ke tiga. Mama kurung dia di rumah karena Sara keguguran sebelum kehamilan yang sekarang. Kenapa tiba-tiba tanya Sara?" ah Niko lupa, Intan dulu adalah teman satu ekstrakulikuler Sara. Meski mereka tidak dekat. Bukannya menjawab, Intan malah pergi begitu saja. Dia pacu motor maticnya membuat Niko bingung setengah mati. Niko kira Intan akan mulai terbuka karena dia sudah mau bertanya. Ternyata benteng pertahanan Intan terlalu kokoh. Tuhan, jaga hatiku untuk tidak menghancurkan dia sebagai istri yang baik. Batin Niko. Niko kembali ke rumah, aroma nikmat masakan Rosmala sudah menguar kala dia menginjakkan kaki di ruang tamu. "Wow, masak apa nih?" teriak Niko. "Ucapkan salam kalau masuk rumah, kasih contoh buat ponakan kamu." Rosmala mengomel, Niko nyengir. "Assalamualaikum, aku pulang!" "Waalaikumsalam." jawab Rosmala dan Zahra. "Om Niko, Enin masak ayam serundeng kesukaan Zahra. Om Niko gak boleh minta, ya!" Zahra, keponakan Niko menghambur ke arah Niko. Dia menyambutnya dengan mengacak puncak kepala Zahra gemas. Gadis kecil berusia 8 tahun itu mencebik tidak suka saat tatanan rambutnya berantakan karena ulah pamannya. "Om Niko, hp baru!" teriak Zein dari dalam rumah. Tangannya mengacungkan sebuah gadget yang masih mengkilap. "Wow, kapan beli?" "Dari papa, Om," ungkap Zein. Bersamaan dengan itu dari dalam kamar tengah keluar seorang pria yang wajahnya mirip Niko, namun terlihat lebih dewasa dengan jambang yang dibiarkan tumbuh. Disusul seorang wanita yang tengah hamil besar. "Woi, Bro! Kapan datang?" tanya Niko pada Rifki. Rifki adalah kakak kandung Niko yang bekerja di pulau Kalimantan. "Tadi pagi, sengaja gak bilang, biar semua orang di rumah ini terkejut," seloroh Rifki. "Iya tuh, Zein sama Zahra sampe gak jadi berangkat sekolah saking senengnya lihat papa mereka datang," timpal Sara. Usai salat magrib berjamaah, Niko sekeluarga mengelilingi meja makan, mereka menikmati sajian makan malam yang Rosmala siapkan menyambut kedatangan Rifki. Bahkan Niko sempat protes karena Rosmala menyiapkan ini semua untuk kakaknya. Mereka semua tergelak melihat Niko yang pura-pura merajuk. Mereka bertukar cerita, dengan malas Niko mendengar cerita Rifki yang bertarung sendirian di kebun sawit dengan ular besar yang berwarna hitam legam. Dokter itu beberapa kali mengernyit tidak suka saat Rifki dengan semangat menceritakan adegan demi adegan. Dia tidak tahu, kakaknya sedang jahil, Rifki tahu betul Niko phobia terhadap ular. "Niko, kapan kamu nikah? Gak kepengen lihat anak-anak lucu kayak gini?" Rifki bertanya, tangannya mengelus perut Sara, sebentar lagi kakak iparnya melahirkan. "Iya, Ko. Mama gerah, masa tiap hari harus denger gosip tentang kamu. Katanya gay lah, gak suka perempuan lah, segala macam." Rosmala menimpali. "Doakan saja," jawab Niko. "Mama gak pernah lupa berdoa buat kalian semua. Gak perlu diminta. O iya Sar, perlengkapan si kembar sudah selesai di packing? Nanti tinggal jinjing aja kalau kamu tiba-tiba mules." "Sudah, Ma." "Mama duluan ya, ngantuk. Niko, jangan ajak ngobrol kakakmu sampai malam, kasihan dia harus istirahat," titah Rosmala, wanita paruh baya berjingkat pergi meninggalkan dua anak lelaki dan seorang menantunya melepas kangen. "Sar, tadi aku ketemu Intan, dia nanyain kamu, lho," seloroh Niko, matanya tetap fokus pada gawai yang dia pegang. "Intan mana?" "Intan Anindya, dulu kamu satu eskul sama dia. Yang pecicilan." "Oh, Intan mantannya Alif, ya?" sambung Rifki. "Alif mana, Mas?" Niko yang semula duduk menyandar kini mengubah posisi menjadi tegak, dia sedikit mencondongkan badannya penasaran dengan pernyataan kakaknya barusan. "Semangat amat!" sindir Rifki, kontan wajah Niko memerah, dia juga salah tingkah. "Pengen tahu aja, Mas. Alif mana sih?" cerca Niko tidak menyerah. "Itu lho, Alif mantan jajaka kabupaten Garut. Anak orang kaya dari Karangpawitan." "Oh, jadi Intan pacaran sama Alif?" "Bukan pacaran kali, Ko. Mereka sampai punya anak malah, Alif menceraikan Intan karena tuntutan profesi. Dia kan ikut top Asian Model gitu, syaratnya harus lajang. Geli aku, cowok pamer-pamerin badan kayak gitu." Sara ngusap-ngusap perutnya, dia tidak menyadari perubahan raut wajah adik iparnya. "Jadi Intan single sekarang?" teriak Niko. "Curiga, Gue!" seru Rifki. Niko sedikit gelagapan, tetapi buka Rifki namanya jika tidak berhasil membuat Niko mengakui sesuatu yang dia sembunyikan. Akhirnya Niko mengakui tentang kisahnya dengan Intan. Bagaimana dia di tinggalkan kemudian bagaimana dia bertemu kembali dengan Intan akhir-akhir ini. Niko tidak terang-terangan menunjukkan rasa rasa yang tertinggal kepada Intan karena dia mengira Intan masih berstatus sebagai Istri. Pantas saja selama ini Intan selalu sendirian mengantar Gia. Jadi, saat ini bolehkah ia kembali berharap? Kerena cinta lama bersemi kembali. Satu minggu kemudian, Niko berhasil mendesak Sara untuk mencari alamat Intan di grup WA alumni. Meski tidak membuahkan hasil, tetapi Niko mendapatkan nomor telepon Intan. Dokter yang kembali kasmaran itu tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Sebagai ungkapan terima kasih, dia berjanji akan memberi kereta bayi pada si kembar yang tengah di kandung Sara. Dengan percaya diri Niko mengirim Intan pesan w******p. [Assalamualaikum, Ntan. Ini aku, Niko!] Satu menit. Dua menit. Tujuh menit. Sepuluh menit, tetap tidak ada balasan padahal centangnya sudah berubah warna menjadi biru. [Ntan, kita kan sudah damai, kok tidak balas] [Ntan, jawab, pliiisss] Centangnya tidak berubah menjadi biru. Intan mengabaikannya. Kalau kemarin-kemarin Niko mengira Intan mengabaikannya karena dia wanita bersuami. Seharusnya sekarang tidak ada alasan untuk Intan mengabaikan Niko. Niko tidak kehabisan akal, dia kemudian mengeluarkan s*****a terakhir hingga akhirnya Intan mau membalas pesan-pesannya bahkan menerima ajakan Niko untuk makan siang bareng. Ajaib bukan? Jelas, lah Intan di ancam akan dilaporkan ke polisi terkait insiden penamparan kemarin. Niko sudah berjanji akan berdamai dengan rasa sakit hati karena di tinggal Intan, dia akan menerima alasan apa pun yang Intan utarakan nanti. Setidaknya dia mau mencoba. Dia ingin menjadi orang yang menyembuhkan luka di hati Intan. Menurut gosip yang Sara bawa dari grup alumni, Intan ditinggalkan mantan suaminya saat mengandung Gia. Wanita itu harus berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya dan Gia serta ibunya Intan. Intan, bisakah kita mengulang masa itu? batin Niko berteriak lirih. Niko baper, akhir-akhir ini dia menjadi sensitif. Seperti perempuan yang sedang datang bulan. Restoran cepat saji di Mall Garut. Niko menunggu dengan gusar, Intan sebetulnya belum terlambat, hanya saja pria itu tidak sabar hingga datang dua puluh menit lebih cepat dari waktu yang sudah mereka sepakati. Kaus berkerah dengan warna hijau muda serta celana denim dengan warna pudar membalut tubuh Niko. Dia sudah acak-acak lemarinya demi pilih pakaian yang akan dikenakan saat bertemu Intan. Dia sudah siapkan sebuah hadiah untuk Gia, gadis kecil itu selalu semringah saat mendapat hadiah kecil di klinik. Tidak lama kemudian Intan tiba, dia datang tanpa Gia. Meski sebetulnya Niko sudah berbasa-basi agar mengajak serta Gia. "Sory telat, beresin kerjaan bentar." Niko tersenyum kemudian membantu Intan narik kursi yang hendak diduduki, "gak apa-apa, telat 10 menit aja." "Rajin amat sampe dihitung, ngarep banget aku dateng, ya?" ledek Intan. "Banget!" jawab Niko mantap, Intan hanya geleng-geleng kepala. "Jadi, mau apa?" "To the point banget sih, Ntan. Basa basi dulu kek, tanya kabar, pesan makanan gak tahu apa aku udah laper." "Idih, situ yang duluan dateng kenapa gak pesen makanan duluan? Pake nyalahin orang," sulut Intan dengan nada bicara yang sedikit meninggi. Beberapa orang di meja sebelahnya menoleh ingin tahu. "Oke, selow, maafin aku. Aku pesenin dulu, ya." Intan dan Niko menikmati santap siang dengan canggung, sesekali Niko bertanya tentang Gia dan di jawab dengan ketus atau seperlunya saja. Ayolah Intan, Niko sudah merindukan kamu yang secerewet dulu. "Ntan, maaf banget Nih ya, aku sudah tahu tentang kamu dan Gia, makanya aku berani ajak kamu ketemu sekarang karena kamu ..." "Janda?" potong Intan sensi. "Bukan begitu maksudku, Ntan." "Iya juga gak apa-apa, Ko. Memang kenyataannya seperti itu. Itulah alasannya aku sering menghindar dari laki-laki yang deketin aku termasuk aku juga mencium gelagat itu dari kamu." "Itu Intan tahu kalau aku berusaha deketin kamu, Ntan aku ingin seperti dulu. Kamu mau?" "Maaf, Ko. Aku sudah lelah di hujat orang-orang. Dandan di omongin, gak dandan juga di omongin. Keluar rumah di omongin, di gosipin. Apa lagi kalau mereka tahu aku makan bareng kamu siang ini. Bisa habis di kuliti aku!" "Itu hanya perasaan kamu saja, Ntan." "Kamu sih enak ngomong gitu karena gak ada di posisi aku. Atau kamu mau coba jadi duda? Ah tapi mereka licik, kalau duda aja di bilang Duren. Duda keren!" sungut Intan. Niko mengulum senyum. Intannya sudah kembali, dia tetap cerewet seperti dulu. "Aku gak suka kamu pakai softlens abu-abu. Bola mata kamu terlalu indah untuk ditutupi pake benda itu." "Kamu siapa berani ngatur-ngatur aku?" "Calon suami kamu!" Intan tersedak karena kaget, Niko berdiri, dengan lembut mengusap punggung Intan. Getarannya masih sama. Cinta Niko pada Intan masih sama, rasa itu membuatnya tidak peduli pada sakit hati yang pernah Intan torehkan. Intan menepis tangan Niko, pria itu kini duduk di sampingnya. Intan yang merasa risih menghadiahi Niko dengan sebuah pelototan garang, membuat nyali Niko menciut dan kembali pindah ke tempat semula. "Seenaknya aja bilang calon istri, lalu Sara bagaimana?" "Lho, kenapa memang dengan Sara?" Niko bingung, dia melihat  muncul keringat di ujung hidung Intan. Perempuan itu sedang gugup. "Bukannya dia istrimu?" Niko melongo, dia tersenyum geli tidak lama kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Intan. Merasa sedang dipermainkan perempuan itu beringsut mundur kemudian menyambar tas nya dan meninggalkan Niko lagi. Sayangnya Niko sigap, dia berhasil meraih peegelangan tangan Intan kemudian berlutut seraya berkata, "Ntan, Nikah, yuk?" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN