Orang Aneh (1)

1033 Kata
Mendung, dingin, tetesan air jatuh ke bumi perlahan. Malas? Jangan ditanya. Kalau bukan karena hari ini hari pertama masuk ke sekolah baru, Nadin tidak akan beranjak dari kasurnya. Mungkin begini yang namanya rasa lega, syukur dan bahagia. Akhirnya bisa benar - benar memulai hidup baru. Sembari memperhatikan sekeliling, Nadin berjalan menyusuri lorong yang sepi karena memang jam pelajaran telah dimulai, mencari ruang guru. "Permisi, mau tanya." Nadin berdiri di samping seorang siswa yang sedang berjongkok menghadap selokan. Entah apa yang menarik sehingga ia begitu fokus menatap selokan itu. Apa mungkin ada barangnya yang terjatuh? "Permisi," serunya lagi. Siswa tersebut menoleh. Ada perasaan aneh yang menyelinap. "Lo ngomong sama Gue?" Ia menunjuk dirinya sendiri. Nadin memperhatikan lelaki di hadapannya. Padahal ia berjongkok di samping selokan tapi anehnya ia tak basah terkena percikan air hujan yang memang agak lebat. Sekelebat pikiran merasuk ke otaknya. Tidak, tidak mungkin. Ia menggeleng kuat mencoba mengusir pikiran itu. Tidak Ia sudah bukan Nadin yang dulu. Ia sudah bebas. Dengan ragu Nadin anggukan kepala. "Kamu ngapain di situ?" Nadin terperanjat, sontak menoleh ke arah suara. "Saya lagi cari ruang guru Bu. Saya murid baru," katanya memperkenalkan diri pada perempuan berseragam guru yang tadi menanyainya. "Ruang guru ada di sebelah situ." Tunjuknya tak jauh dari tempat Nadin berdiri. "Terus ngapain Kamu melamun sendirian di situ?" Hah melamun? Sendirian? Bukankah.. Nadin menoleh ke belakang, ke arah siswa tadi. Kosong! Ke mana perginya orang tadi. Ibu tadi menatapnya bingung. "Gak Bu. Saya cuma bingung aja tadi," jawabnya sembari menahan rasa khawatir dalam diri. Oh tuhan, bukankah Ia sudah sembuh? *** Nadin masih teringat Jelas dengan kejadian tadi. Siapa siswa itu ke mana perginya dia? Mengepalkan tangan kuat, Nadin tak sanggup menahan gejolak rasa takut yang makin kentara terasa. Coba diingat. Siswa lelaki itu memakai seragam SMA, putih abu - abu layaknya semua siswa di sini. Tapi tunggu, kenapa Ia tak ingat seperti apa wajahnya. Atau lebih tepatnya tadi tak bisa dengan jelas melihatnya. Hanya saja yang ia ingat lelaki tadi hanya memakai sepatu di sebelah kanan kakinya, sedangkan kaki kirinya hanya memakai kaus kaki. Apakah sepatunya hanyut? Benarkah? Nadin hanya ingin berpikir positif, tak ingin memikirkan kemungkinan itu. *** Namanya Nadin Clarissa. Usia tujuh belas tahun, kelas sebelas dan sudah tiga kali pindah sekolah. Bukan, Dia bukan siswa nakal atau pembuat onar. Hanya saja sesuatu yang ada pada dirinya sejak lahir membuat hidupnya menjadi tak tenang. Baru saat ulang tahunnya yang ke tujuh belas, Ia bisa hidup layaknya manusia normal. Sejak lahir, Nadin sudah di karuniai mata yang berbeda dengan mata orang normal lainnya. Ia bisa melihat makhluk - makhluk yang tidak bisa dilihat oleh manusia normal lain. Sebulan lalu akhirnya dia bisa bebas, terlepas dari kutukan itu, saat nenek akhirnya berhasil menutup mata batinnya dan sejak itu Ia tak lagi melihat mereka. Tapi siswa tadi? Semoga dia bukan seperti apa yang Nadin pikirkan. "Nad. Ke kantin yuk," ajak Mila, teman sebangkunya. Nadia mengikuti Mila dan Ratih, teman barunya menuju kantin. Semua berjalan normal bahkan sampai hari - hari berikutnya Nadin tak lagi melihat siswa lelaki aneh di hari pertama ia masuk sekolah. Hidupnya benar - benar biasa dan Nadin menyukai itu, kehidupan tenang yang ia impikan. "Nad, Lo punya pacar gak?" Nadia menoleh ke arah Mila yang duduk di sampingnya kemudian menggeleng. "Gak. Jomblo dari lahir Gue?" "Hah? Masa?" Ratih melihat tak percaya. "Kenapa? Kok bisa Lo gak punya pacar?" "Memangnya harus banget ya punya?" Nadin membereskan bukunya, sekarang sudah jam pulang sekolah dan sejujurnya sekolah barunya kali ini sangat nyaman dan kabar baiknya dia bahkan punya teman yang baik juga. "Yah gak gitu. Cuma kan sayang, masa sekolah cuma sekali kalo kata nyokap Gue," sambung Mila. "Iya sih." "Tapi kenapa Lo jomblo? Jangan - jangan Lo suka pilih - pilih ya? Ayo ngaku?" Ratih dengan semangat menggoda Nadin. Nadin menggeleng. Boro - boro mau pilih - pilih, sejauh ini saja dia bahkan tidak punya teman karena sering dianggap aneh. "Gak ada yang mau sama Gue." Kedua temannya itu terdiam sesaat. "Boong banget. Sekarang aja ni yah cowok - cowok di sini pada nanyain Lo. Tu si Reza aja dari kemarin ngebet minta nomor Lo," terang Mila, menyebut Reza ketua kelas mereka yang menaruh hati pada Nadin. "Lo kasih nomornya?" kepo Ratih. "Yah jelas dong. Buktinya tuh Nadin udah masuk ke grup kelas." "Yeeey." Ratih menggeplak kepala Mila. "Itu mah buat dimasukin ke grup namanya." "Tapikan jelas kelihatan kalau dia naksir Nadin." Mereka berdebat, Nadin hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka. "Yok Balik," ajak Nadin. Di luar sudah mulai mendung dan benar saja belum mereka sampai ke parkiran hujan sudah lebih dulu turun. Mila sudah lebih dulu pulang dengan Aldo, pacarnya. Sedangkan Ratih baru saja dijemput. Mereka sudah menawari Nadin untuk pulang bersama, tapi sayangnya Nadin menolak karena rumah mereka tidak searah. Sekolah sudah nampak sepi, taksi online yang ia pesan mendadak cancel karena mobilnya mogok. Tak lama Nadin melihat seorang siswa yang dulu pernah ia lihat di hari pertamanya lagi - lagi sedang berjongkok, melihat ke arah selokan yang airnya meluap. Nadin mengenalinya, bukannya apa postur tubuhnya dari belakang nampak sama. Tapi kali ini tidak seperti sebelumnya, Nadin bisa melihat ada yang aneh dengan penampilan siswa tersebut. Nalurinya memperingati untuk pergi menjauh dan tak menghiraukannya tapi seolah terpanggil, ia ingin tahu siapa sebenarnya siswa tersebut. Karena kalau memang siswa itu bukan manusia kenapa Nadin tak merasakan hawa jahat padanya. Dengan langkah pelan dan hati - hati Nadin mendekat. Jantungnya berdetak kencang. Saat ia lebih dekat bisa dilihatnya seragam putih yang dipakai lelaki itu nampak bebercak merah. Nadin tak berani menyapa. Seolah sadar kalau apa yang dilakukannya ini berbahaya, ia menjauh, tapi belum sempat Nadin berbalik lelaki itu menoleh padanya. Nadin mematung, sebisa mungkin tak berteriak. Wajah siswa lelaki di depannya ini nampak penuh dari dibagian kanannya bahkan baju depannya penuh darah. Seolah tak dapat berkata - kata, dirinya hanya bisa mematung bahkan ia menahan nafas. "Kenapa Gue masih bisa ngelihat ginian?" tanyanya dalam hati. Seharusnya sejak neneknya menutup mata batinnya Nadin tak lagi bisa melihat makhluk halus tapi apa ini? Kenapa ia bisa melihat makhluk di hadapannya ini. Ia bingung. Apa yang harus dia lakukan. Lelaki itu nampak diam, memiringkan kepalanya menatap Nadin heran. "Lo bisa lihat Gue?" katanya kemudian tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN