BAB 4| Gagal Mendapatkan Bukti

1975 Kata
*** Seperti yang direncanakan sebelumnya, setelah Jesslyn meninggalkan hotel, dia langsung menuju ke klub terakhir sebelum akhirnya berakhir di hotel bersama pria berinisial G yang masih misterius bagi Jesslyn. Setelah tiba di klub, Jesslyn langsung bertemu pemilik klub untuk menjelaskan rangkaian kejadian yang dialaminya semalam agar bisa mendapatkan izin untuk melihat rekaman CCTV. Beruntung bagi Jesslyn, permintaannya disetujui oleh pihak klub. Dengan cepat, Jesslyn bergegas menuju ruang CCTV bersama petugas yang bertugas di sana. Dengan rasa tidak sabar, Jesslyn berdiri di samping kursi yang diduduki oleh petugas itu, membungkukkan tubuhnya. Matanya menatap serius pada layar yang menyala tanpa berkedip. "Maaf, bisa pelankan sedikit supaya aku bisa melihat dengan jelas?" pinta Jesslyn pada petugas, yang langsung mengikuti instruksinya. Jesslyn mengamati rekaman dengan seksama. Beberapa detik kemudian, keningnya mengerut dan matanya memicing. Kebingungan tampak jelas di raut wajah cantiknya. "Mengapa tiba-tiba gelap?" tanyanya pada petugas ketika bagian rekaman yang diinginkannya tiba-tiba menjadi gelap. "Sepertinya terjadi kerusakan, nona," jawab pria itu. "Kerusakan?" Jesslyn memastikan dengan nada jengah. Rasa kesal kembali menyelimuti dirinya. "Apakah sebelum kedatangan ku, ada orang lain yang meminta akses CCTV di tempat ini?" Tanya Jesslyn serius sambil menegakkan tubuhnya, menatap sang petugas dengan tajam. Mengalihkan pandangannya dari layar komputer, sang petugas menoleh pada Jesslyn, membalas tatapan tajam dari gadis cantik tersebut. "Yang saya ketahui, belum ada yang meminta akses CCTV pada hari ini selain Anda, Nona," jawabnya dengan jujur, menyampaikan informasi sejujurnya. Terdiam sejenak, Jesslyn mengalihkan pandangannya dari pria itu ke arah lain. ‘Tidak mungkin jika semua ini hanya kebetulan. Aku yakin semua ini sudah direncanakan. Ya, semua ini pasti ulah lelaki b******k itu, tidak salahnya lagi,’ bisik Jesslyn dalam hati, refleks mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Jesslyn menahan geram dalam hati ketika bunyi pesan yang ditinggalkan oleh pria misterius itu terngiang di benaknya. Detik berikutnya, Jesslyn mengangguk pelan. "Baiklah. Terima kasih atas waktu dan bantuanmu," ucapnya pada sang petugas. Jesslyn membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari ruangan setelah mendapat respon dari pria itu. Dengan langkah gontai, Jesslyn berjalan menuju jalan besar. Wajahnya terlihat tak semangat. Berhenti di tepi jalan, ia menatap sepanjang jalan, menunggu kendaraan yang bisa ditumpanginya. Sebenarnya ia bisa saja memesan kendaraan online melalui ponselnya, namun ia belum ingin menyalakan perangkat tersebut karena saat ini ia belum ingin berbicara dengan siapa pun. Jika perangkat canggih itu aktif, Jesslyn yakin kedua sahabatnya akan segera menghubunginya. Tidak, saat ini suasana hati Jesslyn tidak enak dan ia masih belum siap untuk menceritakan rangkaian kejadian semalam yang dialaminya kepada Livi dan Nova. Dari kejauhan, sang mafia duduk dengan santai di dalam mobil mewahnya, menatap lurus ke depan dengan tatapan mata tajam yang terlindungi oleh kacamata hitam. Rahangnya yang tegas, dihiasi dengan bulu halus di sekitarnya, terlihat mengeras. Tangannya meraih ponsel dari tempat penyimpanan. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke perangkat tersebut, mengutak ngatik beberapa saat. Sang mafia membawa ponsel ke telinga dan membiarkannya menempel di sana. "Ya, halo, Tuan," seruan seseorang di ujung telepon menggema di pendengarannya. “Mendekatlah padanya dan antarkan dia,” perintah Gerald sambil kembali menatap sosok sang gadis cantik dari kejauhan. “Jangan tolak p********n darinya,” tambahnya. “Baik, Tuan,” balas pria di ujung telepon dengan tegas. Gerald menjauhkan ponsel dari telinga dan memutuskan sambungan telepon dengan anak buahnya. Kemudian, Gerald kembali memfokuskan seluruh perhatiannya pada gadis di ujung sana. Tak lama kemudian, dengan mata tajam, Gerald mengamati dengan seksama saat gadis tersebut masuk ke dalam sebuah mobil yang dikendarai oleh anak buahnya yang menyamar sebagai seorang supir taksi. “Tidak pernah berubah, justru semakin dewasa, dia semakin berani. Sungguh, gadis yang menarik,” gumam Gerald sambil tertawa pelan. Lalu, ia mendesah pelan, “Oh, Jesslyn. Aku tak sabar ingin memberikan kejutan padamu,” lanjutnya, diakhiri dengan tawa kecil yang lepas dari bibirnya. Sejak Jesslyn meninggalkan hotel, Gerald mengikutinya tanpa disadari. Bahkan saat gadis itu menuju klub untuk melihat rekaman CCTV, Gerald tetap setia mengikutinya. Jesslyn bukanlah sosok baru dalam kehidupan Gerald. Mereka sebelumnya telah saling mengenal dan berpisah karena suatu hal. Gerald memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter Jesslyn, hal ini membuat sang mafia merasa lebih mudah dalam mengambil keputusan serta lebih hati-hati dalam menghadapi gadis tersebut. *** Setelah membayar taksi yang ditumpanginya, Jesslyn segera turun dan melangkah ke dalam gedung apartemen tempat tinggalnya. Ia menuju lift dan begitu pintu lift terbuka lebar, Jesslyn masuk dengan langkah mantap. Jesslyn menekan tombol di dalam lift dan lift mulai bergerak ke atas. Saat tiba di lantai sepuluh, tempat unit apartemennya berada, Jesslyn bergegas keluar dari lift dan menuju unitnya dengan cepat. Setelah membuka pintu apartemen dan membiarkannya tertutup secara otomatis, Jesslyn menuju dapur untuk minum air dan meredakan dahaganya. Setelah itu, ia melangkah menuju kamar utama. Dengan langkah tanpa semangat, Jesslyn melempar tas yang dipegangnya kasar ke atas ranjang setelah mengambil ponsel di dalamnya. Kemudian, Jesslyn berjalan menuju sofa di dekat ranjang dan menghempaskan tubuhnya di sana. Dengan helaan napas kasar, ia mengusap wajah cantiknya yang agak berantakan. “Sial sekali hidupku. Setelah bertahun-tahun merasa aman, mengapa sekarang aku berurusan dengan b******n sepertinya,” gerutu Jesslyn dengan perasaan kesal. “Tuhan, jika boleh aku memohon, tolong pertemukan aku dengannya. Izinkan aku membunuh kali ini saja,” monolog Jesslyn pada dirinya sendiri. Bagaikan orang gila, Jesslyn memohon yang bukan-bukan kepada Tuhan saking kesalnya pada sang mafia. Ponsel di tangannya tiba-tiba berdering, membuat Jesslyn tersentak kaget. Dengan cepat, ia membawa ponsel ke depan wajahnya, mengamati layar yang menyala dan melihat nama kontak Livi. Jesslyn menjawab panggilan tersebut dengan cepat. “Jesslyn!” pekik Livi di ujung telepon, membuat Jesslyn menutup sebentar telinganya sambil meringis, lalu menjauhkan ponsel dari telinganya sebelum membawanya kembali mendekat. “Telingaku sakit, Livi. Bisakah kamu bicara pelan-pelan?” kesal Jesslyn dengan nada jengah. “Tidak bisa, Jess! Ya Tuhan…! Aku dan Nova sangat cemas memikirkanmu semalaman. Kamu kemana saja sampai susah sekali dihubungi. Mengapa semalam kamu tiba-tiba menghilang dari klub?” tanya Livi berturut-turut, membuat Jesslyn hanya bisa menghela napas pelan. Jesslyn termenung sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Livi, “Semalam, aku dijemput oleh salah satu keluarga. Mereka tiba di Milan semalam,” bohong Jesslyn dengan terpaksa. Ia belum siap menceritakan kejadian semalam kepada kedua sahabatnya. Sebab ia ingin menemukan pelakunya terlebih dahulu. “Oh, jadi begitu ceritanya? Kamu dijemput oleh salah satu keluargamu?” Terdengar helaan napas lega dari Livi di ujung telepon. “Syukurlah kalau begitu. Oh iya, di mana kamu sekarang? Sudah kembali ke apartemen?” “Sudah, tapi aku ingin istirahat sebentar. Aku sangat lelah,” jawab Jesslyn. “Artinya, di weekend kali ini kita tidak akan shopping?” tanya Livi dengan sedikit kekecewaan dalam suaranya. “Kamu saja dengan Nova. Sungguh, aku tidak berbohong. Tubuhku lelah sekali, aku ingin istirahat seharian ini,” terang Jesslyn. Di ujung telepon, Livi merespon dengan nada pelan, tampak kecewa. Namun gadis itu tidak ingin memaksa sahabatnya dan menghargai keputusan Jesslyn. Setelah merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan sahabatnya, Jesslyn akhirnya menyudahi panggilan sebelum menjelaskan kepada Livi bahwa ia benar-benar lelah dan ingin beristirahat. Setelah memutuskan panggilan telepon, Jesslyn hendak bangkit dari duduknya, tetapi urung karena ponselnya kembali berdering. Setelah diaktifkan perangkat canggih tersebut sungguh sibuk, Jesslyn menerima panggilan masuk dan mendapat pesan tiada henti. Jesslyn melirik pada ponselnya dan saat melihat nama kontak seseorang pada layar yang menyala, seketika membuat kedua matanya membelalak lebar. Dengan cepat, Jesslyn menjawab panggilan tersebut, membawa ponsel menuju telinga, dan dibiarkan menempel di sana. "Ya, Halo, Dad," jawab Jesslyn setelah panggilan terhubung. "Selamat pagi, bagaimana kabarmu hari ini, Princess?" tanya suara berat dan serak itu di ujung telepon. Dalam diam, Jesslyn menelan saliva dengan susah payah, disertai oleh debaran d**a yang tak karu-karuan ketika mendengar suara serta pertanyaan dari pria yang tidak lain adalah Morgan Blaxton. Morgan Blaxton adalah keponakan Clara Blaxton ibu kandung Jesslyn. Artinya, Morgan Blaxton adalah sepupu Jesslyn. Namun, karena usia pria itu sebaya dengan ibunya, Jesslyn merasa lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan "Daddy", daripada “Kakak” karena bagi Jesslyn, Morgan adalah sosok Ayah kedua baginya. Jesslyn berusaha menenangkan diri dengan cara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, sebelum kemudian ia menjawab pertanyaan dari Morgan. "Pagi, Dad. Tentu saja, kabarku baik, apalagi di hari weekend seperti ini, selalu menyenangkan,” ia mengulas senyum paksa. Hening sejenak sebelum kemudian Morgan membalas di ujung telepon, "Dad senang mendengarnya. Oh iya, bagaimana acaramu semalam? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?" Deg! Kali ini, kedua mata Jesslyn kembali membelalak lebar sambil menutup mulut menggunakan sebelah tangan. 'Ya Tuhan, bagaimana Dad bisa tahu kalau semalam aku pergi ke klub,' batinnya terdengar cemas dan takut. "Kau masih disana, Princess?" tanya Morgan kemudian. "Ah, iya, aku masih di sini, Dad," jawab Jesslyn sambil berusaha membuat suaranya terdengar normal di pendengaran pria itu. "Kau baik-baik saja?" lagi, pertanyaan seperti itu seakan membuat Jesslyn merasa tercekik. Santai namun penuh makna. "I-Iya, aku baik-baik saja, Dad. Dan mengenai acara ku semalam, semuanya berjalan dengan lancar. Kami berpesta karena atasanku merayakan kesuksesan pemasaran besar di perusahaan tempatku bekerja," beritahu Jesslyn sambil menjelaskan panjang lebar. Dalam hati, sang gadis cantik itu berharap semoga dengan penjelasannya itu dapat mengalihkan perhatian Morgan dari kekhawatirannya. "Apakah Mom yang memberitahumu bahwa semalam aku berpesta?" tanya Jesslyn kemudian dengan suara hati-hati. Sebelum menjawab pertanyaannya, terdengar suara kekehan pelan Morgan di ujung telepon, sehingga membuat Jesslyn semakin susah menelan saliva, dengan tenggorokannya terasa semakin mengering. "Kebetulan sekali, Dad tidak begitu suka bertanya kepada seseorang, karena hasilnya belum tentu akurat dan seperti yang aku inginkan," ujar Morgan. Deg! "Baiklah, Dad hanya ingin memastikan saja bagaimana kabarmu hari ini. Jika semuanya baik-baik saja, Dad ikut senang mendengarnya," tambah Morgan. "Dad—" suara Jesslyn terbata-bata. Gadis itu semakin gugup. "It's okay. Jangan ragu untuk menceritakan apapun jika ada hal yang mulai mengganggu ketenanganmu. Ingatlah, Princess, ibumu adalah seorang Blaxton, di mana di dalam tubuhmu mengalir darah Blaxton. Siapapun yang sedang berurusan denganmu, itu berarti orang itu juga berurusan dengan keluarga besar kita. Kau mengerti?" "Iya... Iya, aku mengerti, Dad," jawab Jesslyn dengan suara yang masih terdengar gugup. "Baiklah, kalau begitu, istirahatlah, mumpung hari ini adalah hari kemerdekaanmu," ucap Morgan, agak bergurau, membuat Jesslyn sedikit menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum kecil mendengar ucapan Morgan. "Iya, terima kasih, Dad. Mungkin nanti malam aku akan menghubungi mansion," beritahu Jesslyn. "Hm, kebetulan Grandma mu merindukan suaramu. Hubungilah dia nanti, walau sebentar," kata Morgan mengingatkan, dan Jesslyn langsung mengiyakan. "Jangan lupakan senjatamu, Princess," tambah Morgan sebelum kemudian pria itu mengakhiri panggilan secara sepihak. ‘Jangan lupakan senjatamu? Itu artinya Dad tahu apa yang aku alami semalam,’ bisik Jesslyn dalam hati, lalu gadis cantik itu mendesah kasar. Sejenak, ia merenung di atas sofa, membayangkan langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Namun, semakin lama Jesslyn memikirkan hal itu, kepalanya semakin terasa berdenyut. Sehingga, ia pun bangkit dari duduknya dan hendak menuju kamar mandi. Kting! Sialnya, perangkat canggih tersebut kembali berbunyi, namun kali ini bukan panggilan masuk melainkan sebuah pesan yang baru saja diterima. Jesslyn menoleh dan melihat perangkat tersebut dengan dahi berkerut. Jesslyn berpikir bahwa yang mengirim pesan mungkin salah satu keluarganya. Sehingga, ia menyambar ponsel tersebut dengan cepat dan membawanya ke depan wajah. Mengusap layar yang menyala, Jesslyn melihat pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tak dikenal. Jesslyn membuka pesan tersebut dan membacanya dalam hati. ["Hey baby girl, Bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik saja?"] tertanda G. Detik berikutnya Jesslyn terkekeh muak. Pria keparatt itu telah mencuri nomor ponselnya. Dengan rasa kesal yang memenuhi dadanya, Jesslyn memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut. Namun sialnya, panggilannya tertolak secara otomatis. Jesslyn tidak menyerah. Ia pun menggunakan cara lain dengan membalas pesan yang dikirimkan barusan oleh si pria misterius berinisial G. Gerald DeVille. Sayangnya Jesslyn tidak mengetahui jika itu adalah dirinya. Si pria mesumm yang mengambil ciuman pertamanya beberapa tahun yang lalu. Jesslyn: "Keadaanku tidak cukup baik, karena aku belum berhasil menembak kepalamu," setelah mengetik serangkaian kalimat tersebut, Jesslyn langsung menekan tombol send sehingga pesan pun terkirim dalam hitungan detik. Entah bagaimana respon sang pria berinisial G di ujung sana setelah membaca balasan pesan darinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN