Aileen Nathania Winata

1191 Kata
Suara ketukan pintu, menghentikan seorang Pria botak dengan kumis tebal saat menjelaskan salah satu materi di ruangan A-1. Pria itu menoleh ke sumber suara termasuk orang-orang yang sedang berada di ruangan tersebut. Seorang Gadis tengah berdiri di pintu memegang buku dan gadget yang didekap di dadanya, terlihat sederhana tapi tetap cantik hanya dengan memakai balutan dress putih selutut yang memperlihatkan kaki jenjangnya. "Permisi, Pak." Suara gadis itu terdengar lembut, sambil menunggu jawaban dia memperbaiki posisi kaca matanya yang bertengger di hidung mancungnya. "Masuklah Ana!" Suara pria botak itu menginterupsi sang Gadis untuk masuk. Gadis itu lalu melangkahkan kakinya sembari menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Baru kali ini dirinya terlambat, dan ternyata sangat tak mengenakkan. Apalagi sekarang semua mata tertuju padanya, layaknya dia sedang mengikuti kontes kecantikan. "Ada apa Ana? Tak biasanya kau terlambat seperti ini," tanya Pria botak itu yang memiliki nama pak Randa. Ana tersenyum begitu manis. "Maaf, Pak Randa. Sepertinya saya kesiangan." "Yah sudah, silahkan duduk saja!" perintahnya. "Makasih, Pak!" ucap Ana singkat. Ketukan stileto-nya terdengar seperti nada saat Ana menyisiri anak tangga. Ruangan ini memang seperti bioskop. Beberapa suara lelaki terdengar menggodanya namun seperti biasa, gadis itu hanya membalasnya dengan senyuman. Ana menduduki bangku paling terakhir, beginilah jadinya jika seorang mahasiswa terlambat. Duduk paling belakang adalah hal yang sering terjadi, akibatnya materi yang disampaikan oleh dosen seperti angin yang berembus begitu saja. Tapi bagi Mahasiswi seperti Ana itu tak masalah. Gadis itu termasuk mahasisiwi yang cerdas, nilai IPK-nya bahkan di atas rata-rata. Aileen Nathania Winata atau yang sering dipanggil dengan Ana, jika kalian mendengar namanya. Apakah kalian menebak, dia seorang gadis yang cantik? Jika iya, tebakan kalian benar. Ana memang sangat cantik, tubuhnya bak model majalah. Menurut Pria yang ada di kampusnya, senyum Ana begitu memikat. Kehidupannya begitu sempurna, ditambah gadis itu orang yang berada. Ana adalah seorang mahasiswi S3, jurusan Psikologi McGill University. Letaknya di Montreal, Quebec, Kanada. Umurnya masih tergolong muda, dua puluh tujuh tahun tapi akan segera menyandang gelar doktor. Ana memang terlahir dengan IQ diatas rata-rata, Itulah mengapa dirinya terbilang cepat dalam menyelesaikan pendidikannya. Namun gadis itu bukanlah tipikal orang yang suka memamerkan kelebihannya. baginya, Dia sama saja seperti yang lain. Ana sangat ramah kepada siapa pun yang ada di sekitarnya, bahkan sesekali gadis berambut panjang itu membantu mahasiswa yang kesulitan dalam memahami materi. Itulah kenapa para dosen dan mahasiswa di kampusnya, begitu mengidolakan sosoknya. Seringkali Ana mendapat hadiah dari beberapa mahasiswa pria yang secara terang-terangan mengajaknya berkencan. Namun baginya, pendidikan untuk saat ini lebih penting. Dibanding harus menjalin sebuah ikatan yang bernama 'cinta', jika ujung-ujungnya akan membuatnya merana. ‘Jika Kau ingin menjadi hebat di mata orang lain, buat mereka menjadi takjub dengan prestasimu. Bukan sensasi yang akan mengotori harga dirimu!’ Begitulah prinsip yang selalu di pegang teguh seorang Aileen Nathania Winata. Pak Randa sudah selesai memberikan materi yang berarti kelas sudah berakhir, Ana segera merapikan bukunya. Suara kegaduhan di ruangan ini masih terdengar, gadis itu lalu beranjak dari kursinya. "Ana, bisakah kau mengajarkan kami materi Pak Randa tadi. Sungguh, Kami benar-benar tak mengerti," ucap salah satu pria yang sedang bergerombol dan menahan langkah kaki Ana. "Tentu, tapi tidak sekarang! Aku harus ke perpustakaan," tuturnya lembut. "Pasti, kapan saja. Kami selalu siap," timpal Pria berponi. "Baiklah, aku duluan." Ana tersenyum membuat para pria serentak menjawab. "Hati-hati, Ana!" Ana sangat tahu, ini hanya alasan klasik para pria agar bisa dekat dengannya kemudian saat ingin melangkah keluar, lagi-lagi kaki gadis itu tertahan. "Ana, temui bapak di ruangan! Ada yang perlu bapak sampaikan padamu," Pak Randa menepuk pundak Ana, lalu segera berlalu. Lagi-lagi Ana harus menunda tujuannya ke perpustakaan, gadis itu segera bergegas menemui Pak Randa. Saat di koridor banyak mahasiswa yang menyapanya sebagian besar adalah Pria, ada yang sekadar basa-basi dan kebanyakan lebih menggodanya. Namun dia hanya tersenyum, Ana tak pernah marah jika teman-temannya bersikap seperti demikian. Lebih tepatnya, Adik tingkatannya. Menurutnya itulah naluri seorang lelaki, ketertarikan antara Pria pada Wanita. Tergolong hal lumrah. "Lihatlah, Ana begitu cantik hari ini." "Ibuku pasti akan memujiku sepanjang hari, jika aku membawanya ke rumah." "Beruntung sekali pria yang mendapatkan hatinya." Itulah sekelumit pembicaraan beberapa pria, saat Ana melintas di hadapan mereka. "Bapak ingin kamu memberikan pendapat tentang berita ini," ucap Pak Randa, saat Ana sudah menduduki kursi yang ada di hadapannya. Gadis itu terlihat mengernyitkan dahinya saat melihat koran yang disodorkan Pak Randa 'CEO Grup Bangker, was killed in a sadistic' "Pembunuhan?" tanyanya. "Iya, Ana. Pagi ini polisi menemukan mayat di bangunan tua, dekat sungai Saint Lawrence," jelasnya. "Aku bahkan baru mengetahui kabar ini." Ana mulai membaca koran itu, kemudian lagi-lagi keningnya mengernyit saat membaca salah satu tulisan. Tak ada bukti yang kuat mengidentifikasi pelaku pembunuhan, bahkan polisi tak menemukan barang bukti yang kuat selain setangkai bunga dan ukiran nama di lengan sang CEO yang bernama James Alexi. "Boleh Aku membawa koran ini? Aku akan membacanya di perpustakaan," tanyanya. "Tentu, Ana. Setelah itu berikan laporan pendapatmu tentang pembunuhan ini. Bapak pikir ini benar-benar aneh!" jawabnya. "Kalau begitu saya permisi, Pak." Ana pamit dan segera ke perpustakaan. Ana mengambil salah satu buku berjudul 'A Sadistic Murder'. Kemudian mencocokkan salah satu kisah pembunuhan yang ada di buku tersebut. Hampir sama, tapi bagaimana cara membuktikannya? Jika polisi hanya menemukan mayat, bunga dan ukiran nama. Pasti ada sesuatu di balik ini, pikirnya. Ana mulai mengetik di notebook-nya yang baru saja di ambil dari mobilnya. laporan pendapat tentang kasus pembunuhan seorang Ceo Grup Bangker, James Alexi. Tentu Ana sangat penasaran dengan pembunuhan ini, selain ini bisa menjadi salah satu penelitian tugas akhirnya. Mungkin bisa membantu dalam memecahkan teka-teki dari Pelaku Pembunuhan. Yah ini teka-teki, Ana rasa ini bukan pembunuhan biasa. Sepertinya ada pesan yang coba disampaikan sang Pembunuh. *** "Bagaimana rasanya, Ana?" Meisya bertanya pada Ana, saat mereka makan malam. Ana hanya membalas dengan menaikkan jempol kirinya. "Benarkah? Padahal Aku baru mencobanya dari buku resep milik ibuku." "Makanan ibu memang selalu enak! Iya kan, Aunty? " timpal Letisha. Ana menyudahi makannya, "Hei, gadis kecil. Sejak kapan kau memanggilku, Aunty?" protesnya, gadis chubby itu hanya terkekeh. "Sejak tadi." "Aku masih muda, panggil saja kakak." balas Ana "Bohong! Aunty terlihat tua," ejeknya. "Gadis kecil, Awas Kau..." Ana berdiri dan bersiap-siap mencubit pipi Letisaha. Namun dengan sigap, anak itu menjauh dari Ana sehingga terjadilah aksi kejar-kejaran. Meisya yang melihat tingkah beda generasi ini hanya menggeleng. "Sudah, sudah. Letisha naik ke kamarmu, Sayang! Besok kau harus ke sekolah," perintahnya. "Baik, Bu!" Letisha mencium pipi Meisya dan beralih ke Ana, dengan cepat gadis itu langsung menggendongnya. Mmmuach... "Selamat malam semua!" Ana menurunkan Letisha. "Selamat malam, Princess!" Kedua perempuan itu serentak membalas ucapan Letisha. "Oh yah, Ana. Tadi pagi ada berita pembunuhan," timpal Meisya saat membereskan meja makan. "Aku sudah mendengarnya tadi pagi dari dosenku," balasnya sembari mengangkat piring kotor. "Sepertinya mengerikan, menurut saksi mata. Di sekujur tubuhnya penuh luka sayatan. "Tidakkah itu terdengar kejam? Aku saja yang hanya tergores sedikit. Rasanya sakit sekali. Pasti lebih sakit yang dirasakan korban," jelasnya, Meisya bergidik ngeri. "Yah, pastinya sakit sekali. Tak bisa kubayangkan.” Gadis itu hanya menanggapi dengan ekspresi datar. "Sepertinya Aku tak bisa membantumu mencuci piring kotor ini, Aku ngantuk sekali! Boleh Aku pulang?" tanyanya, Ana menguap. "No Problem, pulanglah! Sepertinya hari ini melelahkan untukmu," jawab Meisya dengan tersenyum. "Sangat, Aku pulang! Terima kasih jamuan makan malamnya." Ana pamit pulang yang dibalas dengan anggukan oleh Meisya. Sementara di tempat berbeda, seorang pria bersembunyi di bawah meja makan. Keringat dingin mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Lalu suara itu, seakan menghentikan waktunya. "Hai, Brian!" Dia tersenyum licik saat memanggil nama itu, sebuah senyuman yang mematikan. Author note: OMENJI, di bab selanjutnya pembunuh James beraksi lagi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN