Bagian 24 : Pertaruhan Aksa dan Asoka

1311 Kata
Terik siang. Kedua bocah lelaki bersama sang guru menyusuri hutan. Di dalam tempat yang menyimpan banyak misteri tersebut, alangkah baiknya agar seseorang menjaga tutur katanya. Namun, rasa kesal membuat Aksa melontarkan banyak kalimat terlarang. Dia yang belum pernah menjamah kehidupan luar berlagak sok pintar. Seolah mara bahaya adalah dongeng belaka yang diceritakan dari mulut ke mulut. "Guru! Kita sudah berjalan cukup jauh. Aku tidak melihat seekor hewan pun. Jangankan binatang buas, hewan buruan saja tak ada di sini. Apa hutan ini mati?" ungkap Aksa marah. "Rakanda … Redamlah kekesalanmu. Lagi pula, di antara kita bertiga, yang berjalan itu aku dan guru. Sedangkan, Kau? Hanya duduk di atas kuda sahaja." Asoka menyahut dengan nada yang tak berkawan. Sebenarnya, mereka sama-sama kesal, tapi dengan alasan yang berbeda. "Oh … Berani sekali kau pada Rakandamu ini. Aku jadi bertanya, apakah kau berniat buruk kepadaku?" sebuah prasangka yang sama sekali tak terpikir dalam benak Asoka. Demikianlah ketidaktahuannya, jika saja sihir tak bekerja, maka seharusnya Asoka lah yang menjadi tertua di antara mereka berdua. Dia juga yang seharusnya berkedudukan sebagai ahli waris. "Berhenti!" Aksa memerintahkan Asoka untuk berhenti menuntun kuda yang ditungganginya. Lantas, dia turun dan mengajak saudaranya tersebut bertaruh. "Kita berpisah untuk mencari hewan buruan dan bertemu kembali di sini. Jika kau menang, aku akan memberikan takhta saat rama tiada." "Apa yang kau pikirkan? tujuan dari hidupku bukan hanya takhta." Asoka mengernyitkan dahi akan pertaruhan mereka. Apalagi, Aksa sampai berpikir sejauh itu tentang ayahnya. Aksa menarik keris dari pinggangnya. Baik Asoka atau pun sang guru tak menyadari sejak tadi. Dia menodongkan keris itu ke leher Asoka. "Lalu … Apa tujuan hidupmu?" "Rakanda … Kenapa kau mempunyai benda tersebut? Bukankah kita hanya membawa busur dan anak panah?" Asoka sedikit gemetar dengan ujung runcing yang hampir menyentuh kulit. Sedikit saja benda tersebut menempel, maka setetes darah akan mengalir. "Aku mengambilnya dari bilik Rama. Benda ini kubawa untuk keadaan genting. Orang bilang, hutan adalah tempat berbahaya. Aku memerlukan benda perlindungan selain panah yang kita bawa." "La–lalu, kenapa kau menodongkannya kepadaku?" Asoka mulai terbata-bata. Aksa tersenyum simpul mengatakan, "Agar kau mau menerima taruhanku!" Di sela-sela perbincangan mereka, sang guru merasa khawatir. Dia mencoba untuk menjadi seorang penengah. "Pangeran Aksa, sebaiknya kita berfokus kepada tujuan kita ke hutan ini. Yakni berlatih." "Diam! Ku beri perintah kepada kau untuk menjadi hakim sekarang. Kau akan menjadi saksi siapa yang lebih pantas mewarisi takhta di antara aku atau Asoka." Sang guru tidak memiliki keberanian untuk melawan perkataan Aksa. Dia hanya bisa menunduk, menunggu Asoka memberikan jawabannya. Namun, perkataan Aksa bukanlah sebuah pertanyaan. Sehingga Asoka harus mengatakan, iya. Aksa menjauhkan keris dari leher Asoka. Dia menyimpannya kembali ke dalam angkupnya. Senyum terlukis di bibir menggambarkan kepercayaan diri. Seolah pemenang dalam pertaruhan ini sudah jelas dirinya. Tanpa sedikit pun dia tahu, bagi sang guru, kehebatan dirinya kalah jauh dengan Asoka. "Baiklah! Kau ke arah barat dan aku ke timur. Selain dari kecepatan, aku ingin penjurian juga dilihat dari binatang yang kita dapat." Aksa menuturkan aturan dalam pertaruhan mereka. Dia bahkan berjalan berlawanan terlebih dahulu meninggalkan Asoka dan sang guru. Setelah melihatnya berlalu cukup jauh, Asoka memohon restu dan doa dari sang guru. Dia tidak mengharap kemenangan, hanya keselamatan agar dijauhkan dari segala mara bahaya. Karena dia sendiri memiliki rencana untuk membuat kekalahan. Dia akan kembali saat mentari hampir terbenam. Dia yakin, kalau Aksa akan mendapat buruannya dengan cepat. ⁂ Aksa sudah berada di tengah hutan yang berbeda. Entah berjarak sejauh mana tempatnya berdiri dengan keberadaan sang guru atau pun Asoka. Dia tidak tahu, kenapa hutan ini begitu sepi. Seperti tidak ada kehidupan dari seekor binatang pun. Dia yakin, tak ada seorang yang mampu bertahan jika mencoba untuk bermalam. Bukan karena serangan hewan buas, melainkan kelaparan karena tak ada santapan dari alam. Grarrr! Seekor harimau menyerang Aksa dari belakang. Tubuhnya kini tertindih hewan besar itu. Tanpa sebuah aba-aba, cakaran membekas di wajah. Dia berteriak meminta tolong, tapi setiap kali bersuara, harimau di hadapannya akan melayangkan cakaran. Hingga suaranya kembali mengaum membungkam teriakan Aksa. Binatang buas itu seperti tak berniat untuk menyantapnya, melainkan memberikan pelajaran bahwa kekuatannya tak sehebat kesombongan yang dia banggakan. Perlahan, Aksa menarik keris di pinggang. Dia menikam harimau di hadapannya sampai ke ulu keris. Seketika itu pula, binatang buas tersebut lumpuh dan kehilangan kegagahannya. Dia melempar tubuh besar binatang tersebut dengan rasa bangga. Tanpa tahu, sekawanan harimau lain mulai muncul. Aksa terkejut. Seharusnya dia membawa harimau tadi ke hadapan sang guru dan Asoka. Namun, tanpa pikir panjang kakinya berlari membawa panah dan menarik kembali keris yang tertancap. Dia mencoba untuk menghindar dari serangan para harimau yang mengejarnya. Sampailah dia di sebuah tepian yang memisahkan dua tempat dengan jurang dalam. "Ba–bagaimana ini?" Aksa gelisah. Sekawana harimau yang mengejarnya mulai berjalan pelan. Namun, mereka membuat lingkaran untuk mengurungnya. Pilihannya hanya ada dua, mati menjadi santapan mereka, atau jatuh ke dasar jurang. Aksa mengambil anak panah dan menarik busurnya berkali-kali sebagai perlindungan. Beberapa harimau berhasil dilumpuhkan, tapi dia kehabisan anak panah. Kakinya berjalan mundur hati-hati, di antara ketakutan terjatuh dan mati. Saat kepala menoleh, terlihat seorang anak perempuan memandangnya. Entah sudah berapa lama, dia menyaksikan pertarungan mereka. Anak perempuan itu adalah Arunika. Dari kejauhan, Arunika melesatkan anak panah untuk melumpuhkan sisa harimau yang belum diserang Aksa. Pertolongannya berhasil, bahkan Aksa memikirkan bahwa kematian banyak harimau akan membuatnya terlihat hebat. Namun, kegembiraan membuatnya tak berhati-hati hingga terpeleset. Sebatang pohon mati yang menjalar di bibir tebing membuatnya tersangkut. Lebih parahnya, ujung lancip dari batang pohon tersebut menancap di dadanya. 'Apakah dia mati?' batin Arunika. Namun, dari tetesan darahnya, dia mencium aroma manusia dan lelembut. Aneh. Arunika berbalik badan. Bukan dia tak ingin menolong bocah lelaki itu. Namun, kedua orang tuanya sudah melarang dirinya melewati perbatasan. Selain dari sungai pembatas, hutan bendu juga dipisahkan oleh jurang yang dalam di sisi lainnya. ⁂ Sementara itu, Asoka sudah berhasil memburu seekor babi hutan. Dia terus memandangi matahari agar kembali tak lebih cepat dari Aksa dan tak cukup sore untuk kembali ke Kerajaan Manbara. Hingga waktu sudah dirasa cukup baginya, dia kembali ke tempat yang sudah dijanjikan. Namun, di sana hanya ada sang guru dan kuda milik Aksa. "Guru ... Apakah Rakanda belum kembali?" perasaan tidak keruan mulai hinggap di benak. Baru terpikir olehnya, kalau dia telah salah mengambil siasat. "Belum. Aku mengkhawatirkan kalian berdua. Aku bingung, siapa di antara kalian yang harus kucari terlebih dahulu." "Kau ... kau seharusnya mencari Rakanda Aksa terlebih dahulu!" Asoka menjatuhkan buruannya. Dia berlari ke arah timur, jalan yang telah ditempuh oleh Aksa tadi. Teriakannya tak henti memanggil, "RA-KAN-DAAA ... RAKANDA AKSA! DIMANA KAU?" Seekor harimau terlihat mati, di tubuhnya terlihat bekas tikaman benda tajam. "Pangeran Asoka! Kendalikan dirimu. Yakinlah bahwa kita akan menemukan Pangeran Aksa." Sang guru ingin meyakinkan agar mereka tak tergesa-gesa. Takut jikalau luasnya hutan membuat mereka linglung. "Kita memang akan menemukan Rakanda. Lihat! Dia pasti menikam harimau ini dengan keris yang dia bawa." Asoka menyampaikan praduganya. Dia mencoba menelaah barangkali ada bekas kaki dari langkah Aksa. "Pangeran Asoka ... hari sudah mulai gelap. Bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana untuk meminta bantuan. Kita tidak mungkin–" "Meninggalkan Rakanda Aksa sendiri." Asoka menyela omongan dari sang guru. "Jika kau ingin kembali ke istana untuk meminta bantuan, pergilah. Aku akan mencari Rakanda sendiri." Sang guru merasa tertampar. Dia seharusnya yang mengatakan hal demikian. "Baiklah. Kau saja yang kembali ke istana. Biar aku yang akan mencari Pangeran Aksa," ucap sang guru mencoba mengalah. Terlambat. "Tidak! Pergilah dan cari bantuan. Aku akan tetap mencari Rakanda sampai dia ditemukan." Bukan karena apa. Sejak mereka mulai bisa mengingat, dalam pundak Asoka telah tersimpan beban untuk menjaga Aksa. Begitu yang selalu ditekankan oleh ibunya. Karena putra mahkota harus selalu dilindungi, sedangkan seorang adik hanya akan menjadi pelayan dalam istana. Sang guru juga mengetahui tentang aturan tersebut. "Baiklah, Pangeran Asoka." Sang guru kembali ke tempat sebelumnya untuk mengambil kuda milik Aksa. Dengan menungganginya, dia akan segera sampai menuju Kerajaan Manbara. . . . Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN