Agastya dan Ratnadewi telah memutuskan untuk merawat bayi lelembut yang mereka temukan. Lumina bilang, kalau bayi lelembut tersebut hanya datang untuk sementara. Tak lama lagi, pasukan dari sebangsanya akan datang menjemput. Dia bukanlah ancaman, melainkan teman yang akan menemani Arunika kelak. Mendengar hal tersrsebut, keduanya pun percaya.
⁂
"Kakang … mereka sudah tidur," ungkap Ratnadewi menemui jungjungannya. Mereka bedua kemudian duduk di depan perapian sambil membakar ikan hasil tangkapan tadi siang untuk santapan malam ini.
Agastya tersenyum kecil. Di bawah sinar rembulan yang berhiaskan taburan bintang, dia merayu sang permaisuri. Berkata, "Diajeng … terima kasih. Aku telah beruntung meminangmu sebagai permaisuriku. Bahkan, kau rela menjalani hidup kesusahan dan memakan segala sesuatu yang sangat sederhana."
Ratnadewi tersenyum. Dia merebut ikan bakar dari tangan Agastya. Parasnya terlihat begitu menikmati makanan tersebut. Lalu, dia bertanya, "Apa aku terlihat kesusahan dalam kondisi ini, Kakang?"
Agastya tertawa kecil dan kembali membakar ikan yang masih ada. Malam ini, mereka tetap merasakan kedamaian. Meskipun ada seorang bayi lelembut yang mereka rawat.
⁂
Sementara itu, Lunara yang telah menganggap Rega meninggal dunia kembali ke Istana Manbara. Rupa-rupanya, Babad telah menyandang takhta sebagai raja. Itu berarti kepergiannya dari dunia fana cukup lama. Sehingga Babad tidak menunggunya untuk upacara penobatan.
"Kau tampak gagah dengan mahkota itu, Babad Guntara." Lunara memuji Babad yang tengah berada di bilik bekas Raja Danasura. Lelaki itu tengah membuka kitab-kitab peninggalan ayahnya.
"Lunara? Kau sudah kembali." Babad menutup kitab dalam genggaman tangannya. "Maafkan aku tak menunggumu kembali. Kudengar dari Lamount jika kau tengah dipasung oleh Raja Lembahiyang. Jadi, aku segera melakukan penobatan karena desakan rakyat Manbara dan tak dapat menunggumu lebih lama."
"Tidak apa. Tidak ada yang tahu kalau aku akan mendapat nasib seperti kemarin. Yang terpenting, sekarang takhta sudah jatuh ke tanganmu. Aku tinggal membunuh permaisurimu dan menyihir pengelihatan semua orang terhadapku. Itu rencana kita bukan?"
Babad menelan ludah, tapi dari kegugupannya, dia tak sedikit pun memikirkan sesuatu. Takut jikalau sosok di hadapannya membaca pikiran.
"Dia berada di bilikku." Babad mengungkapnya penuh gelisah. Hal tersebut jelas membuat Lunara mengernyitkan dahi. Sosok di hadapannya mendekat penuh kengerian. Bertanya, "Bilikmu?"
Lunara terus menatap matanya lebih dalam mencari jawaban. Namun, Babad tetap tak memikirkan apa pun, menyembunyikan sebuah rahasia darinya.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan?" Lunara perlahan meraba pipi Babad. Namun, lelaki di hadapannya masih saja terdiam, tak memberikan jawaban baik secara lisan atau pun sesuatu yang dipikirkan. "Baiklah, aku akan segera memusnahkan Inka Vara." Dia lantas menghilang begitu saja.
Babad tertegun. Ah, setidaknya selama Lunara pergi, dia menikmati rasanya bercinta dengan tubuh seorang manusia. Meskipun, entah kapan akan terjadi lagi setelah Lunara menghabisinya. Dia menghela napas dan kembali membuka lembaran daun lontar berisi mantra-mantra. Namun, terdengar suara ketukan pintu mengganggunya. Padahal, dia sudah berpesan kepada siapa pun untuk mengganggunya tatkala sedang berada di bilik bekas ayahnya tersebut.
"Ada apa?" tanya Babad setelah membuka pintu, seorang tabib sedang berdiri di hadapannya. Dia pikir tabib tersebut akan mengabarkan tentang kepergian Inka yang diserang sosok lelembut. Akan tetapi, bukan …
"Saharsa hyang, Yang Mulia. Hamba ingin mengabarkan jika dalam tubuh Ratu Inka telah berkembang janin buah hatimu."
'Apa?' Babad terkejut. Itu artinya, jika Lunara membunuh Inka, maka sama saja dia membunuh jabang bayinya. 'Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan!' Dia segera berlari menuju biliknya.
Bugh! Babad mendorong biliknya sangat kencang. Dia melihat cahaya menggumpal di tangan Lunara. Namun, sosok lelembut tersebut enggan menyerang perempuan yang tertidur di atas tempat tidurnya. Di dalam bilik tersebut, ada beberapa dayang menjaga Inka, mereka sama sekali tak melihat keberadaan Lunara.
"Dayang-dayang … tinggalkan bilik ini segera!" titah Babad. Para dayang segera melaksanakan perintah dan menutup biliknya. Tak lupa, dari dalam pun dia menggerendel pintu agar tak ada seorang yang masuk sembarangan.
"Yang Mulia, kau sudah mendengar kabarnya?" Inka berwajah datar saat melontarkan pertanyaan tersebut. Meski kini dia sedang mengandung janin dari Babad, namun perasaan cinta belum jua tumbuh.
"Sejarah selalu mengatakan jika lelembut adalah sosok pendusta. Namun hakikatnya, manusia justru lebih dusta dari bangsa kami." Pusaran cahaya dalam genggaman Lunara semakin membesar. Perlahan, dia memalingkan wajah kepada Babad. Terlihat kedua bola matanya kembali memerah menampakkan kemarahan.
"Lunara … ampuni aku." Babad merapatkan kedua tangan dan memasang wajah mengasihankan. Tapi, bukankah dia sudah terlalu sering dengan hal tersebut. Apakah Lunara harus mempercayainya?
"Lunara? Apa yang kau katakan, Yang Mulia?" Inka dipenuhi tanya. Dia sampai mengira kalau ada orang lain di dalam bilik ini.
Babad bersimpuh di bawah kaki Lunara. Dalam hatinya dia berkata, 'Aku mohon kabulkan pintaku. Jangan habisi Inka sekarang. Aku menginginkan bayi tersebut.'
"APA YANG KAU KATAKAN?" Suara Lunara terdengar menggema. Pusaran cahaya dalam genggamannya menghilang, tapi tidak dengan amarahnya. Dia menarik Babad hingga terpojok dengan cekikan. Lalu, sekali lagi dia mendekatkan bibir bertanya, "Katakan sekali lagi?" bisiknya.
"A–aku menginginkan bayi dari Inka," ucapnya hampir kehabisan napas.
Lunara mencekik semakin kuat, tapi perasaan yang sudah melabuhkan kasih membuatnya lemah.
"Yang Mulia, kau masih ada di sini?" Inka masih merasakan keberadaan Babad. Dia juga merasa bahwa mara bahaya sepertinya ada di dalam bilik ini. Apalagi mendengar Babad yang seolah memohon dan ketakutan kepada seseorang.
"Aku akan tetap membunuhnya." Lunara kembali mengeluarkan pusaran cahaya dari tangannya. Seketika pula, dia mendengar Babad berkata, "Kau boleh membunuhnya setelah bayiku lahir!"
"Yang Mulia, apa yang kau katakan?" Inka masih bertanya-tanya. Junjungannya tersebut seakan berbicara dengan seseorang. Lalu, sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. Bahwa, Babad berbicara dengan sesosok makhluk yang suaranya tak terjamah oleh pendengaran biasa.
"Aku tidak akan membiarkan kau memiliki keturunan dari makhluk lain. Sebab, aku tidak ingin keturunanku tidak memiliki takhta sepertiku. Kau sendiri pasti mengerti berada dalam keadaan ini."
Babad terdiam. Pusaran cahaya di tangan Lunara semakin membesar. Satu-satunya cara adalah …
"Aku juga menginginkan keturunan darimu," ungkap Babad berbohong dan Lunara mengetahui hal tersebut.
"Kalau begitu … tidak masalah bukan, aku akan membunuh Inka dan jabang bayinya." Lunara kukuh untuk menghabisi Inka. Dia segera melepaskan serangan, tapi sekejap mata dihempas oleh Babad.
"Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti jabang bayi itu. Langkahi dulu mayatku kalau kau–"
"Tentu saja aku berani. Kau berpikir apa? Manusia lemah!" Lunara memotong kalimat Babad. Tapi, dia tidak sadar bahwa perkataannya lebih menyakitkan daripada serangannya. Maka, inilah saat dimana Lunara melihat perkembangan dari ilmu Babad.
"Aku bukanlah manusia lemah!" Babad menyerang Lunara dan membawanya berpindah tempat.
Di hutan yang lapang, tak ada seorang pun yang menyaksikan pertarungan mereka.
"Sepertinya … kau sudah banyak belajar ilmu-ilmu dari kitab peninggalan ayahmu."
Babad terdiam. Ya, diam-diam lalu keluar tombak dari tangannya. Sambil memasang kuda-kuda dia berkata, "Aku tahu kelemahanmu berada di hati."
Lunara tersenyum. "Ayo serang aku!"
"HIAAA!" Babad berlari menodongkan tombaknya. Sekejap mata, lawannya menghilang dari hadapan. Tersisa hanya suara napasnya yang terengah-engah saat berhenti berlari.
"Gerakanmu masih kurang cepat, Tuan." Lunara berada di atas sebatang pohon sambil mengayunkan kaki.
Babad menghentakkan kaki dan mengapung di udara. Dia mengayunkan tombak dan berhasil mengenai Lunara. Untuk sesaat, dia merasa puas dan bangga. Tapi …
"Sungguh menyakitkan, tapi kau hanya melukai tanganku. Bukankah, kau bilang bahwa kelemahanku berada di hati?" Lunara kembali bersuara di tempat berbeda. Dia berada pada sebatang pohon besar, sedang bersandar.
"MAKHLUK DURJANAAA … A … A!" Babad berteriak membawa tombaknya untuk segera ditancapkan. Pada akhirnya, dia menyadari sesuatu, bahwa kekuatannya memang belum cukup untuk melawan Lunara. Tombaknya menancap pada batang pohon besar tempat di mana Lunara bersandar. Sedangkan perempuan itu menghilang kembali entah kemana.
"Kau memang benar, kelemahanku ada di hati." Lunara memeluk lelaki yang sedang menangis itu dari belakang. Dia tidak mengatakan semuanya secara jelas. Sampai terdengarlah Babad mengatakan, "Aku tidak bisa melihat jabang bayiku kau binasakan. Lebih baik, kau bunuh saja aku, Lunara."
Kelemahan Lunara memang berada pada hatinya. Maka, ketika Babad telah mendapatkan hati tersebut, sejatinya dia telah kalah. Namun, Babad belum juga menyadari hal tersebut.
"Baiklah aku tidak akan membunuh Inka. Akan tetapi, aku ingin mempunyai keturunan darimu. Segera! Dan jika bayiku serta Inka terlahir, katakan kepada rakyatmu jika Inka melahirkan sepasang bayi," pinta Lunara.
Babad pun mengiyakannya.
.
.
.
Bersambung.