Bagian 10 : Kelahiran Amara Bangsa Lelembut

1333 Kata
Bagian 10. Kabar kematian dari salah satu sosok lelembut yang merenggut nyawanya sendiri telah sampai ke Istana Lembahiyang. Raja Danawa akhirnya bisa mengetahui keberadaan putrinya. Meskipun, mata batinnya tak dapat menembus mantra pelindung Lunara. Sehingga gerak-geriknya tak dapat diawasi dari jauh. "Jadi … putra mahkota kerajaan Manbara telah melahirkan kutukan?" Raja Danawa bertanya kepada prajurit yang masih bersimpuh di bawah singgasananya. "Begitu yang hamba dengar, Yang Mulia. Katanya bayi yang dilahirkan Ratu Ratnadewi memiliki ciri-ciri dengan rambut dan kulit putih, mata biru, serta bulu keemasan di tubuhnya," ungkap prajurit tersebut. 'Jadi, darah Amara telah lahir.' Raja Danawa bangkit dari singgasana. Dia kemudian berkata, "Baiklah. Kau boleh pergi." Setelah beberapa saat Prajurit itu pergi, Danawa kemudian melangkahkan kaki untuk menemui putranya, Harsa. Raja Danawa adalah sosok lelembut yang pandai meluruhkan hati perempuan. Tak terhitung jumlah perempuan yang sudah digaulinya, entah dari kalangan bangsa lelembut atau pun manusia. Namun, dari banyaknya putra dan putri yang terlahir, dia memilih Harsa untuk meneruskan takhta. Sebab, selain karena dia putra dari perempuan yang teramat dicintainya, yakni Ratu Wikra, dia juga akan melahirkan darah Amara dari bangsa lelembut. "Harsa!" Danawa menghentikan langkah kaki putranya yang terburu-buru. "Ya, Rama. Ada apa?" Wajahnya gelisah, seakan berkata dalam isyarat. Jika tak ada hal penting, lebih baik mereka bicara nanti saja. "Mengapa kau terlihat buru-buru?" Pelayan istana belum memberitahunya, kalau keadaan permaisuri Harsa semakin memburuk. Apalagi, hari ini sudah memasuki waktunya persalinan. "Putri Layung akan segera melahirkan, Rama. Maaf, aku tak bisa berbincang denganmu lebih lama." Harsa kembali melangkahkan kaki meninggalkan Danawa. 'Jadi, bayi Amara dari bangsa lelembut akan segera terlahir? Semoga saja, kelahirannya bisa mengimbangi kehidupan.' Danawa lantas mengikuti Harsa dari belakang. Suasana alam mulai berubah, mantra yang dia rapalkan bekerja. 'Maafkan aku, putraku. Aku telah lancang memberikan tugas kepada calon bayimu sebelum dia terlahir.' Ya, Danawa melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan putranya. Dia merapalkan mantra kebangkitan saat mengetahui kalau Putri Layung akan memiliki seorang bayi. Mantra tersebut dirapalkan karena dia tak kunjung menemukan keberadaan Lunara. Putrinya menghilang sejak kemarahannya memuncak sebab tak mau memberitahu kepada manusia mana mantra kebangkitan itu dirapalkan olehnya. Suara tangisan bayi kemudian memecah, kelahiran bayi Amara di Tanah Lembahiyang berbeda dengan kelahiran di Tanah Manbara. Jika, Arunika terlahir tanpa sedikit pun suara tangis, maka, bayi di Tanah Lembahiyang menangis begitu kencang. Sehingga membuat bangsa lelembut merasa kesakitan mendengarnya. Baik Harsa maupun Danawa sama-sama menghentikan langkah kakinya. Mereka menutup telinga karena tangisan bayi itu. Sedangkan para pelayan yang berada di bilik Layung tak kuasa, mereka mati seketika. Kelahiran Amara dari kalangan bangsa lelembut memang mengerikan. Sebab dunia gaib adalah tempat dimana ilmu sihir berkembang pesat. Jika saja tak ada sosok lelembut berilmu tinggi, kelahiran Amara bisa saja memusnahkan bangsanya sendiri. "Taya ruhi nu mawa sangsara. Ya, gusti saimbangkeun kahuripan." Danawa memejamkan mata seraya merapalkan sebuah mantra. Kedua tangannya merapat, mantra memang bekerja, tapi kekuatannya juga terserap banyak. Danawa merasa seperti ribuan pukulan menghantam tubuhnya. Dia tersedak dan mengeluarkan darah berwarna hitam pekat (darah seorang lelembut.) Lalu tak lama, suara tangis bayi itu pun meredam. Harsa melepaskan tangan dari telinganya. Sungguh! Gendang telinganya pun terluka dan berdarah. "Rama …" Harsa mendengar suara terjatuh di belakangnya. Sang ayah yang tenaganya telah terkuras terkulai lemah. "Rama … engkau kenapa?" "Harsa …" suaranya terdengar lirih. "Hatiku hancur karena suara tangisan bayimu, tapi kau tak perlu khawatir. jika aku tiada, bukan berarti semua karena bayimu. Semua jelas karenaku sendiri. Karena aku telah merapalkan mantra kebangkitan kepada permaisurimu. Bayimu adalah sosok Amara." "Amara?" Harsa tidak mengetahui jelas tentang sosok Amara. Tapi yang membuat hatinya bertanya yakni, kenapa sang ayah merapalkan mantra kebangkitan tersebut? "Kenapa kau melakukan itu, Yang Mulia?" Ratu Wikra dengan kondisinya yang sama terluka datang menangis. Dia menggenggam erat tangan Danawa begitu erat, tak mau kehilangan. "Jangan menangis, Maharani. Aku melakukan ini semua demi kebaikan bangsa lelembut." Perlahan, Ratu Wikra menyasarkan tangan di tubuh Danawa. Dia memeriksa kondisi junjungannya tersebut. Tidak! Hatinya hanya terluka, bukan hancur. Itu masih bisa diobati sehingga dia mulai menyampaikan sebagian tenaga dalamnya. Sekali lagi, Danawa mengeluarkan darah dari mulutnya. "Biung … apa yang kau lakukan?" Harsa semakin khawatir melihat kondisi ayahnya. "Tidak apa-apa, Ananda. Ramamu akan kembali pulih." Wikra kemudian memanggil beberapa prajurit yang masih selamat dari suara jeritan bayi itu. Dia meminta mereka untuk membantu membawa Danawa ke biliknya. Sedangkan Harsa ditinggalkan sendiri. "Diajeng Layung!" Harsa terperanjat. Dia segera menemui permaisurinya. Di dalam bilik persalinan, Layung tengah menangis. Dia melihat para dayang yang membantunya melahirkan mati secara mengenaskan oleh putranya. Hanya dia seorang yang tak terpengaruh dengan jeritan tersebut. Namun meski begitu, dia enggan mendekat kepada putranya, takut. Sebab, baru kali ini dia menemukan makhluk mengerikan semacam itu. "Diajeng … kau tak apa?" Harsa mendekatinya pelan-pelan. "Kakang … dia bukan putraku," ucapnya ketakutan memeluk Harsa. Sebenarnya, apa yang telah dilahirkan oleh permaisuri Layung sehingga membuat dirinya sendiri ketakutan? Harsa melepas pelukan dari permaisurinya. Dia mendekat ke tempat dimana putranya berada. Bayi itu memang berbeda dari ciri-ciri seorang lelembut pada umumnya. Tak jauh dari Amara dari bangsa manusia, ciri-cirinya hampir serupa. Namun, ada hal yang membedakan yakni dari warna mata merah dan telinga runcing. "Ya, Gusti … makhluk seperti apa bayiku ini?" Harsa lantas meninggalkan Layung dan bayinya. Dia memburu langkah menuju bilik ayah dan ibunya. "Rama!" Harsa mendobrak pintu biliknya dengan kencang. Dia datang membawa kemarahan dan setumpuk tanya dalam benak. "Makhluk apa yang sebenarnya kau bangkitkan?" "Ananda … Ramamu belum pulih. Biarkan dia beristirahat." Ratu Wikra bangkit menghampiri Harsa. Dia mengisyaratkan putranya tersebut untuk keluar. Namun, Harsa menolak. "Biung … apa kau tahu wujud bayiku seperti apa?" Wikra pun terdiam mendengar pertanyaan Harsa. "Dia memiliki warna kulit dan rambut putih, mata merah, telinga runcing serta bulu-bulu keemasan. Apakah kondisi itu wajar bagi seorang lelembut baru lahir? Bukankah seorang lelembut bisa menyerupai perawakan demikian setelah mempelajari banyak ilmu sihir?" "Tenangkan dirimu, Nanda. Mari kita bicara baik-baik." "Tidak bisa, Biung. Makhluk yang baru saja terlahir itu sudah membawa bencana ke Tanah Lembahiyang." Danawa memaksakan diri bangkit dari tempatnya beristirahat. Dia pun berkata, "Putramu adalah karunia. Dia terlahir untuk menyeimbangkan alam yang sudah dikacaukan oleh Rakayu-mu." "Karunia? Bagaimana bisa putraku dikatakan karunia, jika kelahirannya saja sudah merenggut banyak nyawa?" "Ini tidak seberapa, Harsa! Jika Amara dari bangsa lelembut tidak terlahir, bencana yang akan terjadi lebih mengerikan!" Harsa menggelengkan kepala. Dia tak mempercayai perkataan dari ayahnya. "Aku akan membunuhnya!" Langkah pun terangkat untuk meninggalkan sang ayah. Namun, Wikra menahannya dengan memberikan totok jari yang dibubuhi mantra sehingga tubuhnya tak dapat bergerak. "Bebal sekali kau ini!" Danawa berkecumik merapalkan mantra. Dia membawa Harsa ke dunia antah berantah untuk melakukan perbincangan. Danawa menghela napas. Dia memutari tubuh putranya tersebut, sambil memerhatikan mimik wajah kesalnya. Harsa tak mampu berbuat apa-apa selain menunjukkan kekesalan lewat matanya yang beredar mengikuti pergerakan ayahnya. Ajian totok jari dari ibunya masih bekerja. Lalu ketika Danawa berada di belakang Hasra, dia melepaskan ajian totok jari dari tubuhnya. Namun tanpa disangka-sangka, putranya tersebut malah menyerang. Pertarungan pun tak terelakkan. Harsa mengeluarkan jurus-jurus yang dia pelajari dari Danawa. Dia juga begitu percaya diri bisa mengalahkan. Sebab dalam pikirnya, kekuatan sang ayah belum pulih betul setelah terserap tadi. Akan tetapi, dia lupa kalau ibunya, Ratu Wikra, sudah menyalurkan tenaga dalam kepada ayahnya. Brukkk! Harsa kalah telak. Dia kehilangan banyak energi dan terjatuh. Perlahan, Danawa berjalan menghampiri. Dia menempatkan telunjuknya di dahi putranya tersebut. Lalu, bayangan masa depan muncul dalam pandangan. "Putramu terlahir dengan keistimewaan. Dia yang akan mengimbangi Amara dari bangsa manusia. Kau tak bisa membunuhnya, jika kau mencoba hal itu, maka kau sendiri yang akan mati." Suara Danawa menggema dalam setiap peristiwa yang dia lihat. Ya, Hasra melihat bahwa putranya banyak melumpuhkan para lelembut untuk menjadi penjaganya. Seseorang dengan wujud yang hampir mirip selalu mendampinginya. Sampai sebuah pandangan mengenai peperangan bersama Lunara. Danawa melepaskan mantra yang dia gunakan untuk memberikan pengelihatan kepada Harsa. Dia merasakan firasat buruk. "Celaka!" Danawa pun segera membawa kembali Harsa ke alam gaib. . . . Bersambung. •> Pojok kata : - (Mantra) Taya ruhi nu mawa sangsara. Ya, gusti saimbangkeun kahuripan. : Tak ada roh yang membawa sengsara. Ya, gusti seinbangkanlah kehidupan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN