"Ssshhh … Ah! Kenapa Lunara tiba-tiba menyerangku?" Babad terbaring lemah di atas tempat tidur. Dia tak habis pikir dengan kejadian tadi. Atau mungkin, sebenarnya selama ini Lunara tak pernah berniat membantunya.
'Benar!' Babad mengangkat tubuhnya. Seketika ingatannya tertuju pada bayi aneh tadi. Jadi, apakah mungkin keanehan dari keponakannya tersebut membuat Lunara justru mengincarnya. Keanehan yang mungkin adalah sebuah keistimewaan.
"Ternyata selain tak berguna, kau juga bodoh!" Entah sejak kapan makhluk itu berada di bilik Babad. Akan tetapi, yang pasti dia telah membaca pikirannya.
"Makhluk kurang ajar. Berani-beraninya kau menampakkan diri kembali setelah hampir membunuhku!" emosinya membeludak. Dia hampir lupa, sosok seperti apa yang ada di hadapannya.
"Kau … kau sendiri berani sekali berbicara seperti demikian kepadaku. Kau lupa, siapa aku?"
Ingatan Babad memutar saat mereka berada di alam gaib. Tepatnya, saat tangan kanan Lunara membuatnya terpojok pada sebatang pohon dengan sebuah cekikan.
"Dengar! Aku berbuat seperti tadi hanya untuk menyiasati kecurigaan dari orang-orang. Lagi pula, bodoh sekali kau tak sedikit pun menyerangku." Lunara memutari tubuh Babad, tangan lentiknya meraba secara perlahan. Menempatkan sebuah pelukan dari belakang.
"Aku … aku takut melukaimu." Perasaan Babad membuncah. Kenapa tiba-tiba makhluk dingin ini bersikap tak lazim. Seperti seorang perempuan yang b*******h oleh sebuah hasrat.
"Bagaimana kau akan melukaiku? Sedangkan kau sendiri tak berdaya saat aku serang." Tangannya sedari tadi tak mau diam dan terus mengelus.
"Sebentar lagi, takhta di istana ini akan menjadi milikmu. Kau tahu? Seluruh rakyat di dataran Manbara tengah memperbincangkan bayi yang telah dilahirkan oleh ratu."
"Benarkah?"
Lunara mengempas tubuh Babad kembali ke atas tempat tidur. Dia berbisik, "Tuntaskan tugasmu!"
Glek … Babad mungkin terbiasa bermain dengan banyak perempuan. Akan tetapi, dia belum pernah melakukannya dengan sosok lelembut. Mau tidak mau, dia harus melakukannya atas perjanjian yang telah mereka buat.
Selama mereka bersetubuh, Babad memikirkan hal kedepannya. Bagaimana cara untuk menyiasati rakyat Manbara?
"Kau tak perlu memikirkan hal tersebut. Aku bisa menanganinya," bisik Lunara seraya pertautan jiwa mereka tetap terjadi.
⁂
"Diajeng …" tangis Agastya tak kunjung redam. Dia sudah mengeluarkan kekuatan tenaga dalam hampir seluruhnya. Namun, kesadaran Ratnadewi tak kunjung kembali.
"Maafkan hamba, Yang Mulia." Kahil menyesal. Dia bahkan tak mampu mengangkat wajahnya.
Tangis Agastya tiba-tiba berhenti. Tubuhnya berdiri melepas genggaman dari tangan Ratnadewi. Wajahnya terlihat sangat cemas.
"Ada apa, Yang Mulia?" Kahil penasaran.
"Aku merasakan aura lemembut ada di istana. Gawat! Arunika …" Agastya segera meninggalkan biliknya dan memburu langkah menuju ke bilik di mana Arunika berada. Kedatangannya mengejutkan beberapa dayang yang bertugas untuk merawat bayi tersebut.
"Yang Mulia …"
"Paman, aku minta kau berjaga di sini. Sejenak!" Agastya tak memberikan kesempatan Kahil untuk bertanya. Dia kembali melangkahkan kaki mencari sumber keberadaan lelembut yang dirasakannya. Kaki pun berhenti tepat di depan pintu bilik Babad.
Apa mungkin sosok lelembut tadi ada hubungannya dengan Babad? Agastya menahan diri untuk tak menuduh sembarangan kepada adiknya tersebut. Mengingat kejadian dipertarungan tadi, tiba-tiba dia diselimuti kekhawatiran. Mungkin saja, sosok lelembut itu mencoba kembali menyerang Babad.
Didorong oleh rasa kekhawatiran, tangan bergerak dengan sendirinya membuka pintu.
"Ada apa, Rakanda?" Tak ada hal mencurigakan di dalam bilik Babad. Dia berjalan menghampiri kedatangan Agastya.
"Tidak, Adikanda. Kau baik-baik saja bukan?"
"Tentu. Kau terlihat begitu cemas. Ada apa gerangan, Rakanda?"
Agastya melihatnya. Segurat wajah yang berada di hadapannya sekarang bukanlah adiknya. Selain itu, dia bisa merasakan dari aura yang terpancar, serta aroma yang tercium. "Aku merasakan sosok lelembut berada di dalam istana," ungkapnya ingin melihat ekspresi sosok di hadapannya.
"Benarkah?" Babad mengedarkan pandangan ke sekitar biliknya. "Rakanda, bukankah sebaiknya kau menjaga bayimu? Aku takut jika lelembut itu mengincarnya," ungkapnya kembali.
"Kau benar." Agastya berbalik badan. Namun, dia tak cepat-cepat melangkahkan kakinya. Dia mengangkat tangan kanan dengan menempatkannya di tengah-tengah d**a. Bibirnya berkomat-kamit merapalkan mantra.
"Panto hate nu suci, panon nu kasirep," ucapnya. Lalu seketika dia berbalik kembali dan mengatakan, "Jirimkeun!" Teriaknya mengarahkan telapak tangan.
Sosok yang berada di hadapannya kemudian berteriak. Suaranya menggeram seraya wujud berubah menjadi sosok hitam, tinggi, dan besar.
"Siapa kau makhluk durjana? Dimana Adikanda Babad?" Makhluk tersebut menghindar keluar dari bilik Babad lewat jendela. Sekalipun mantra telah terucap, namun sihir lunara masih menutup indra pengelihatannya. Agastya tak dapat melihat bahwa sebenarnya Babad berada di dalam biliknya. Di atas tempat tidur itu mereka masih melakukan pertautan jiwa.
"Lunara. Apakah Rakanda tidak melihat kita?"
"Kau tak perlu khawatir. Mantranya tak cukup kuat untuk bisa melumpuhkan mantraku. Sementara waktu, makhluk tadi akan menyita waktunya."
Babad cukup lega. Entah mengapa, semua kekhawatirannya sirna. Semua berubah menjadi gairah yang menyeimbangkan hasrat Lunara. Mereka kembali melakukan pertautan jiwa. Melupakan seluruh orang bahkan dunia yang mungkin mengutuk hubungan keduanya.
Sementara itu, di tengah hutan pertarungan terjadi. Agastya tak menggunakan kekuatannya untuk membunuh lelembut tersebut. Dia hanya ingin melumpuhkannya, untuk kemudian ditanyai perihal maksud dan tujuannya. Kenapa bangsa lelembut seolah-olah menyerang istana Manbara?
"Katakan, apa ada seseorang yang menyuruhmu?" Makhluk yang sudah berada di bawah kaki Agastya tak sedikit pun menjawab. Suaranya malah semakin menderu menyuarakan kemarahan.
"Lepaskan dia, Yang Mulia! Atau adikanda tercintamu akan tiada." Lunara tiba-tiba hadir di antara pertarungan Agastya dengan Makhluk suruhannya. Dia bersandiwara, menjadikan Babad sebagai tawanannya.
"Rakanda, tolong aku." Aneh! Tak biasanya Babad memohon seperti demikian. Atau mungkin, dia memang sedang tersudut dan ketakutan, pikir Agastya.
"Baiklah. Lepaskan adikanda, maka aku juga akan melepaskan sebangsamu ini."
Lunara tersenyum kecil, tampak licik. Dia pun berkata, "Aku berubah pikiran." Lantas, dia mulai menyakiti Babad secara perlahan.
"b*****h! Apa yang kau lakukan," bisik Babad. Sebab, apa yang dilakukannya diluar rencana.
"Lepaskan, Adikanda Babad!" Agastya panik dan ikut menyakiti lelembut yang berada dalam tawanannya.
Lunara tertawa puas. "Sakiti saja. Sakiti dia. Sebab aku tak peduli!" Kekuatan dalam yang dikeluarkannya mulai meningkat. Babad tak kuasa meneriakkan kesakitan.
"Kurang ajar!" Agastya melepaskan tawanannya. Dia bergerak cepat, tahu-tahu sudah berada di belakang Lunara dan mencoba menyerang. Akan tetapi, Lunara sudah mengetahui pergerakannya dan menghindar.
"Kau kurang cepat, Yang Mulia." Tawa kemenangan terdengar pecah dari bibirnya. Lalu, sosok lelembut yang telah dilepaskan Agastya berdiri di depan Lunara menjadi benteng pertahanan.
'b*****h kau, Lunara. Apa sebenarnya rencanamu.' Babad berbicara dalam pikirannya. Dia kesal terus menerus menahan rasa sakit dari hal-hal yang terjadi di luar rencana mereka.
"Ada seorang pencari kayu melihat pertikaian ini. Kita buat dia salah paham," bisik Lunara.
"Hah?" Babad kemudian mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Ternyata benar, ada seseorang yang bersembunyi di balik sebatang pohon, mengintip.
"Apa yang kalian mau sebenarnya?" Agstya tak enak hati, mengingat kalau bayinya sempat diambil oleh lelembut itu.
"Bagus kau bertanya. Aku menginginkan bayimu."
Orang yang bersembunyi mengintip mereka terkejut. Sebenarnya, kenapa bayi Raja Agastya begitu diinginkan oleh sesosok lelembut?
"Sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerahkan bayiku." Agastya kembali memasang kuda-kuda untuk pertarungan.
Lunara seketika mencekik Babad hingga wajahnya mulai meranum.
'Lunara! Hentikan. Aku mohon!' Tangan Babad bergerak tak beraturan, mencoba melepaskan cekikan tersebut.
Agastya seketika menghentakkan kakinya, melompat. Dia berteriak, "NGALANGKANG!" Lalu, beberapa bayangan dirinya muncul. Mereka membantunya mengatasi pertempuran dengan kedua sosok lelembut di hadapannya.
Lunara takjub pada kepedulian Agastya. Dia mengempaskan Babad dari genggamannya. Pertarungan kembali terjadi di antara Lunara dan Agastya. Namun, lama kelamaan Lunara tak bisa membedakan, mana Agastya asli dan bayangan. Lalu, tiba-tiba serangan dari belakang berhasil menjatuhkannya.
"Kurang ajar! Manusia licik!"
"Lebih licik mana, antara kau denganku?" Agastya berjalan perlahan, kemudian menarik keris dari pinggangnya. Senjata pertahanan yang dia gunakan tatkala tak membawa busur panah. Dia pun siap menancapkannya ke hati lelembut yang ada di hadapannya.
'Gawat!' Babad harus mengalihkan perhatian Agastya. Jika keris itu berhasil menancap di hati Lunara, maka makhluk itu akan musnah. Sebab, kematian kekal bagi sosok lelembut terletak di hatinya. Karena hati adalah tempat di mana semua perasaan berkumpul. Saat hati telah dimatikan, maka sejatinya jiwa pun ikut mati.
"Kau boleh membunuhku, Yang Mulia. Tapi, ada satu hal yang harus kau tahu." Perkataan Lunara seketika menghentikan langkah kakinya. Agastya pun bertanya, "Apa itu?"
"Putrimu adalah kutukan. Itulah sebabnya, aku menginginkannya. Di alam gaib, aku bisa menetralisir kutukan tersebut."
"Kau pikir aku akan percaya? Hia!" Agastya berlari dengan keris yang siap ditancapkannya. Namun, Lunara merapalkan mantra dan menghilang dari alam fana. Dia menembus portal dimensi kembali ke alam gaib. Hanya tersisa makhluk tinggi, besar dan hitam yang masih bertarung dengan bayangannya.
"Sial!" Agastya menyerang kekosongan. Dia pun berteriak, "Tangkap dan lumpuhkan makhluk itu!"
Setelah mendengar teriakan Agastya, sosok lelembut tersebut tahu jika Lunara telah meninggalkannya. Dia mencoba untuk menghilang dan kembali ke alam gaib. Namun, Agastya sudah merapalkan mantra agar semua portal tertutup. Tidak ada pilihan lagi bagi makhluk tersebut selain mencabut nyawanya sendiri. Sebagai sosok lelembut yang patuh kepada tuannya, ini adalah bentuk pengabdian terakhirnya. Dia kemudian mengeluarkan kekuatan dan menyerang hatinya sendiri, kemudian mati.
Agastya kesal. Seluruh bayangannya kembali lagi ke dalam tubuh. Dia kemudian tahu bahwa, sosok lelembut yang memiliki siasat buruk adalah perempuan tadi. Sedangkan lelembut yang telah mati ini, tak lebih dari makhluk piaraan saja.
"Rakanda …" Babad menepuk pundak Agastya. Dia terlihat menahan kesakitan. Namun, Agastya mengernyitkan dahi.
'Adikanda, kenapa aroma yang tercium darinya bercampur dengan aroma lelembut? Apa hanya karena dia telah diculik?' batin Agastya.
"Terima kasih sudah menolongku, Rakanda. Mari kita kembali ke istana."
Agastya mengangguk. Dia lebih memilih memendam tanyanya dalam hati. Dia kemudian membantu lagi adiknya berjalan. Sebab, kondisinya terlihat memprihatinkan.
⁂
Sementara itu, seorang pencari kayu yang sedari tadi bersembunyi di balik sebatang pohon segera berlari menuju perkampungan. Dia mengabarkan kepada rakyat Manbara, tentang siapa sebenarnya bayi dari Raja Agastya.
Dia adalah kutukan.
.
.
.
Bersambung.
•> Pojok kata :
- (Mantra) Panto hate nu suci, panon nu kasirep. Jirimkeun! : Pintu hati yang suci, mata yang tersihir. Tunjukkan!
- (Mantra) Ngalangkang : Bayangan