Benarkah ini?

1493 Kata
Beberapa saat kemudian tarikan sudut bibirnya menggambarkan suasana hati sang pemilik senyum, Sinis! Seketika perasaanku terluka lagi akan sikap yang baru ditampilkan mas Dana. Segera aku buang tatapanku, jangan sampai dia duluan yang melakukannya. Aku tidak mau 2 kali terluka disaat bersamaan, bisa hilang jiwa pejuangku nanti. "Mulainya jam berapa Dud?" Tanyaku sekali lagi memastikan bahwa ini tidak akan lama. "Jam empat Na ... kenapa, bosan?" "Nggak bosan juga, tapi kalo ngafe enak nih." "Kalo ngafe harus keluar dulu Na, bentar lagi anak - anak nyampe nih, jadi rame." Maksud Dudi tentu saja teman - teman smpku dulu yang memiliki hobby yang sama dengan Dudi. "Ya udah nggak apa - apa kok." "Tuh ada Dana." Dudi menunjuk dengan dagunya, tentu saja supaya tidak terlalu kentara oleh pemilik nama. "Udah lihat dari tadi." "Nggak mau nyamperin?" "Nggak lah ....kasihan dia nanti malu sama teman - temannya disini." "Tumben." Ary menyahuti. Aku hanya tersenyum simpul. "Nah itu mereka datang." Dudi menunjuk mobil Mazda hitam dan Mitsubishi dengan warna yang sama. "Siapa aja Dud?" Tanyaku. "Rame kayaknya mereka, itu mobil Bima, yang belakangnya Michael ... Nanda belum kayaknya." "Itu Bima sama cewek? Pacarnya?" "Iya kali." Setelah parkir, ternyata Bima datang bersama Dewi dan Uci sedangkan Michael bersama Audrey dan Renald. "Wess Tatiana with her ganks ..Apa khabar Na, long time no see." Sapa Michael "Khabar baik Mike .... makin sehat aja kamu." Michael memang dari dulu bertubuh sedikit over dibanding teman - teman yang lain. "Itu tanda bahagia Na," jawabnya santai. "Hai Ry...Erina." Sapa Michael lagi. Kami dulu semua satu sekolah waktu smp sebelum akhirnya berpisah karena pilihan sma masing - masing. "Mana Nanda?" Tanyaku setelah menyalami teman - teman yang lain. "Kenapa nanya Nanda? Kangen ya nggak ada yang ngusilin lo di sma?" Tanya Bima dengan nada bercanda. "Iya, nggak ada yang seunyu Nanda soalnya." "Makanya udah gue bilang, terima aja si Nanda jadi pacar, lumayan buat hiburan receh hari - hari Na." Aku tertawa mendengar becandaan Bima yang dari dulu selalu saja mengolok - olok aku dan Nanda. "Emangnya kalo butuh badut perlu dipacarin Bim," Sahut Ary. "Ya nggak juga sih, tapi kan Nanda ganteng, tajir juga .... cocok sama Ana." "Memangnya segitu doang dalam menilai seseorang cocok jadi pacar atau nggak?" "Kebanyakan perempuan kan gitu Na." "Aku nggak tuh," sahutku kurang setuju. "Gue juga nggak gitu deh, emang lo mau dipilih cewek karena tampang dan mobil pribadi lo Bim?" Tanya Ary. "Gue juga nggak mau milih cewek begitu, matre!" "Nah terus kenapa dengan kriteria itu kamu suruh aku pacaran sama Nanda?" "Iya juga ya ... lo cantik, bapak lo tajir pula ... ngapain lo matre?" Bima malah heran sendiri dengan pernyataannya tadi. Aneh banget nih orang. "Mungkin lo cuma penasaran sama cowok yang bakal dipilih Ana ya Bim, karena sampe sma masak Ana nggak punya pacar?" Dudi membantu Bima. "Iya, penasaran juga gue." Aku tertawa mendengar obrolan itu, "Kenapa harus penasaran? Itu kan pilihan hati, nanti juga bakal tahu ... saat ini memang belum ada. Lagian kenapa penasaran sama aku aja sih ...Ary, Erin juga belum punya cowok tuh." "Bima spesial pemerhati lo Na ... jadi yang lain nggak dikepoin sama dia." "Soalnya baru ini gue punya temen model terkenal Na ... sebelum wartawan tahu, gue harus tahu duluan." Lagi - lagi aku tertawa, mereka polos banget. Selagi kami ngobrol, tampak mobil bmw hitam masuk ke area ini, dan ternyata Nanda yang kami bicarakan tadi. Nanda datang bersama Abin adiknya yang kami kenal juga sebagai adik kelas beda setahun. Nanda memang cukup akrab dengan adiknya dan sering dibawa kalo sedang berkumpul bersama kami. "Terlambat 2 menit lo bro, Ana sudah kangen nanyain lo melulu dari tadi," Michael mulai lebay ikut -ikutan mengomporiku dan Nanda. Nanda yang mengenakan celana pendek warna kakhi dan sneakersnya tampak tampan ditambah kumis tipis yang mulai menghiasi wajahnya. "Hai Na ... apa khabar?" Tanyanya sampil memindahkan kaca mata hitamnya keatas kepala. "Khabar baik, halo Abin..." Aku juga menyapa adiknya. "Hai kak Ana." "Bareng Dudi Na,? tanya Nanda. "Iya, sama Erin dan Ary juga." Setelah berbasa - basi karena sudah lama tidak berjumpa, akhirnya kami para suporter duduk dibawah pohon rambutan dipinggir area tempat mereka ngedrift. Aku melihat mas Dana tampak bercakap - cakap dengan Dudi dan teman - temanku yang lain. Tadi Dudi bilang itu sudah seperti teman akrab, bukan lagi seperti kakak kelas dan adik kelas seperti di Sekolah. "Itu siapa yang lagi ngobrol sama Nanda, ada yang kenal?" Tanya Audrey. "Sepupu gue." Jawab Erin. "Anak mana Rin? Ganteng." "Anak sma gue, kakel. Tapi sudah punya gebetan .." "Wah sayang banget." "Kenapa, naksir lo?" Tanya Erin. "Cakep, kalo belum ada gebetan boleh juga Rin." "Sayangnya taken Drey," jawab Erin berbohong. Aku dan Ary hanya diam menyimak obrolan itu tanpa minat ikut menyahut. Setelah ada briefing dari coach mereka, drifting pun dimulai. Mas Dana memakai mobil Mazda merahnya tampak lihai memainkan ketangkasan mobil tersebut. Ah seandainya aku ada disampingnya pasti itu membahagiakan, atau setidaknya aku bisa jadi supporternya. "Gue baru tahu mas Dana jago ngedrift," ucap Erin. "Untuk hal yang umum gini aja lo baru tahu, apalagi soal pacar, jangan lupa lo ada hutang janji ke Ana soal info ini," bisik Ary dan bisa aku dengar. "Iya ... iya inget. Tapi tumben deh lo bisa nahan diri Na." "Hm ... siapa tahu bisa buat dia menoleh Rin." "Ya paling nggak lo masih punya harga diri Na." Ary menghiburku. "Kalo dipikir ya, dengan ngeliat begini aja aku sudah senang, puas lihat dia walau dia nggak mau noleh kesini sama sekali." "Mungkin selama ini ada yang salah Na," ucap Erin lagi. "Apa?" "Ya nggak tahu apa." "Mungkin Ana bukan type cewek yang dia mau kali." "Cowok buta yang nggak mau sama Ana tanpa alasan," ucap Erin membalas omongan Ary barusan. "Udah lah nggak usah dibahas, cukup bantu dengan kemampuan kalian masing - masing. Jangan lupa minggu depan aku sudah mulai latihan basket, kalian kan janji mau menemani aku." "Oke siap Na... jadi sekarang kita berubah haluan ya ... cuci mata aja sudah membahagiakan?" "Yes ... memandang dari kejauhan aja ... menikmati ciptaan Tuhan." * Setelah menghabiskan kurang lebih 2 jam hingga pukul Enam sore, kami mengikuti rombongan yang berkumpul disalah satu cafe diarea taman budaya Sentul sekedar menghabiskan waktu malam minggu bersama. Aku sudah memberitahu mama bahwa kami akan tiba di Jakarta sekitar pukul 10 atau 11 malam nanti. Kata mas Misno papa terus mengecek keberadaanku, melalui mas Misno. Hanya Michael, Audrey dan Renald yang tidak bisa ikut bergabung karena mereka ada acara di Jakarta. Aku duduk disebelah Nanda dan Erin sedangkan mas Dana sama beberapa temannya yang satu meja dengan kami duduk depan kananku, karena persis didepanku Dudi dan Abin. Nanda terus mengajakku berbicara dengan suara pelan, sehingga dia perlu mendekat kearahku kalo berbicara. Kami seperti sedang berbisik. "Jangan bisik - bisik mesra ... lanjut aja ntar abis ini," Bima mengintetupsi. "Ada urusan belum kelar kayaknya," Dudi menimpali. "Lo semua satu sekolah ya?" Tanya cowok yang duduk disebelah mas Dana. "Dulu smp bareng, sekarang pisah - pisah ... nih mereka yang berempat masih bareng," jawab Bima menunjuk kearah kami. "Lo Tatiana yang model itu kan?" Tanya cowok itu lagi. Aku mengangguk. "Ternyata bukan cantik filter ya, cantik beneran. Lo dateng sama Dudi?" "Iya." Jawabku. "Satu sma dengan lo?" Tanyanya melihat kearah Dudi. "Iya, sama Ary dan ini Erina sepupunya Dana." "Wah berarti ini adek kelas lo semua Dan?" "Iya." Jawab mas Dana singkat. "Tatiana udah punya pacar belum? Dana available nih." "Yaelah Ndro ... ini semua kita juga available lo," sahut Bima tidak mau kalah. "Ngalah dong lo sama kakak kelas Bim ..." "Dana kan bukan kakak kelas gue, Dudi yang harus sungkem sama Dana. Gue sama Nanda kan free." Ucapan Bima mengundang tawa Dudi, Nanda , Abin dan juga cowok yang dipanggil Ndro tadi sedangkan mas Dana hanya menarik sedikit sudut bibirnya. Entah kenapa si Ndro itu memakai namaku untuk disandingkan ke mas Dana, padahal disini masih ada Ary, Uci dan Dewi ... tidak mungkin juga Erin disebut karena dia sudah tahu bahwa Erin sepupunya mas dana. "Ya siapa tahu Dana tergugah punya cewek, masak dia gosipin homo ... temen gue ganteng gini dibilang homo ...tega banget para penggosip." "Gue ngalah deh kalo saingannya Dana .... lo mau Na sama Dana?" Tanya Bima sok berakting. Mau bangettt! Aku hanya tersenyum menjawabnya. Masak iya aku bilang mau banget secara terang - terangan, pingsan nanti mas Dana disini. "Lo nggak usah pulang sama Dudi ... sama Dana aja, biar dianter ke rumah ... gimana Dan?" Tanya cowok itu yang benar - benar frontal. "Nggak bisa, aku sama supir dan teman - teman ini yang pamitin ke orangtuaku ... jadi harus pulang sama mereka." Jawabku merespons omongannya sebelum mas Dana menolak. "Gampang bisa diatur kalo lo mau Na, nanti bisa ketemu dimana sebelum lo sampe rumah." Teman mas Dana masih ngotot, aku hanya diam tidak mau berinisiatif. "Ya udah ... kamu pulang sama aku." Aku sampai menoleh sangking tidak percaya mendengar mas Dana yang bicara barusan. Benarkah ini ....?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN