Setelah melepas kepulangan Ary dan Dudi, aku langsung masuk rumah dan menemukan Papa dan mama berada dimeja makan. Mati aku, kenapa sampai jam segini mereka masih dimeja makan?
"Temen - temennya udah pulang Na?" Tanya mama.
"Udah ma, tumben masih disini?"
"Papa lagi pengen ngemil apel."
"Mau ngemil apa mau interogasiiii?" Tanyaku melihat gelagat papa yang ogah - ogahan mengunyah apelnya.
Papa mendengus, tapi mama tersenyum.
"Yaaah ketahuan modus papa."
"Nggak sering - sering begini ya." Akhirnya papa mengeluarkan suara.
"Iya ... iya, sudah umur lima belas tahun baru ini keluar kota sama teman - teman ...cuma Sentul, belum Bandung ... belum Bali."
"Eh nggak ada!" Jawabnya sambil melotot kaget.
Aku terkekeh melihat reaksi papa...agak lebay, perasaan dulu papa nggak begini.
Mbak Tina masuk dari arah dapur.
"Aa' sudah dijemput," ucapnya.
"Paling sebentar lagi turun, tapi kasih tahu aja," ucap mama ke mbak Tina.
Mbak Tina naik keatas menuju kamar aa'.
"Makan apa tadi Na?"
"Makan Fettucini, enak deh cafenya ma namanya Flowey. Pizzanya juga enak. Kapan - kapan kita kesana yuk."
"Macet nggak? Mama males kalo macet."
"Ya tolnya standar lah kayak kita ke Bandung, disananya sih rame, mungkin karena weekend kali. Yuk pa ... kapan - kapan." Sengaja aku mengajak papa karena dari tadi hanya diam seperti nunggu diajak.
"Hmm." Jawabnya ogah - ogahan. Fix papa masih jual mahal kayaknya.
"Aa' sudah siap?" Tanya mama yang melihat mbak Tina turun.
"Baru bangun bu, kata mbak Priska masih lima belas menit lagi."
"Kasih minum aja supirnya, kalo ada kue juga sekalian aja Tin."
"Ya bu," jawab mbak Tina dan berlalu menuju dapur.
"Nih makan apelnya Na .." Mama menyodorkan piring apel didekat papa.
"Aku mengambil garpu lalu ikut makan apel potong yang disodorkan mama.
Kurang lebih sepuluh menitan berlalu tampak aa' turun didampingi kak Priska tanpa anak - anak, pasti mereka sudah tidur.
"Mau kemana a'?" Tanyaku.
"Ke Hongkong, mau ikut?"
"Mau."
Aa' mengacak - acak rambutku," Ke Sentul aja bikin heboh, pake mau ke Hongkong."
"Yang bikin heboh kan papa a'."
"Nggak ikutan deh," komen aa' sambil tertawa.
"Apel a'." Mama menawari aa' apel.
"Ya ma."
Aa' mengambil duduk disebelahku, disusul kak Priska.
"Jam berapa berangkatnya? Memangnya jemputannya kecepetan a'?" Tanya papa.
"Take off jam dua belas pa, itu biasanya abis nganter crew pulang, langsung kesini ... jadi lebih cepat sampe."
"Mama udah suruh mbak Tina kasih minum sama kue ke supirnya."
"Makasih ma."
"A' ... beliin tas dong."
"Tas apa?"
"Tas buat main ... buat ke mal gitu, tapi yang mahal."
"Mahal itu berapa? Dua ratus ribu mahal nggak?"
"Issh aa' ... dua puluh juta dooong."
"Kalo urusan puluhan juta sama pak bos dong."
"Pak bos lagi julid," ucapku sambil melirik papa.
"Salah sendiri pake maen jauh."
Aku mencebikkan bibir.
Tidak berapa lama aa' pamit berangkat terbang, setelah aa' jalan papa dan mama masuk kedalam kamar. Aku menunggu kak Priska masuk lagi dari luar melepas aa'.
"Kak ...udah ngantuk?"
"Belum ... kenapa?"
"Curhat dong."
"Yuk, dikamar Ana aja ya."
Aku mengangguk, lalu kami masuk kedalam kamarku. Kak Priska langsung duduk di tempat tidurku.
"Sepuluh menit ya kak, aku mandi dulu ...nggak enak nih badan dari siang."
"Ya .." Jawab kak Priska sambil main hapenya.
Aku menyelesaikan mandi lebih cepat tanpa ritual skincare. Dengan baju tidur warna peach dan rambut dikuncir kuda, aku langsung duduk didepan kak Priska.
"Aku tadi ketemu mas Dana," ucapku membuka obrolan.
"Dimana?"
"Sentul."
"Owh .. huru hara Sentul di rumah ini disponsori oleh Teguh Pradana rupanya."
Ya memang masalah Sentul ini tidak stop sampai papa dan mama saja, sudah jadi bahasan nasional rupanya. Mama ternyata perlu dukungan aa' dan kak Priska untuk membungkam papa ... untung saja Wika dan Owka tidak ikutan, bisa tercemar nama baik auntienya.
"Issh kakak ... aku tuh diajak Dudi lihat dia nge-drift, kebetulan mas Dana juga ikut."
"Kalo nggak ada Dana, pasti kamu nggak ikutan Dudi kesana kan?"
"Ya gitu deh pokoknya ..."
"Sudah kakak duga, trus gimana dia?"
"Awalnya cuma melihat sinis..."
"Trus? Kesininya tambah sadis?"
"Banget."
"Tampangnya aja apa mulutnya juga?"
"Tampangnya awalnya sinis ... tapi udahnya sih nggak."
"Trus mulutnya yang jadi sadis?"
"Iya."
"Emang dia bilang apa Na?"
"Jadi aku ceritain dulu awalnya ...."
Aku menceritakan semua dari awal, dan kak Priska menampilkan muka tercengang hingga lupa menutup mulutnya.
Aku sudah selesai bercerita dan kak Priska masih terdiam.
"Kak ..."
"Iya... hebat Ana ih."
"Hebat kenapa?"
"Ya hebat, suka sama orang yang nggak suka sama kita tapi bisa bertahan. Kakak aja dulu karena salah persepsi dan nggak tahu aa' suka sama kakak aja ... kakak langsung kabur nggak mau berhubungan."
"Kenapa kak, kalo cinta kan harus dikejar."
"Ana cuma terobsesi kayaknya, itu bukan cinta Na."
"Cinta kak ... aku cinta banget sama mas Dana. Tadi memang aku nangis waktu di mobil waktu dia ngomongnya tajem banget gitu, tapi aku sekarang masih mikirin dia. Aku nggak mau cerita sama temen - temen karena aku malu, dan aku juga nggak mau mereka semakin melarang aku. Kalo kak Priska kan nggak gitu."
"Kalo Ana nanya, kakak juga pengennya ngelarang Na ... tapi namanya orang kalo lagi mabuk kepayang karena cinta, jangankan temen, kakak atau orangtua yang ngomong, kalo bisa malaikat ngomong juga dicuekin. Pasti mental semua."
"Apa iya gitu kak?"
"Na ... banyak diluar sana orang kawin lari cuma karena nggak disetujui orang tuanya, dengan kata lain dia nggak mau dengerin orang lain karena sudah jatuh cinta banget sama pacarnya, pasti orangtuanya yang melarang anaknya itu karena melihat ada sesuatu yang tidak baik untuk anaknya, tapi anaknya nggak mau dengerin dan merasa pilihannya sudah yang terbaik. Tapi ini terlepas yang orangtuanya ajaib ya ... soalnya kan ada juga orangtua yang egois, yang kakak omongin ini orangtua yang bener lho."
Kak Priska menjeda sebentar.
"Itu yang sedang terjadi sama Ana sekarang walau sekarang cuma teman - teman yang ngelarang, Ana nggak mau denger ... belum level papa mama lho yang larang. Kalo kakak paham banget perasaan Ana sama Dana, cuma kakak heran aja... kok Ana tahan ya dengerin dia berkata kasar atau menyakitkan gitu? Kok bisa dianggap angin lalu aja sama Ana? Trus abis ini apa, masih mau ngejar dia terus?"
"Nggak tahu." Aku menggeleng tidak mengerti.
"Tapi tetap suka sama dia?"
Aku mengangguk.
"Batasnya?"
"Kan sampe dia punya pacar."
"Atau kalo dia sekong itu?"
"Iya." Jawabku sambil tersenyum.
"Okeeee ... dia bilang dia nggak suka lihat Ana deket dia ... kalo gitu Ana jangan cari perhatian dia lagi seperti yang kakak bilang waktu itu. Kalo ketemu di sekolah pun biasa aja, apalagi mau latihan basket bareng kan? Ya udah ... jangan cari perhatian dia. Nggak usah ikut kegiatan Dudi yang ada dianya. Cukup diam Na ... diam. Ana cinta dia ... dia nggak cinta Ana ... seperti yang kakak bilang juga waktu itu, paling nggak jangan buat dia benci Ana.Kalo sudah benci Na ... susah memperbaikinya, Paham?"
Aku mengangguk. Paham tapi berat.
"Pokoknya ... jangan dekati dia dengan cara murahan seperti dia bilang itu. Dengan Ana hadir disetiap kegiatannya itu berarti Ana melanggar keinginan dia."
"Apa aku nggak usah ikut basket aja?"
"Tujuan ikut basket apa?"
"Biar dekat sama mas Dana."
"Oke... skip kalo gitu."
"Kalo ketemu pas - pasan di sekolah?"
"Diam Na ... diam."
"Okeeh ... semoga bisa kak."
"Pasti bisa ... siapa tahu karena tidak terbiasa lagi mencari perhatian dia, lama - lama rasa itu hilang."
"Aku nggak mau rasa itu hilang ...itu indah banget kak ... lihat mukanya aja tuh aku bahagia banget."
Kak Priska tersenyum.
"Kalo jatuh cinta pada orang yang tepat, jauuuuh lebih indah daripada yang Ana yang rasakan sekarang, percaya kata kakak ... indah banget Na. Kakak sudah merasakan jatuh cinta yang dalam ke aa' dan nggak mau kemana - mana lagi," ucap kak Priska sangat dalam.
"Semoga mas Dana bisa berubah ya kak," harapku.
Kak Priska malah menepok jidatnya. Aneh banget kan?