Setelah semalaman diguyur hujan yang cukup deras, kabut tebal nan dingin pun akhirnya menyapa pagi dengan mendungnya. Sejuk, namun terasa sangat menusuk pada pori-pori kulit, tanpa adanya udara hangat dari sang piringan matahari. Hanya tetesan embun yang menetes dari dedaunan, menyambut pagi yang kelabu, bersama kicauan burung silih bersahutan.
Pelangi ... gadis berparas cantik yang sedari tadi sudah siap dengan sweater hoodie tebalnya, terlihat begitu santai berjalan menyusuri lorong apartemen, hendak mengantar kedua sahabatnya yang akhirnya menginap karena hujan yang tak kunjung reda hingga pagi tadi, menuju basement parkir di lantai bawah.
Awalnya, mereka bertiga hanya berjalan tanpa sepatah katapun. Sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga salah satu dari mereka mulai membuka percakapan.
“Lu off sampai hari apa, Ngie?” tanya Galaksi sembari mengecek jadwal penerbangan yang baru saja dikirim oleh operator tim Penjadwalan Dan Perencanaan Maskapai Aerglo Airlines, pada layar ponsel.
Tanpa menghentikan langkah kakinya, Pelangi menoleh. “Gue off cuma hari ini aja. Besok, ada jadwal penerbangan pagi bareng Kapten Yudha,” jawab Pelangi.
“Jadi, nanti malem lu balik ke asrama?” tanya Galaksi lagi.
“Kayaknya sih, iya. Bareng Yara juga,” jawab Pelangi.
“FA1-nya Intan, ya?” Kini, giliran Galen yang mengajukan pertanyaan.
*** (Senior In Charge, atau FA1 dalam suatu penerbangan merupakan seseorang yang memimpin awak kabin dalam suatu tugas penerbangan, yang secara khusus menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan: antara kru atau penumpang, dokumen perjalanan–baik kru, juga penumpang domestic atau international, kelengkapan dokumen penerbangan seperti manifest–jumlah penumpang dengan segenap asuransinya–dokumen cargo, serta dokumen penunjang lainnya).
Pelangi mengangguk pasrah. “Iya. Si bunglon betina yang bakalan mimpin awak kabin besok. Males banget gue satu jadwal penerbangan sama tuh nenek lampir! Kalau aja kagak dosa, pengen, deh, gue lemparin dia dari ketinggian tiga puluh delapan ribu kaki,” gerutunya, sangat kesal.
“Dan Febri yang jadi FO-nya. Wah, mengorek mengorek luka lama, lo, Ngie, bareng mantan dan mantan selingkuhan pacar lo,” tambah Galen lagi, dibubuhi sedikit sindiran.
*** (FO adalah First Officer, atau yang biasa disebut sebagai co-pilot).
Gadis cantik itu menghela napas dalam, lalu mengembuskannya secara kasar. “Wah, bukan lagi mengorek luka lama, Len. Tapi, berbahagia dengan cara yang berbeda. Mana rutenya ke Bali pula! Untung aja besok satu jadwal sama Yara. Kalau enggak ... dah, lah, gak bisa bayangin gue.”
Mendengar nama pria dari masa lalu Pelangi disebut-sebut, Galaksi seketika menghentikan langkah kakinya. “Lu gak bisa minta rubah jadwal, gitu, Ngie? Alasan sakit, kek. Atau, ada urusan keluarga gitu? Gak sanggup gue bayangin lu satu penerbangan sama tuh onderdil pesawat!”
Pelangi menggeleng. “Bulan ini udah tiga kali gue minta ganti jadwal. Gue takut malah kena SP gegara keseringan membangkang tim penjadwalan,” balas gadis itu. “Lagian, kenapa jadi lo yang sewot, sih, Gal? Kan, gue yang satu jadwal sama mereka. Bukan lo.” Lanjutnya, ikut menghentikan langkah kaki, dan berdiri tepat di samping Galen yang juga menghentikan langkah kakinya.
*** (SP=Surat Peringatan).
Galaksi mencebik, sembari mengedikkan bahu. “Semenjak kejadian waktu itu, gue bener-bener hilang respect sama tuh pasangan siluman komodo,” jawab Galaksi.
“Udah lama juga kali, Gal, gak usah dibahas!” sahut Pelangi.
“Ya ... memang udah lama. Tapi, terlalu membekas dalam ingatan gue. Kaya ... merinding gitu. Ih, anjir, apaan sih, jijik gue bayanginnya,” balas pria itu bergidik ngeri.
Mendengar jawaban dari Galaksi, Pelangi menggeleng di sela kekehannya. “Gal! Gue, loh, yang jadi pemeran utama dalam drama pasangan siluman komodo. Kok, malah lo yang belum move on dari kejadian itu? Masih kebayang-bayang, ya ... goyangan mautnya si komodo betina?” goda Pelangi, sambil ngarahkan jari telunjuknya, tepat di hadapan wajah sang sahabat.
Bergidik sebal, Galaksi segera meraih tangan gadis itu dengan cepat, menggenggamnya sesaat, kemudian menurunkan tangan tersebut tanpa melepasnya. “Gak usah diperjelas, ya, Ngie! Makin jijik gue ingetnya.”
Pelangi mengerutkan dahi. “Loh, kenapa? Bukannya cowok-cowok paling suka, tuh, body cewek yang sintal kaya gitu?” Gadis itu mengangkat kedua lengannya hingga genggaman tangan Galaksi terlepas, bergerak menyepertikan lekukan badan gitar, dengan bibir membulat. “Uuuhh ... bohay, gengs, bagaikan gitar spanyol.” Lanjutnya, menggoda.
Selesai mengatakan hal tersebut, satu toyor-an cukup kencang seketika diterima oleh Pelangi, hingga membuat gadis itu berjalan mundur beberapa langkah, dan disanggah oleh Galen yang sedari tadi berdiri di samping Pelangi tanpa bersuara.
“Otak lu udah bener-bener terkontaminasi, ya, Ngie. Udah paling bener emang bawa lu ke rumah ustad buat diruqiyah,” omel Galaksi penuh penekanan.
Sembari menegakkan tubuhnya kembali–dibantu oleh Galen yang menyanggahnya–Pelangi tertawa. “Lah, gue hanya mengatakan fakta mengenai sifat laki-laki pada umumnya. Ya ... kalau semisal lo gak begitu, berarti memang ada yang gak beres,” sanggahnya.
“Gak beres apanya maksud lu?” tanya Galaksi, kebingungan.
“Gak beres kepribadian lo sebagai seorang pejantan,” jawab Pelangi dengan santainya.
Galaksi menyentil kening gadis itu, pelan. “Pejantan? A-apa? Pejantan lu bilang? Heh, spektrum warna! Lu pikir gue penghuni suaka margasatwa apa?”
Tanpa menghentikan tawanya, Pelangi menjawab, “gue hanya mencari kata yang tepat dan cocok buat dipakai–“
Saking kesalnya ... belum sempat Pelangi melanjutkan perkataannya, Galaksi sudah lebih dulu menjepit bibir gadis itu dengan cepat menggunakan tangan kanan, agar dia tidak berbicara lagi. “Lu mending diem, ya, Ngie! Daripada bercuap-cuap gak jelas dan makin melantur ke sana kemari cuma gara-gara keinget kejadian dulu. Kalau lu pengen, lu tinggal bilang sama gue! Gue jabanin sampai lu bunting!”
Setelah Galaksi selesai mengatakan hal itu, satu tendangan cukup keras akhirnya mendarat dengan sempurna tepat pada tulang kering pria tersebut, hingga membuatnya memekik kesakitan. “NGIE! ANJIR LU, YA! SIALAN! SAKIT BANGET! Kalau gue gak bisa jalan lagi, gimana?”
“Masih untung gue tendang tibia lo, bukan hidung Squidward Tentacles yang bergelantungan di bawah sana!” jawab Pelangi tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Sambil mengusap-usap tulang keringnya yang berdenyut nyeri, Galaksi bertanya, “emang salah gue apa, sih, Ngie?”
“Salah lo banyak! Saking banyaknya sampai gak bisa dijabarin,” jawab Pelangi.
“Apa gara-gara gue bahas kejadian itu?”
Galen–si pria tampan bermata sedikit sipit–yang sedari tadi hanya diam, memperhatikan dan mencerna hal-hal yang tersirat dalam perdebatan dua sahabatnya itu, semakin mengerutkan dahi. Hingga akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara.
“Sebentar, deh! Sorry, gue bener-bener gak bisa nangkep inti dari perdebatan kalian. Kalau soal pasangan siluman komodo, sih, oke, gue paham. Cuma daritadi, lo berdua selalu bilang ‘kejadian itu’ dan ‘kejadian itu’. Memangnya, ada kejadian apa? Kenapa gue gak nyambung-nyambung sama percakapan kalian?” tanya Galen.
Pelangi dan Galaksi saling melempar tatap satu sama lain, sebelum salah satu dari mereka kembali membuka suara. “Sorry, Ngie, gue beneran lupa, kalau Galen gak tahu apa-apa soal ini,” ucap Galaksi pelan.
Seraya menepuk pundak sahabatnya itu, Pelangi menjawab, “kalaupun ada orang lain–selain kita berdua–tahu tentang kejadian waktu itu ... gak masalah, kok. Gue udah gak peduli lagi, dan gue juga udah ikhlas atas semua yang terjadi ketika itu. Lagian, ngapain juga kita nutupin aib orang lain? Orang ... Dianya aja ngumbar-ngumbar aibnya sendiri.”
Semakin kesal karena tidak paham inti dari percakapan dua sahabatnya, Galen berdecak, menggerutu. “Kejadian itu, sepasang siluman komodo ... sekarang aib. Nih, kalian niat ngasih tahu gue gak, sih? Daritadi malah bikin gue tambah bingung aja!”
Lagi-lagi, Galaksi menatap Pelangi. “Jadi, mau lu yang cerita dengan versi lu, atau mau gue yang cerita dengan versi gue?” tanyanya.
“Lo aja, deh, Gal. Gue jadi backsound aja di belakang. Meng-iya-kan, dan menambahkan yang kurang dari cerita lo," jawab Pelangi.
"Oke, deh, kalau gitu," balas Galaksi.
Setelah mendapat persetujuan dari sang empunya drama, Galaksi pun mulai bersiap, bak pemain yang hendak melangkahkan kaki menuju arena tinju, kemudian berdeham. “Jadi gini, Len ....”
***