Resign
"Gimana sih itu istrimu? Udah bagus-bagus kerja, malah milih resign. Bikin malu aja," sungut Deddy saat mengetahui menantunya akan memilih berhenti bekerja untuk mengasuh anak di rumah.
"Biarlah, Pak. Dia juga di rumah ngurusi anak kok. Lagian, kalo mau dititipin, uangnya juga banyak."
"Alasan! Males aja itu istrimu."
Bagas menghela napas. Semalam kepalanya pusing karena sang istri merengek untuk pindah dari rumah mertuanya karena tidak betah tinggal di rumah itu. Bagas pun tidak mengerti jalan pikiran istrinya. Dia memilih resign saat mereka berdebat semalam tentang pengasuhan anak jika pindah rumah.
Namun, demi rengekan istrinya, Sadina, yang membuatnya goyah juga.
"Kami juga mau pindah ke kontrakan lagi, Pak. Kata Dina, dia kepengen pindah dari sini," beber Bagas.
"Dasar, istrimu itu manja. Mau bayar kontrakan pake apa kalo salah satu nggak kerja? Mikir," tunjuk Deddy ke dahinya.
Bagas hanya menghela napas. Sudah dia tebak ayahnya akan mencaci keputusan mereka.
"Trus kapan rencana kalian pindah?" tanya Deddy lagi, memantik api dari korek gas, lalu mengisap rokoknya.
"Minggu depan, Pak."
"Nggak sekarang sekalian? Nanggung banget!" omel lelaki paruh baya itu, sewot masuk ke kamarnya meninggalkan Bagas yang menghempaskan pantatnya ke kursi dengan perasaan kesal.
Sadina yang menguping dari kamar, merasa hatinya sakit dengan perkataan ayah mertuanya itu. Entah kenapa, dia seringkali heran dengan sikap ayah mertuanya. Padahal, dia seorang lelaki, tapi mulutnya lemes minta ampun. Itulah salah satu alasan kenapa Dina memutuskan untuk mandiri. Tambah lagi, dia tidak betah dengan perkataan julid yang seringkali keluar dari mulut ayah mertuanya itu.
Dina yang merenung, terperanjat kaget saat suaminya masuk ke kamar dengan wajah cemberut. Bagas kesal melihat Dina yang berada di dalam kamar.
"Gara-gara kamu, aku jadi diomeli Bapak," sungutnya pada Dina.
"Maaf, Mas, tapi aku bener-bener nggak betah. Aku pengen hidup mandiri, trus kalo dilanjutin kupikir bulan-bulan ke depan gajiku dan gajimu yang cuma jadi guru honorer nggak cukup lagi buat bayar pengasuh. Kalo kita balik ke kontrakan, aku bisa kasih les anak-anak buat tambah-tambah beli s**u si Tsabita. Kalo di sini, jarang anak yang mau les," kilah Dina, mengingat keadaan kampung tempat tinggal mertuanya itu.
Dina mencoba meyakinkan Bagas dengan rencananya. Daripada kerja jadi guru honorer dengan gaji minim dan uang habis di ongkos karena rumah mertuanya jauh dari tempat mereka bekerja, tambah lagi gajinya habis untuk membayar pengasuh, dia pikir anaknya bisa diasuh sendiri.
Bagi Dina, anak adalah nomor satu. Dia tidak tega harus meninggalkan anaknya dengan orang lain meski pengasuh itu memperlihatkan kebaikannya pada Dina. Banyak yang jadi pertimbangan untuk Dina. Dia sudah memikirkan matang-matang keputusannya itu. Memilih jadi ibu rumah tangga dan mengurusi anaknya.
"Trus, aku bilang apa sama Bapak dan Ibu?” tanya Bagas yang sudah tidak bisa lagi berpikir.
“Ya, bilang kalo kita mau mandiri,” tukas Dina.
Bagas menghela napas. Dia kira apa yang disampaikan tidak akan diterima oleh ayahnya.
“Gas! Nanti Tantemu mau datang! Suruh si Dina masak kek, atau beli makanan. Jangan Cuma diam aja!” omel ibunya, Tanti, dari luar, terdengar jelas suaranya di depan pintu kamar.
Bagas tidak menjawab, hanya melirik ke arah Dina yang sekarang terburu meletakkan bayi yang tadi dia tidurkan itu.
“Aku juga nggak ngerti Mas, kalo Tante Lusi mau datang,” desis Dina mengikat rambutnya saat Bagas semakin cemberut.
“Cepetan kamu masak lah, dari pada mereka berisik,” titah Bagas mengangkat dagunya ke arah pintu agar Dina segera keluar.
“Iya,” sahut Dina yang rasanya malas keluar untuk bertemu dengan kedua mertuanya, tapi terpaksa karena dia harus membuat kudapan untuk tamu mereka yang sebentar lagi datang. Risiko tinggal di rumah mertua. Dia harus ikut membantu jika ada tamu. Namun, bukan Cuma membantu, kadang Dina memang sendirian menyiapkan segalanya.
Dina berjalan ke lemari es.Dia membuka pintu lemari es dan terbelalak saat tidak menemukan apapun di dalamnya.
“Masak apa kalo kosong melompong kayak gini?” gumamnya.
“Apa? Nggak ada isinya? Makanya kamu kerja, biar bisa belanja, jangan Cuma di rumah aja! Nggak enak kan kalo liat kulkas nggak ada isinya?” semprot Deddy yang tiba-tiba muncul dari belakang Dina.
Dina hanya menghela napas dan menutup lagi pintu lemari es. Biasanya yang julid itu wanita, tapi ini? Lelaki pun bisa. Buktinya, ayah mertuanya sangat nyinyir setiap hari. Dulu sebelum dia resign dan melahirkan, jarang sekali Dina bertemu dengan ayah mertua, walau kadang dia merasa aneh dengan perkataan pria itu yang menurutnya sombong, tapi karena pikiran Dina hanya bekerja, dia tidak mempermasalahkannya. Sekarang, dia mendengar setiap waktu kata-kata pedas dari bibir lemas lelaki paruh baya itu ketika sementara waktu tinggal di rumah mertua.
Dina meremas ujung kausnya lalu berjalan ke kamar dan meraih dompet. Dia masih punya sisa uang dari sekolah waktu perpisahan kemarin. Dia memutuskan untuk menggunakan uang itu.
“Mau ke mana?” tanya Bagas yang berbaring di sebelah anak mereka yang sedang tertidur pulas.
“Belanja,” sahut Dina. Nyaris air mata keluar dari kedua matanya saat teringat kata-kata sang mertua.
“Oh.”
Hanya itu yang diucapkan oleh Bagas. Dina sudah paham. Lelaki itu pun tidak pernah memberinya uang lebih dari lima ratus ribu karena minim gajinya. Dia pasti tidak akan menanyakan apa Dina punya uang atau tidak. Dina terbiasa turut mengusahakan kebutuhan mereka.
***
Sore itu, Tante Bagas yaitu Lusi, beserta anak perempuannya, Kartika, tiba dari luar kota. Mereka langsung disambut hangat oleh Deddy dan Tanti.
“Makan dulu, kalian udah laper kan? Aku udah siapin masakan tuh di meja makan,” ajak Tanti.
Kening Dina berkerut mendengarnya. “Bukankah aku yang menyiapkan? Kenapa Ibu ngaku-ngaku?” gerutunya bergumam lalu masuk ke kamar mandi untuk menghilangkan kekesalannya.
Dina biasa melampiaskan ke tembok atau mencuci wajahnya dengan air dingin jika jengkel pada keluarga suaminya itu. Dia pun menghabiskan waktu lama di sana. Melihat baju-baju kotor anaknya, Dina segera mencucinya. Sementara, Deddy, Tanti, Lusi dan Kartika bercanda di ruang makan. Mereka bergantian menggendong bayi Dina saat Bagas membawanya keluar. Suasana senang itu berbeda dengan Dina yang sedang berpeluh busa di kamar mandi.
Deddy keluar membawa piring kotor dan meletakkannya di tempat cuci piring. Lalu menoleh ke arah Dina yang sedang mencuci di kamar mandi.
“Udah persis kayak pembantu kamu ini,” celetuknya dan berlalu masuk lagi ke dalam rumah.
Hati Dina seperti disayat, sakit sekali mendengar hal itu. Baru kali ini dia dibilang seperti seorang pembantu.
“Lho, ini kewajibanku!” balas Dina, kesal. Melemparkan baju-baju anaknya ke dalam ember. Hatinya sangat kesal. Ingin rasanya kedua matanya yang memanas itu meledak. Air matanya tak bisa lagi ditahan, mengalir di kedua pipi.
“Andai ayah dan ibu masih ada,” keluhnya, menghapus bulir-bulir yang mengalir dari kedua matanya, teringat akan ayah dan ibunya yang telah tiada beberapa tahun yang lalu.