Akram tak serta merta menganggap kenyataan di depan matanya benar adanya. Ia masih belum bisa memahami mengapa semua ini terjadi. Bahkan, sesaat setelah Frans menjelaskan semuanya.
“Udah, terima aja. Ini wujud kasih sayang mertua lo,” celetuk Frans. Sejak tadi Akram tidak senang berada di tempat itu.
“Berlebihan,” cetus Akram.
“Kalau berlebihan, buktiin lo bisa balikin semua,” desis Frans. Ia cukup geram dengan sikap Akram.
Akram membuang muka. Menjadi pemilik toko sebesar ini dengan label D and M? Yang benar saja.
“Lo tinggal jalanin, modal udah ada. Lo puter gimana caranya biar beres. Syukur balikin modalnya ke Bapak.”
Akram semakin jengah. Sejak pertama menikah dengan Mia, hal yang seperti ini yang tidak bisa ia terima. Ia sungguh terbebani dengan label kekayaan yang dimiliki mertuanya. Frans mendorong bahu Akram hingga punggung Akram menyentuh tembok. Ia benar-benar tak bisa berpikir jernih lagi.
“Aku peringatin, Kram. Sekali kamu nggak nurutin arahan di sini, jangan harap kamu bisa pertahanin Mia. Aku siap mengambilnya,” ancam Frans.
Akram menatap tajam ke arah Frans. “Kamu?”
“Aku sama Mia nggak ada hubungan darah. Aku bisa aja ambil dia kalau aku mau,” tegas Frans. “Sekarang ikuti semua arahan manajer buat tour toko. Kalau udah boring, lo boleh pulang apa ngluyur ke mana terserah lo, tapi Mia tetap di sini.” Frans melirik ke sisi kanan. Dari sudut sempit mereka, ia bisa melihat Mia yang sedang menanggapi setiap penjelasan manajer. “Minimal kalau lo nggak bisa ngasih dia nafkah batin, lo kasih dia nafkah lahir. Uang bulanan, uang makan, tempat tinggal dan rasa aman. Jangan jadi cowok yang bahkan nggak punya rasa malu sama sekali!”
Akram memberontak. Perkataan Frans sudah keterlaluan. Ia memang belum bisa memberikan apa-apa, tapi ia sedang berusaha. Ia tidak mau terlalu berpangku tangan. Frans memberi sedikit ruang pada Akram untuk bergerak seraya berlalu dari ruang sempit itu. Frans dengan santai dan tenang menghampiri Mia. Mengajak adik angkatnya berkeliling ke seisi toko menggantikan manajer. Ia memang akan terus melakukannya sampai Akram bisa melihat sisi terbaik dari adik angkatnya.
Akram mendongak. Ini semua memang seperti impiannya yang pernah ia bagikan pada seseorang. Tapi itu jelas bukan Mia melainkan Nasha. Bisa jadi selama ini Nasha dan Mia masih terus berhubungan. Akram merapikan kausnya. Ia berjalan pelan menyusuri seisi toko. Sudah pasti yang membuat hatinya tergerak adalah stand cabang olah raga sepak bola. Ia tahu betul impiannya ada di sana. Akram menghela napas. Apa sebenarnya Allah sedang menunjukkan kuasaNya. Bahwa apa yang paling ia benci belum tentu buruk baginya dan apa yang paling ia sukai adalah baik untuknya juga. Akram menyapukan pandangan. Selintas ingatan tentang kegemarannya mengolah si kulit bundar terngiang.
*
Mia tahu suaminya tidak semudah itu menerima hadiah. Ia juga paham sejak tinggal bersama di rumah, Akram seperti tidak memiliki apa yang sebenarnya miliknya.
“Kenapa melamun?” sentak Frans yang tiba-tiba datang. Mereka sudah selesai melihat-lihat bagian toko.
Mia menggeleng. “Enggak, Kak.”
“Ketahuan di jidat kok enggak.”
Mia tersenyum samar. Sejak tadi sebenarnya ia ingin memberikan sarapan yang ia buat untuk Akram, namun ia ragu melakukannya.
“Itu apa?” tunjuk Frans pada paper bag di dekat Mia.
“Oh, roti yang tadi pagi, Kak.”
“Kamu bungkus?”
Mia mengangguk kecil. “Sayang kalau dibiarkan nganggur di rumah.”
“Sini buat aku aja. Udah laper lagi.”
Mia membelalak. “Belum jam dua belas, Kak.”
“Namanya laper mana bisa diatur-atur. Emangnya robot?”
Mia terkekeh. Kakak angkatnya selalu bisa mencairkan suasana. Apa saja yang dibawakan oleh Frans selalu menyenangkan.
“Beneran mau?”
Frans mengangguk. Selagi itu buatan Mia ia pasti akan menghabiskannya.
“Nih.”
“Makasih, Dek. Seneng deh, aku!” kelakar Frans. Ia nyaris mencubit pipi Mia dan refleks Mia menghindar.
Frans mulai menikmati roti yang tadi pagi pun sudah ia coba sambil terus mengulas senyum di depan Miana Agya. Sungguh, dari hati terdalamnya ia berharap adiknya itu bisa bahagia.
“Habis ini ke mana, Kak? Ini belum resmi dibuka, kan?”
“Belum. Bapak mau ngadain syukuran. Ntar mertua kamu juga diundang.”
“Oh, ya? Kenapa Bapak nggak bilang ya, Kak.”
Frans terdiam. “Belum bilang?”
Mia menggeleng. Pasti kakaknya kelepasan lagi.
“Gawat,” tutur Frans.
“Tenang, aku nggak bilang-bilang, Kak.”
“Serius, Mia. Aduh kakak beneran lupa.” Mia tertawa geli. Wajah Frans langsung berubah.
“Ibu juga nggak tau?” tanya Mia lagi.
“Wah wah wah salah aku. Wes salah pokoknya,” ujar Frans.
Mia semakin tidak bisa menahan tawanya. Frans benar-benar takut rahasianya dengan sang ayah terbongkar lebih cepat. Mia membiarkan Frans melanjutkan aktivitasnya. Ia beralih melihat ke sudut lain dan tanpa diduga mendapati Akram yang berdiri dengan wajah masam. Mia tersentak.
“Mas,” lirihnya.
Namun, Akram membuang muka. Ia berjalan meninggalkan salah satu spot di toko itu. Ia tidak suka melihat Mia dan Frans bersama. Ekor mata Mia mengikuti pergerakan Akram yang turun dari tangga. Ia benar-benar kecewa dan tidak bisa menyembunyikannya.
“Kenapa? Nggak ada perubahan?”
Mia mengangguk lesu. Malah cenderung lebih parah menurutnya.
“Biarin aja. Orang kaya gitu harus tau dulu arti kehilangan.”
Kening Mia bekerut. “Maksud Kakak?”
Frans tidak langsung menjawab. Ia habiskan potongan terakhir yang baginya sangat nikmat itu.
“Kamu nggak setuju, kan,” ujar Frans.
“Apanya nggak setuju?”
“Satu-satunya cara hanya dengan kembali pada rencana awal. Seperti yang kita bahas di mobil.”
“Kak.” Mia menggeleng.
“Jika kamu mau dan aku yang bantu.”
“Kak....”
“Cowok kaya gitu harus ditegasin. Kalau perlu ditinggalin.”
“Kak Frans!”
Frans mengangkat bahu. Ia tidak mau melibatkan diri jika Mia tidak menghendaki. Ia sendiri sudah menyusun banyak hal untuk adiknya.
“Kakak kasih waktu satu minggu. Kalau iya ikut kakak berangkat.”
“Harus ada izin suami, Kak.”
“Tegaskan dia itu suami kamu atau bukan. Bapak sama ibu selagi Akram mengizinkan pasti boleh.”
Mia tampak ragu. Course yang ditawarkan Frans sesuai dengan yang ia inginkan. Kesempatan yang mungkin tidak datang dua kali.
“Jujur lebih baik dibandingkan terus berpura baik, Mia. Udah waktunya kamu kasih pelajaran ke dia. Bahasa kakak nih, mengajarkan perasaan.” Frans semakin semangat. Ia memang sudah ingin adiknya melakukan pengembangan diri sesuai dengan bakat yang dipunya.
Mia terdiam. Apa yang diucapkan Frans sangat benar. Ia tidak bisa terus-terusan berada di sisi yang lemah dan tidak mendapatkan apa-apa. Bayangan Akram yang turun dari tangga lantai dua dengan wajah masam terlintas. Mia tak bisa terus mengabaikannya. Mia mendongak. Ia amati dome yang menutup gedung megah ini. Tampak jelas sebuah huruf tersusun di sana D and M Sport Goods Shop. Mia menghela napas berat. Untuk sampai di tahap ini banyak hal yang sudah ia relakan.