Akram pun menoleh. Ia tahu Mia akan memilih ikut dengannya. Namun, ia tak serta merta menyambut gadis itu.
"Mia!" sentak Frans. Ia benar-benar kecewa jika adiknya membatalkan janji mereka.
"Kak Frans tunggu sini. Aku harus ikut Mas Akram lihat ibu. Kalau udah beres, aku janji bakal ajak Mas Akram ke toko," terang Mia.
"Tapi, Mia...!"
Mendengar suara Frans yang meninggi membuat Akram kembali melanjutkan langkah. Ia memegang kenop pintu. Bersiap membukanya meski masih berharap istrinya ikut dengannya. Pesan kedua dari Delia saat ia di kamar tadi, semakin membuatnya kepikiran.
[Ibu juga seneng banget sama Mia. Tolong kali ini tunjukkan kalau hubungan kalian benar-benar baik.]
Akram terus melangkah. Mia hendak mengikutinya.
"Mia kamu sedang ditunggu."
"Suamiku juga nunggu, Kak. Maaf."
"Mia...."
Mia menggeleng. "Aku nggak mungkin mengabaikan suamiku, Kak. Maaf, yang kita bahas di mobil tadi aku cabut kembali."
Frans terdiam. Hubungan Mia dan Akram setinggi itu. Suami istri yang terikat dalam perjanjian besar. Apa mungkin mereka sudah saling? Frans menggeleng. Membayangkannya saja ia tak sanggup.
"Mia!"
"Maaf, Kak. Kak Frans tunggu di sini. Kalau Mia sama Mas Akram udah liat kondisi ibu, kami balik lagi."
Frans pun kalah. Ia mengedikan dagu dan membiarkan adiknya pergi. Mia mengangguk. Ia melangkah mantap meninggalkan rumah. Ia akan mengejar suaminya.
"Naik motor aja, ya," celetuk Akram yang memang menunggu istrinya di halaman rumah. Ia tidak langsung pergi begitu saja.
Mia mengangguk mantap sembari mengulas senyum. Ia melangkah turun dari undakan lantai terasnya.
"Ayo, Mas."
Akram membelokkan motornya ke kanan. Tidak mungkin mereka melewati jalan tembus dikarenakan tenda di depan rumah Nasha menghalanginya. Tak masalah bagi Akram meski harus memutar jauh. Sementara Mia berusaha mengabaikan keramaian itu dengan menarik kaus Akram. Tadi, ia sudah melayat ditemani Frans sebagai teman yang pernah dekat. Bagi Mia hal itu sudah cukup.
Jalan memutar memang membutuhkan lebih banyak waktu untuk sampai. Namun, Akram merasa senang. Melewati jalan kecil desa artinya ia bisa melihat sebuah lapangan bola di depan sekolah dasarnya dulu. Akram sudah lama merindukan rumput hijau dan si kulit bundar.
"Kenapa berhenti, Mas?" tanya Mia. Cukup aneh mengingat mereka sedang terburu-buru.
Akram tak menjawab. Ia terus mengamati rerumputan hijau itu. Pikirannya campur aduk. Mulai dari bagaimana ia pertama kali bermain di lapangan sampai tentang siapa yang menyemangatinya. Akram menoleh ke belakang. Ia amati wajah Mia yang tampak kebingungan.
"Kau," gumamnya. Namun, tak sampai Mia menyadari karena Akram kembali menarik tuas gas. Ia sedang kacau.
Rumah Danu dan Yurika menjadi tidak terawat setelah kepindahan Akram. Begitu sampai, baik Mia maupun Akram bergegas menuju dalam.
"Assalamualaikum," ujar Mia. Mungkin suaminya lupa sampai main masuk begitu saja.
"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam.
"Ya Allah, Bu," pekik Akram.
"Udah nyampe, Kram? Sini." Yurika berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Akram sigap membantu.
"Ibu sendirian?" tanya Akram seraya meraih punggung tangan Yurika. Perempuan itu mengangguk.
Pertanyaan macam apa. Akram jelas tahu kalau ibunya sendirian. Pukul sebelas seperti ini ayahnya sedang bekerja di kantor kelurahan.
"Sini, Nduk," pinta Yurika pada Mia. Gadis itu pun mendekat.
"Assalamualaikum, Bu. Gimana kabarnya?" sapa Mia sambil mencium punggung tangan mertuanya.
"Alhamdulillah sehat, Nduk. Kamu gimana?"
Mia mengulas senyum. "Sehat juga Bu, alhamdulillah."
"Syukurlah. Maaf ibu ngrepotin kalian."
Mia menggeleng. Ia tidak merasa repot sama sekali. Ini seharusnya menjadi kewajibannya.
"Maaf ya, Kram, kamu jadi balik lagi. Padahal belum lama ke sini."
Akram menggeleng. "Nggak apa-apa, Bu. Deket kok. Ibu kenapa nggak bilang sama Akram? Kenapa malah masak segala waktu itu?"
Yurika mengulas senyum. Ia memang menyembunyikannya dari putranya. Ia hanya tidak mau membuat khawatir banyak orang. Akan tetapi, lama-lama ia tak bisa menahannya.
"Cuma meriang, Le. Nggak apa-apa." Yurika menatap Akram dan Mia bergantian. Ada rasa syukur yang hadir menyaksikan anak dan menantunya baik-baik saja. Tanpa sadar, setetes air bening jatuh di pipinya.
"Kenapa, Bu? Ada yang sakit?" tanya Akram memastikan. Yurika menggeleng.
"Sini, Mia." Yurika meminta Mia lebih mendekat. Ia ingin bisa menggenggam tangan Mia dan Akram bersama. Yurika sengaja menyatukannya. Refleks Akram dan Mia berjengkit. Namun, Yurika sudah lebih dulu menimpa dengan telapak tangannya.
"Kalian jaga diri baik-baik, ya. Jangan sampai kalian saling menyakiti apalagi saling meninggalkan. Ibu pengen pernikahan kalian langgeng, sampai punya anak cucu, sampai kakek nenek. Ibu nggak mau denger kalian kenapa-napa." Mata senja itu mulai berkaca.
"Ibu tau kalian nikah karena dijodohkan. Ibu ngerti bisa jadi kalian sebenarnya punya tambatan hati masing-masing, tapi...." Kalimat Yurika tertahan. Ia sungkan melanjutkan. Ia menatap Akram lekat. Air matanya semakin bertambah.
"Bu...."
"Jangan kecewakan kami, Kram. Jangan main-main sama pernikahan. Asli ibu nggak bakal setuju." Yurika mulai terisak. Hatinya kian sesak.
"Bu, Ibu kenapa?" tanya Akram masih belum memahami situasinya. Seharusnya ibunya tidak tahu tentang rasa yang tidak ia tunjukkan selama ini. Seharusnya ibunya menganggap seperti biasa, tidak pernah memedulikan perasaannya.
"Kakak kamu," lirih Yurika.
"Kakak kenapa?"
"Dania kakak kamu." Yurika tergugu. Batinnya tersayat sembilu.
"Ibu, Ibu lagi nggak sehat. Lebih baik Ibu istirahat," ujar Mia berusaha menenangkan hati mertuanya.
Yurika menggeleng. "Nggak, Mia. Ibu harus sampaikan ini pada kalian terutama Akram."
Mia dan Akram saling memandang. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Yurika.
"Sampai kapan pun jangan tinggalkan, Mia. Jangan sakiti hatinya dan jangan sampai kamu menghianatinya, Kram. Ibu mau kamu jaga Mia baik-baik dan buat dia bahagia. Jangan biarkan orangtua Mia merasakan apa yang kami rasakan sekarang."
"Ibu, ibu kenapa? Ada apa sebenarnya?" Akram mulai frustrasi dengan sikap Yurika yang kian tak pasti.
Yurika menggeleng. Ia menyusut air matanya. Sesekali ia terbatuk. Sungguh kabar itu lebih menyakitkan dibandingkan sakit yang ia derita selama ini.
"Kasihan kakak kamu. Kasihan dia." Yurika semakin nelangsa. "Pram, pram...."
"Ibu!" sergah Danu yang tiba-tiba masuk ke kamar. Ia mendekati istrinya.
"Bapak," ucap Mia dan Akram bersamaan.
"Biar Bapak yang cerita ke Akram, Bu. Ibu istirahat," tutur Danu. Sontak hal itu membuat Akram semakin penasaran.
Ada apa sebenarnya?
"Mia," panggil Danu.
"Ya, Pak."
"Bapak minta tolong jaga ibu sebentar, ya. Bapak mau ngobrol dulu sama Akram."
"Baik, Pak."
Akram pun mengikuti langkah ayahnya meninggalkan kamar ibunya. Mereka duduk di kursi ruang tamu. Di luar suasana jalan cukup sepi.
"Gimana kabarmu?"
"Pak," desis Akram. Ia ingin mengetahui segala kebenaran tidak ditanyakan kabar.
Danu menghela napas berat. Ia sendiri tersentak dengan berita yang akan ia sampaikan. Meski sempat menduga, ia tak menyangka akan seperti ini akhirnya.
"Pram selingkuh. Dania mengajukan gugatan."
"Mas Pram?"
Danu mengangguk. Menantu yang paling dibanggakan istrinya dan sangat tenang di keluarga, rupanya mendua.
"Ibumu merasa bersalah. Pram bilang Dania tidak pernah mencintainya karena mereka dijodohkan. Alasan Pram berselingkuh, salah satunya karena itu."
"Kak Dania?"
"Kamu paham, Kram. Kamu tau bagaimana awalnya. Makanya ibu kamu drop ngrasa sudah salah langkah." Akram mengangguk kecil. Ia cukup tahu tentang kisah kakaknya.
"Malka bagiamana, Pak?" Akram teringat akan keponakannya.
"Aman. Dia belum paham, Kram. Dania pandai menyembunyikan semuanya." Akram mengangguk lagi. Ya, kakaknya itu selalu tampak baik-baik saja. Tidak pernah mengeluhkan apa pun pada mereka.
Akram dan Danu terdiam. Keduanya tak bisa berbuat banyak meski menjadi laki-laki di keluarganya. Mereka sama-sama tidak bisa mengalahkan pendapat Yurika.
"Apa pun ucapan ibu nggak usah dipikirin. Ibumu masih sensitif."
"Ya, Pak."
"Kamu belum terlambat. Jangan membohongi diri kalau memang kamu tidak bisa. Kalau kamu mau mempertahankan, jangan sekali-kali menyakiti. Bapak nggak akan memaafkan, Kram." Akram tak berani menatap ayahnya. Ini lebih dari sekadar pesan.
"Laki-laki selain dilihat perbuatannya juga dipegang ucapannya, Kram. Kamu sudah berjanji menjaganya dan berani mengambil hidupnya dari orangtuanya. Jangan sekali-kali menghianatinya. Mia, menurut Bapak sudah yang paling baik dikirimkan allah buat kamu. Jangan sakiti dia," pungkas Danu. Meski berat, ia tetap menyampaikannya.
Akram terdiam. Ia tidak bisa berkomentar. Pikirannya bercabang antara Dania, kabar perselingkuhan Mas Pram dan tentu harapan besar kedua orangtuanya. Kembali batinnya bergejolak. Bagaimana ia harus menyikapi ini semua?