Gadis dengan balutan jilbab syari itu tengah bercengkerama dengan tanaman hiasnya. Tanaman yang memiliki nama sama dengannya. Dulu sang ibu sangat senang dengan aneka bentuk tanaman termasuk tanaman miana. Mia tersenyum sendiri. Melihat tanaman-tanaman di depannya membuatnya teringat akan pemberian nama Miana Agya untuknya. Orangtuanya tidak benar-benar memikirkan. Kebetulan saja perpaduan itu tercipta.
Miana merupakan salah satu jenis tanaman hias dengan perpaduan gradasi warna yang sangat cantik. Jenis tanaman semak dengan tinggi maksimumnya 1,5 meter saja. Berbatang lunak dengan ujung daun yang meruncing dengan tepian rata dan pangkalnya yang tumpul. Selain dikenal dengan tampilan cantik, tanaman miana juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Sebuah jurnal menyebutkan tanaman miana memiliki kandungan minyak astiri, fenol, tannin, lemak, phytosterol, kalsium oksalat. Manfaatnya tanaman miana bisa menurunkan demam hingga beberapa penyakit lainnya.
Mia terus merapikan beberapa pot bunga milik ibunya. Aktivitas yang beberapa hari ini ia lakukan di waktu pagi hingga sang ayah memanggilnya.
“Ya, Pak?” sahut Mia sambil berjalan mendekat ke sumber suara.
“Sini, Nduk,” ujar Agit mengulang panggilannya. Mia mendudukkan diri di kursi santai itu.
“Ada apa, Pak?”
“Kamu nggak lupa sama agenda hari ini, ‘kan?” Agit menurunkan kacamatanya. Ingin melihat langsung putrinya tanpa penghalang.
Mia mengangguk. “Nggak, Pak.”
“Tapi kok belum siap-siap?”
“Masih jam delapan, Pak. Acara jam sebelas, ‘kan?”
“Lah, ibu kamu nggak bilang kita mau ke toko dulu?”
“Toko?”
“Iya. Nanti kita ke toko dulu.” Agit tersenyum simpul. Tampak menyembunyikan sesuatu dari putrinya itu.
“Toko yang mana, Pak?” tanya Mia polis. Seingatnya ada banyak toko milik sang ayah di kabupaten juga kota Magelang. Ia sendiri tidak begitu hapal.
“Hahahaha, iya, kamu nggak tahu, ya. Ya udah, sekarang siap-siap sana,” ujar Agit.
“Nggih, Pak.”
Mia tak terlalu memikirkan ucapan ayahnya. Saat ada waktu libur, sang ayah memang kerap mengajaknya ke toko-toko itu. Ia rasa agenda kali ini pun sama. Mia masuk ke rumah untuk mempersiapkan diri untuk agenda jam sebelas nanti. Bisa dibilang momen yang sudah ia nantikan. Membayangkan saja, Mia tak berani karena ia takut berharap berlebihan pada manusia. Ia hanya ingin memikirkan semuanya kelak jika sudah berada dalam ikatan halal dengan pria yang memang sudah cukup lama mengusik ruang heningnya. Mia menggeleng. Ia sambar handuk di gantungan untuk kemudian membersihkan diri lagi meski subuh tadi sudah melakukannya. Pertemuan kali ini ia akan mencoba tampil lebih sempurna.
***
“Wah, wah, uayuneeeee, anak ibu iki.” Sufi ikut melihat penampilan Mia pada pantulan cermin rias itu. Paras sang putri yang lebih mirip dengannya memang diakui banyak orang akan kecantikannya.
“Ah, apaan sih, Bu,” timpal Mia sambil memegang pipinya. Dipuji seperti itu tidak membuatnya melambung, melainkan gugup tidak jelas. Terlebih ini pertama kali ia sedikit menyapukan make-up pada wajahnya.
Sufi berjalan mendekat. Ia meletakkan kedua telapak tangannya pada pundak sang putri. “Beneran cantik, Nduk. Insyaallah luar dalam, ya,” ujarnya dengan senyum mengembang.
Mia tertunduk malu. Rasanya setiap kali dibilang seperti ini ia merasa tidak pantas. Cantik luar dalam. Harapan terbesar orang tuanya. Perlahan Mia pun mendongak. Menatap kembali pantulan diri pada cermin rias miliknya. Meyakini bahwa acara hari ini akan berjalan sebagai mana yang telah direncanakan sebelumnya.
“Makasih, Bu,” ujarnya.
“Sama-sama, Nduk. Udah siap?” Mia mengangguk mantap. Ia bangkit dari posisi duduknya.
Pukul sembilan lebih lima menit, keluarga Mia bertolak dari rumah mereka menuju sebuah toko yang disebutkan oleh sang ayah sebelumnya. Mia yang belum lama pulang dari pondok pesantren tidak begitu tahu tentang usaha ayahnya itu. Ia memandang keluar lewat kaca mobil. Menyaksikan sendiri bagaimana daerah tempat tinggalnya sudah sangat berubah. Berkembang pesat layaknya kota-kota besar.
“Oke, sudah sampai,” ujar Agit seraya menghentikan mobilnya. Ia memang sengaja tidak meminta bantuan supir, agar mereka bertiga lebih dekat. Ada banyak hal yang perlu mereka bicarakan sepanjang perjalanan hari ini.
Sufi dan Mia bersiap untuk turun. Mereka mengambil barang yang dibawa dari rumah terlebih dahulu sebelum nanti mengikuti langkah Agit yang lebih dulu berjalan ke arah toko.
“Selamat pagi, Pak? Cek barang?” tanya pekerja yang menyambut kedatangan mereka.
“Tidak. Ini anak saya mau lihat tokonya,” jawab Agit ramah. Ia menanti istri dan putrinya.
“Mbak Mia?”
Agit mengangguk. Ia menunjuk putrinya yang sedang berjalan menghampiri mereka. Dari luar tampak sekali keanggunan serta aura yang ditampilkan oleh putri sulungnya itu.
“Lagi pulang dari pondok. Sebentar lagi lulus.”
“Oh, begitu, Pak. Nanti bakal di sini, ya?”
Agit berpikir sejenak. Ia belum yakin Mia akan mau atau tidak. “Kita lihat saja nanti.”
“Assalamualaikum, Mas Rahmat,” sapa Sufi pada pekerjanya. Ia menyerahkan sebuah rantang yang dibawa dari rumah.
“Waalaikumsalam, Bu. Wah apa ini repot-repot, Bu?”
“Buat sama yang lain. Tadi di rumah masak banyak.”
“Wah, makasih, Bu, Pak.” Agit dan Sufi pun mengangguk. Mas Rahmat membawa rantang tadi ke dalam.
Mia cukup tercengang menyaksikan bangunan berlantai dua di depannya. Jika diingat-ingat bangunan itu sebelumnya adalah gudang dari toko milik ayahnya di pasar utama. Namun, tampilannya kini sudah sangat berbeda.
“Ini nggak salah, Pak?” tanya Mia begitu selesai dengan keterkejutannya.
Agit tersenyum sambil menatap Mia dan Sufi secara bergantian. “Tidak. Tidak ada yang salah.”
“Maksudnya beda dari cabang yang lain, Pak?” tanya Mia lagi. Sepehamanannya sang ayah menggeluti usaha pertanian juga toko besi. Bukan seperti yang ada di depannya kini.
“Kata bapak kamu mau coba yang baru. Ganti suasana,” ujar Sufi. Ia sendiri mendukung ide yang dicetuskan suaminya beberapa tahun sebelumnya.
“Bukan buat Mia, ‘kan, Pak?” todong Mia. Sedikit gugup jika kelak harus benar-benar mengelola toko.
“Hahahahaha, kamu pede sekali, Nduk. Ini punya bapak, lah,” kekeh Agit. Ia berusaha menyembunyikan rasa antusiasnya saat Mia berhasil menebak arah pemikirannya dan Sufi. Putri sulungnya itu pernah bercanda tidak ingin menjadi sepertinya yang pandai berwirausaha. Mia berharap bisa memiliki keahlian di bidang lain yang lebih dia sukai. Agit pun mengukir senyum.
“Gimana? Mau lihat-lihat ke dalam?” ajak Agit. Ia tidak ingin Mia memikirkan lebih banyak hal tentang keberlangsungan usaha miliknya.
“Udah jam berapa, Pak? Nanti kita terlambat. Jam sebelas janjiannya,” jawab Sufi. Jelas agenda ke toko baru hanyalah agenda sisipan. Agenda utama mereka adalah pertemuan dengan keluarga dari pihak calon menantunya.
“Oh, iya. Sampai lupa, Bu. Ya sudah Bapak pamit dulu sama Rahmat. Ibu sama Mia ke mobil.”
“Baik, Pak.”
Mia mengamati sekilas toko baru milik ayahnya. Ini benar-benar berbeda dengan yang biasa dilakukan ayahnya. Untuk siapa? Mungkinkah rencana berubah? Dalam hati Mia menyimpan pertanyaan itu sendiri.
“Di pondok tinggal tunggu ujian aja, ‘kan?” tanya Sufi begitu mereka berdua sampai di dalam mobil.
“Iya, Bu.”
“Padahal satu tahun lalu juga udah lulus, ya. Masih betah, aja.”
“Ya gimana, Bu. Mia pikir bakal terus di sana.”
“Sampai akhirnya ada tawaran dari kita?” ledek Sufi. Sebelumnya Mia selalu menolak untuk pulang. Berbagai alasan gadis itu sampaikan.
Mia tersenyum simpul. Mungkinkah sangat terlihat?
“Dari semua yang direkomendasikan bapak kamu, ibu ya paling cocok sama yang ini, kok, Nduk. Ibu nggak begitu kenal, tapi ibu ngerti anaknya kaya apa.”
Mia menoleh. Menyimak penuturan ibunya tentang laki-laki yang akan dikenalkan dengannya nanti.
“Dia itu sering jadi omongan ibu-ibu kalau lagi kumpulan PKK. Katanya alim, solih, ganteng. Cuma ya itu ada sedikit kekurangan. Tapi, menurut Ibu namanya manusia nggak ada yang sempurna. Dari semuanya ibu ngrasa cocok dibandingkan calon-calon yang disodorkan bapak kamu.”
Mia mengangguk kecil. Ia setuju dengan pendapat ibunya. Ia juga paham makna kekurangan yang dimaksudkan orang-orang. Menurutnya tak masalah. Toh ia sendiri juga sama.