Akram berjalan pelan di halaman rumah baru itu. Berusaha menyembunyikan keterkejutan atas hadiah pernikahan yang diberikan mertuanya. Tidak salah lagi. Rumah ini, berada tepat di sebelah kiri rumah Nasha. Artinya, ia harus hidup bertetangga dengan mantannya sendiri. Sebuah hal yang tidak pernah ia harapkan.
“Bagaimana, Kram? Suka?” tanya Agit setelah beberapa menit membiarkan menantunya mengamati sendiri calon rumah baru itu.
“Su--ka, Pak.”
“Cocok sama selera kamu, ‘kan?”
Mia yang lebih dulu masuk ke area dalam pun keluar lagi. “Mia suka, Pak,” sahutnya.
“Bukan kamu, Nduk. Bapak tanya ke Akram.”
“Paling Mas Akram juga suka,” jawab Mia seraya mengukir senyum. Ia tidak peduli seandainya suaminya tak setuju dengan pendapatnya. Mereka hanya perlu terlihat kompak di depan keluarga.
“Gimana?” ulang Agit.
Akram mengangguk kecil. Mau berkata tidak pun tidak mungkin bisa mengubah keputusan mertuanya membelikan rumah ini. Terlebih ia memang akan lebih senang saat tinggal sendiri bersama Mia. Ia tak perlu menjalani pernikahan pura-pura dengan bumbu drama romantis untuk mengelabuhi banyak orang. Ia bisa bebas menjadi Danial Akram.
“Kalau begitu kita lihat ke dalam,” ujar Agit. Di sini Agit menjadi yang paling semangat. Mengingat Agit sendiri yang turun tangan.
“Sudah kabarin Mbak Yurika, Pak?” tanya Sufi. Ia lupa memastikan apakah besannya akan datang.
“Sudah, Bu. Cuma tadi belum dibalas.”
“Kita tunggu dulu apa gimana?” Sufi menilik ke jam dinding. Mereka ada janji lain hari ini.
“Ah, iya, Bapak lupa. Bagaimana baiknya?”
Mia dan Akram tak berani berkomentar. Mereka tidak tahu menahu soal janji itu. Mereka hanya diminta melihat calon rumah baru yang ajaibnya sudah tertata dengan begitu apik. Pantas saja Sufi menyarankan Mia untuk membawa beberapa baju sekalian. Mulai malam nanti mereka sudah bisa tinggal di sini.
“Apa kalian aja yang pulang?” tanya Agit menawarkan solusi.
“Ke rumah saya, Pak?”
“Iya, Kram. Kasih tau keluarga soal rencana syukuran.”
Satu lagi hal yang tidak pernah dibayangkan Akram. Ia berasal dari keluarga yang selalu membuat keputusan sepihak untuknya. Sekarang, harus bertambah karena mertuanya pun sama. Sungguh, hidup yang membosankan.
“Iya, Pak. Nanti biar Mia sama Mas Akram yang ke sana.”
Kembali Mia menjadi juru bicara. Ia menjawab pertanyaan yang bukan untuknya. Akram menatap heran pada perempuan dengan kerudung cukup lebar itu. Apa maksudnya? Ingin menunjukan sikap aslinya?
“Ya. Ide bagus. Mobil nanti biar di sini. Bapak sama ibu pesan grab aja.”
“Setuju, Pak,” timpal Sufi.
Kegiatan selanjutnya diisi dengan home touring di rumah berlantai dua itu. total ada tiga kamar. Satu di lantai bawah untuk tamu dan dua di atas untuk pribadi. Desainnya tergolong modern dan sangat nyaman untuk ditinggali. Ada area khusus membaca dengan beberapa koleksi buku tertata rapi di rak yang unik.
“Biar nggak bosan, Nduk,” ujar Agit seolah tahu isi pikiran putrinya.
“Terima kasih, Pak.”
“Sudah sewajarnya. Dari dulu kamu nggak pernah minta apa-apa. Ini Bapak kasih buat kamu sekarang.”
Mia mengulas senyum. Ya, iIa tak pernah meminta dan membantah. Ia selalu menjadi putri yang baik untuk kedua orangtuanya.
“Nah, ini kamarnya pengantin,” seloroh Agit. Mereka sampai di depan di salah satu kamar di lantai dua itu.
“Kuncinya, Pak?” tanya Sufi.
“Sebentar.” Agit meraba saku celananya. Dari semua area rumah, yang ia minta khusus agar selalu dikunci adalah kamar putrinya. Ia ingin kamar itu menjadi yang paling terjaga.
Akram menghela napas. Sejak tadi sebenarnya pikirannya tidak di sana. Ia lebih tertarik memikirkan tentang Nasha. Setelah pertemuan di terminal. Bagaimana kabarnya? Baik-baik saja atau sebaliknya. Sebelum hari ini kepalanya penuh tentang gadis itu, apa jadinya jika sekarang mereka bertetangga. Lagi, Akram tak sanggup membayangkannya.
“Silakan, Nak,” ujar Agit setelah pintu kamar itu terbuka.
Mia membekam mulutnya. Ini benar-benar berlebihan. Ranjang berukuran king size dengan empat tiang yang dilengkapi kelambu. Meja rias mewah serta satu set meja khusus yang bisa diperuntukan untuk membaca, sofa yang tampak begitu empuk dan televisi sebagai pelengkap. Tak lupa karpet bulu di bawahnya.
“Bagaimana? Suka?” tanya Agit setelah mereka berada di dalam. Pertanyaan yang tadi dilontarkan untuk Akram.
Mia mengangguk kecil. Ia terus berjalan sampai tepat berdiri di depan jendela kaca dengan ukuran besar itu. Pemandangan dari sana cukup menakjubkan. Ia bisa menyaksikan lanscape kota juga beberapa rumah lainnya.
“Terlalu luas,” desis Mia. Jika begini bagaimana caranya ia akan menghabiskan malam, di saat suaminya tak akan mungkin menemani.
Akram memilih melihat ke sisi lain. Sekilas ia mengerti jika kamar ini dilengkapi dengan kamar mandi. Ia lebih tertarik dengan satu set meja yang tergolong unik dan langka. Jarang sebuah kamar pribadi dilengkapi dengan meja itu.
“Oh, nanti ada komputer khusus, Kram,” ungkap Agit. Akram pun menoleh. “Mia suka nggambar. Nanti kalau dia mulai lagi bisa di sana.”
Mia ikut melihat ke arah meja itu. Tersenyum tipis. “Sudah lupa caranya, Pak,” ujar Mia seraya melangkah. Ia sudah lupa cara memegang pena.
“Siapa tahu nanti ingat lagi,” timpal Sufi.
Akram ikut tersenyum. Meski tak paham apa yang dibicarakan. Ia kembali mengedarkan pandangan. Sekadar menghargai usaha mertuanya memberikan kamar pengantin terbaik versi mereka. Akram tak akan mematahkan hati banyak orang. Ia hanya perlu menjadi anak baik seperti biasa. Menurut saja apa yang diperintahkan padanya.
“Bapak tinggal, ya. Berani, ‘kan?”
“Sudah harus berangkat, Pak?”
“Iya, Nduk. Nanti terlambat. Ini janjian di Tegalrejo.”
“Karpet?”
Agit mengangguk. Usahanya dibidang itu memang sedang naik-naiknya. Banyak pesanan dan penawaran kerjasama.
“Nggak apa-apa, ya, Nduk. Nanti kalau misal mau pulang ke rumah tinggal pulang dulu. Yang belum dibawa, dibawa dulu,” imbuh Sufi. Ia tentu yang paling khawatir.
“Iya, Bu. Gampang.”
“Ya udah, nitip Mia, ya, Kram. Nanti bawa mobil aja. Kunci sama STNK di meja bawah.”
“Saya, Pak?”
Agit mengangguk. “Iya. Kamu, Kram.”
“Ya, Pak. Pinjam dulu, ya,” timpal Mia.
“Buat kalian,” seloroh Agit. Mereka beranjak dari kamar pengantin baru itu, kembali ke lantai satu.
Mia mengamati gestur Akram. Sejak pertama datang, pandangan pria itu tak pernah lepas dari rumah di sebelah kiri rumah ini. Tampak sekali bahwa ada sesuatu.
“Mas kenal pemilik rumahnya?”
“Ya?”
Mia menunjuk rumah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Akram. Tidak mungkin jika tidak special.
“Apa?”
“Mau bertamu ke tetangga, Mas?”
Akram mengernyit. Apa maksudnya? Mia tahu tentang Nasha?
“Jadi ke rumahku nggak?” tanya Akram. Tidak mau terlalu memperpanjang obrolan.
“Jadi.”
“Sekarang?”
“Boleh.”
Mia beranjak dari posisinya. Ia harus memastikan rumah baru itu terkunci sebelum pergi. Ada banyak hal yang belum ia ketahui. Perasaan Akram yang tidak mengharapkan pernikahan hanyalah permukaan.