"Pengagum rahasia?" gumam Akram.
Mia tak menanggapi. Ingatannya kembali ke titik awal saat ia merasakan getaran yang susah ia terjemahkan. Getaran yang ia rasakan saat melihat Danial Akram.
"Apa maksudmu, Mia?" tanya Akram penuh penekanan.
Mia terpejam. Ia panggil seluruh keberanian diri untuk mengungkapkan kebenaran. Bisa jadi ada sesuatu yang salah dan memang perlu diluruskan.
"Sekitar enam tahun lalu di gudang sekolah. Insiden kebakaran," tutur Mia. Ia harap Akram mengingatnya.
"Bersama seorang teman, diam-diam aku mengagumi seseorang. Karena waktu itu adalah hari terakhirku di sana, sebuah ide kecil terlintas." Mia tetap menghadap jendela. Tak ingin wajah Akram justru membuat keberaniannya memudar.
"Apa maksudmu? Jelaskan satu per satu."
"Hai, Danial Akram. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Sepertinya iya. Aku, di sini bisa dengan jelas menyaksikan senyum itu setiap kali si kulit bundar ada di kakimu."
Mia menuliskannya. Sehari sebelum kepindahannya. Ia berencana memberikan surat itu secara langsung pada Akram, tapi temannya mencegahnya.
"Sini biar aku bantu," kata temanku waktu itu.
Akram terdiam. Ia ingat kalimat pembuka surat itu. Bahkan, ia sudah sangat sering membacanya. Baginya sangat spesial dan mengesankan.
"Aku kira temanku itu akan menyampaikannya. Memberikan langsung pada siswa laki-laki kelas VII F bernama Danial Akram. Tapi ... sepertinya surat itu tidak pernah sampai."
Mia tahu semuanya. Mia paham bahwa ada kesalahpahaman. Ia mengerti temannya di bangku SMP itu tidak pernah memberikan surat yang ia titipkan.
"Pada rumput yang menjadi teman setia, kau tampak begitu memesona. Pada langit yang menjadi atap, kau tampak begitu baik. Setiap kali kau memulainya semua tersihir. Perpaduan apik yang tersuguh di setiap hari sabtu. Sebuah hal yang menjadi penantianku. Namun ...."
"Cukup!"
Mia menoleh. Akram sepertinya mengingat detail kata-kata yang ia tuliskan. Akram pasti mengerti kelanjutannya.
"Kau tau lanjutannya?" tanya Mia menggantung kalimatnya.
"Bagaimana bisa kamu tau tentang itu?" cecar Akram.
"Masih belum menyadarinya?"
Akram mendongak. Ia amati lagi punggung sebelah kiri Mia. Bekas luka yang. Arrghhh!
"Kau?!" tanya Akram teringat akan suatu hal.
Mia memejamkan mata. Setitik air bening lolos dari sana. Ya, harusnya ia yang mengantarkan langsung surat itu.
"Ya. Aku Miana Agya siswi kelas VII A yang dituduh menyulut api di gudang. Menghanguskan jersei kebanggaan kalian."
Akram membekam mulut. Itu artinya gadis yang sempat menyelamatkan kaos miliknya adalah Mia. Akram pun menggeleng. Tak percaya.
"Bagaimana kabar Nasha? Dia baik-baik saja?" tanya Mia bergetar. Ia tidak mau terlalu lama mengumpulkan keberaniannya.
Akram menggeleng. Tidak, seharusnya sudah tidak ada orang lagi di gudang itu. Nasha bilang semua temannya sudah keluar. Sekarang, ada Mia? Gadis yang memang akhirnya pindah karena alasan tertentu. Gadis itu kini menjadi istrinya.
"Siapa kau sebenarnya? Apa rencanamu?" tanya Akram. Ia masih belum bisa menerima kenyataan.
Mia menghela napas. Rupanya percuma mengais memori dari insiden gudang itu. Tidak mempan untuk suaminya. Mia pun mengulurkan tangan. Berusaha meraih kardigan yang menjuntai di kursi. Mungkin, memang sejak awal semua tidak akan berjalan seperti yang ia harapkan.
Tiba-tiba sebuah usapan terasa di bekas luka itu. Tangan besar merabanya. Mia pun bergeming.
"Namanya bukan Nasha? Tapi Mia?" tanya Akram nyaris tak terdengar. Ia terdistraksi dengan bekas luka di depannya. Mia mengangguk kecil.
"Yang menyelamatkanku dan kaos bola itu bukan gadis idola angkatan kita? Tapi gadis yang pindah sekolah itu?" tanya Akram penuh penyesalan.
Bagaimana bisa ia tak tahu?
Mia mengangguk lagi.
Akram terdiam. Selama ini ia tertipu dengan fakta-fakta yang sengaja di belokkan. Ia tak pernah tahu detail peristiwa yang nyaris menghilangkan nyawa mereka bertiga. Ia terlalu menutup mata.
Usapan tangan Akram terhenti saat Mia menegakkan kembali punggungnya. Ia tak jadi mengambil kardigan itu.
"Kenapa diam saja? Kenapa tidak membela diri?" tanya Akram. Harusnya gadis itu punya kesempatan menyangkal.
Mia menggeleng kecil. "Tak sempat karena keluargaku langsung membawaku ke rumah sakit. Merawat luka ini."
"Kenapa tidak kembali dan melakukan klarifikasi? Kenapa diam saja?" tanya Akram lagi. Ia sedikit geram dengan sikap Mia waktu masih duduk di bangku SMP. Disalahkan. Dimaki dan mendapat luka seperti ini. Terlalu bodoh.
"Sejak awal aku memang akan pindah. Kata ayahku tidak perlu menjelaskan pada orang-orang yang tak mau mendengar penjelasan kita." Mia ingat bagaimana orang-orang menyalahkan atas insiden itu.
Akram semakin terdiam. Ia sendiri termasuk golongan yang langsung menerima berita itu mentah-mentah. Tak pernah berpikir ada korban lain. Akram mengutuk dirinya sendiri. Ia jatuh cinta pada surat itu, pada puisi itu dan pada gadis yang menyelamatkannya. Ia kira sang gadis adalah Nasha Tahirah yang ia kencani hampir selama 6 tahun. Namun, ternyata jauh berbeda.
Mia tak berkomentar. Ia biarkan tangan Akram setia di punggungnya. Ia sendiri keliru. Tidak pernah muncul sampai waktu yang cukup lama. Seandainya, ayahnya tidak mengatur perjodohan bisa saja takdir itu tak akan pernah bertaut.
Ting ... tong! Ting ... tong!
Bel kamar inap mereka berbunyi. Mengaburkan konsentrasi Mia dan Akram. Sontak Akram bergeser.
"Permisi! Layanan antar!" seru seseorang dari luar.
Akram menghela napas berat. Jelas semuanya masih perlu penjelasan lebih lanjut. Namun, tidak mungkin untuk saat ini. Akram mengalihkan pandangan. Bekas luka itu tampak mengerikan. Bertolak belakang dengan sisi lain punggung Mia yang halus dan bersih seperti s**u.
"Pakai pakaianmu. Kita makan dulu," ujar Akram. Ia teringat gadis di depannya mengeluhkan soal lapar.
Mia tak menjawab. Ia biarkan Akram meninggalkannya. Tubuhnya pun luruh ke lantai. Sungguh, ia terlalu berani untuk mengungkapkannya. Dorongan dari dalam diri semakin menjadi saat mendapati pesan singkat dari seseorang, sakaligus mendapat penolakan dari Akram. Ia memang harus melakukannya.
***
[Akram tak sebaik yang kamu kira. Jangan percaya. Dia tak sesuci itu.]
Mia tak tahu itu nomor siapa. Ia hanya membacanya tanpa berani membalasnya.
[Seperti remaja pada umumnya. Hubungan kami terbilang cukup jauh. Sekadar b******u seperti orang dewasa, kami sudah biasa.]
Mia beristighfar. Apa maksudnya? Sengaja membuat perkara?
[Aku tau kamu membacanya, Mia. Tanpa kuperkenalkan kamu juga tau siapa aku. Terakhir kali aku dan Akram masih bertemu. Saling mencecap rasa manis di bibir dan kami berpisah. Aku tak bisa terus-terusan menyakitimu.]
Mia menghela napas. Nasha yang menghubunginya. Mia sama sekali tidak tertarik menghubungi temannya itu sejak peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya.
[Tolong jangan ungkapkan fakta tentang kita. Aku janji tidak akan lagi menemui Akram. Kami sudah putus meski yang kami jalani sudah cukup jauh.]
Mia memejamkan mata. Ia visualisasikan apa yang disampaikan Nasha lewat pesan ke dalam bayangan. Sudah terlalu jauh, sudah melakukan banyak hal. Apa artinya? Mia menggeleng. Tidak, tidak sekeji itu.
Tangan Mia perlahan menelusuri layar. Ia beranikan diri mengetuk abjad yang ada. Merangkai sebuah kata.
[Ya.]
Mia mematikan ponsel begitu sampai di Villa. Bukan hanya karena ingin mengoptimalkan waktu bersama suaminya. Ia memang menghindari pesan teror yang sudah dua hari terus masuk ke ponselnya. Ia tahu itu Nasha dan ia sangat tidak nyaman. Sekarang, ia hanya perlu menunggu bagaimana sikap Akram nanti. Jika memang tak ada perubahan maka biar menjadi urusan tuhan.
****
Antara kita terbentang jarak yang tak semestinya. Sejak pertama jumpa hingga berada dalam satu bahtera. Antara kita terjalin ikatan yang mengharuskan untuk bertahan. Meski setiap detik kebersamaan tak menghadirkan kedamaian.
Indrayanti, 12 Desember 2021
Miana Agya.