Berbeda dengan yang Mia pikirkan. Tak ada obrolan pembahasan tentang rencana pernikahannya dengan laki-laki bernama Danial Akram. Sepanjang pertemuan kedua keluarga hanya menceritakan akan kesibukan masing-masing. Mia yang jelas tak bisa memulai obrolan lebih dulu hanya bisa menimpali dengan senyum jika sesekali obrolan itu mengalir membahas tentang dirinya.
“Jadi gini Mbak Yurika dan Mas Danu, anak saya ini masih harus balik ke pondok satu bulan lagi. Masih ada ujian katanya di sana. Nah, saya cenderung menyarankan untuk rencana kita ditunda dulu setelah Mia kembali.”
Sontak Mia melihat ke arah ayahnya.
“Bukannya menunda hal baik, saya lebih senang kalau proses daripada kenalan antara Mia dan Akram ini tidak terlalu lama. Maksudnya hari ini misal ada khitbah, minggu depan langsung nikah. Jarak satu bulan bagi saya kok kelamaan,” ucap Agit. Mereka sudah selesai dengan semua menu yang disajikan.
“Oh, begitu, Pak? Saya kira Mbak Mia ini sudah selesai dari pondoknya. Makanya saya adakan acara hari ini. Ya, seenggaknya buat ketemu sama kenal dulu.”
Agit mengangguk. Ucapan Yurika ada benarnya. Kalau belum kenal sama sekali, pasti Mia dan Akram tidak akan nyaman. “Gimana, Nduk? Mau kenalan?”
“Bagaimana, Pak?” tanya Mia gugup. Sejak tadi ia memang tidak bicara. Begitu juga dengan Akram yang justru sibuk bersama Malka—keponakannya.
“Ya itu tadi. Sekarang kenalan dulu. Khitbahnya tunggu kamu balik satu bulan lagi.”
“Iya, Nduk. Biar kamu juga bisa fokus ujiannya. Gimana?” tanya Sufi menambahkan. Sufi meski tidak terlalu mengerti tentang rencana yang disusun Agit dan Yurika menganggap ide tadi tidak terlalu buruk. Setidaknya Mia tidak terbebani dengan status sebagai calon suami orang.
Mia mengangguk lemah. “Saya nurut bagaimana baiknya menurut bapak saja.”
“Nah, sudah jelas sekarang Mbak Yurika. Mia oke saja dengan saran saya.”
“Gimana, Kram?” tanya Yurika pada putranya.
“Bagaimana baiknya menurut ibu saja,” jawab Akram nyaris sama dengan Mia.
Yurika pun tergelak. Akram dan Mia sangat menggemaskan di matanya. Sama-sama penurut dan pastinya akan sangat cocok jika nanti menjadi pasangan suami istri. Acara ramah tamah dua keluarga ini berakhir dengan kesepakatan yang akan diadakan nanti setelah Mia selesai melakukan ujian di pondok. Tak ada saran dan masukan lagi dari anggota keluarga yang lain. Keputusan Agit dan Yurika adalah keputusan yang otomatis menjadi keputusan dua keluarga.
***
Akram tak mau ambil pusing. Lepas pertemuan itu ia merasa terselamatkan karena masih memiliki waktu satu bulan lagi sebelum acara lamaran digelar. Berbeda dengan yang ada dalam pikirannya sebelumnya.
“Yakin nggak mau pulang dulu?” tanya Dania saat Akram bilang akan langsung ke Betamart.
“Nggak, Kak. Udah bawa ganti juga.”
“Wah, sengaja betul ini. Pasti bagian dari menghindar, ya,” timpal Danu.
Akram menggeleng. Ia tidak bermaksud begitu. Kebetulan saja acara makan-makan tadi selesai lebih cepat. Ia bisa langsung bekerja tanpa harus berdiskusi dulu dengan ibunya di rumah. Bagian dari hal yang selalu sulit ia lakukan.
“Makasih, Pak,” ujar Akram saat Danu memberhentikan mobil di depan rumah Rios.
“Nanti pulang gimana?” tanya Danu mengkhawatirkan putranya.
“Gampang, Pak. Ini daripada Akram telat.” Akram sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Mengulurkan tangan pada ibunya.
“Hati-hati,” ucap Yurika. Ia selalu tidak senang Akram bekerja. Baginya lebih baik Akram mengambil pekerjaan yang tidak melibatkan aktivitas fisik terlalu banyak.
“Ya, Bu.”
Akram beralih menyalami ayah dan kakaknya. Tak lupa Malka—keponakannya. Hari ini ia seperti terselamatkan dari sebuah hukuman mengerikan. Gegas Akram turun dari mobil itu. Menutup pintunya dan melambaikan tangan.
“Nggak salah lihat gue?!” sentak Rios begitu membuka pintu rumahnya.
Akram menggeleng. “Aku masuk, ya.”
“Ini serius kamu, Kram?”
“Ya iya. Masa aku hantu Akram.”
“Maksudnya datang ke rumahku sebelum bekerja?” Rios menilik ponselnya. Masih pukul dua lebih lima belas menit. Mereka jatah shift malam padahal.
“Aku jelasin di dalam,” tukas Akram sambil melangkah masuk. Ia tak mau terlalu lama berada di luar.
Rumah Rios tak terlalu besar. Tipe tiga puluh dua layaknya perumahan subsidi pada umumnya. Keluarga Rios bukan asli kota Magelang. Mereka perantauan dan bertahan hidup di sana. Bisa memiliki hunian seperti ini sudah lumayan cukup bagi mereka.
“Nak Akram?” sapa Rusti—ibunya Rios.
“Ya, Bu. Assalamualaikum,” ucap Akram sambil menyalami Bu Rusti.
“Waalaikumsalam. Gimana kabarnya Nak Akram? Sudah lama ya, nggak main ke sini?”
“Alhamdulillah baik, Bu. Ibu dan keluarga bagaimana?”
“Ya gini, Kram. Ibu masih nggak bisa jalan. Tetep aja di kursi roda.” Rusti menunjuk kedua kakinya. Akram tersenyum canggung. Maksud hati bukan seperti itu tetapi Bu Rusti menimpalinya demikian.
“Masuk dulu ya, Bu.” Akram mengikuti pergerakan mata Rios yang memintanya untuk segera masuk ke dalam kamar.
Memiliki tempat persembunyian di saat kita ingin menghilang sangatlah melegakan. Akram merasa rumah Rios selalu bisa menjadi alternatif tempat untuknya menenangkan diri. Tak hanya satu kali, ada beberapa fase dalam hidupnya di mana ia akan berlama-lama berada di kamar Rios sekadar untuk melamun atau memikirkan banyak hal. Hari ini sama seperti hari-hari yang sudah berlalu. Akram merabahkan badannya tanpa perlu dipersilakan.
“Apa lagi ini, apa lagi?” tanya Rios sambil menggelengkan kepala. Lucu sekaligus aneh kalau sahabatnya sudah bersikap seperti itu.
“Gue putus, Yos,” lirih Akram.
“Segunung gugur?! Putus?!”
Akram mengangguk. Mau apalagi definisinya jika bukan putus. Nasha bahkan tak menghubunginya lagi setelah sore di kafe itu. Tak ada sapa seperti biasa.
“Gue yang akhirnya ngakhirin.”
“Demi apa, Kram? Lo bilang mau ngumpulin duit buat mahar, kok, malah putus?”
Akram menyingkirkan lengannya yang menjadi tutup mata. Perlahan mulai bangkit dari posisi rebahnya.
“Gue nggak cocok sama dia.”
“Setelah hampir enam tahun lo bilang nggak cocok, Kram? Gundulmu?”
Akram mengangguk. Ia rasa memang mereka tidak cocok. Apalagi alasannya kalau bukan itu.
“Yang bener, Kram. Kenapa emangnya putus? Beneran kamu yang mutusin? Habis seleksi kemarin?” Rios masih tak percaya. Tidak mungkin Akram melepas Nasha begitu saja.
Akram mengangguk lagi. Ia yang memaksa Nasha untuk sampai pada kesimpulan bahwa hubungan mereka tak bisa lagi dilanjutkan. Ia yang menggiring opini ke sana sebelum Nasha benar-benar mengungkapkan isi hati perihal hubungan mereka kini.
Rios menggeleng. Ia seribu persen menyangkal penuturan Akram. Rios gegas mengambil gawai yang terletak di atas meja belajarnya. Membuka akun media sosial miliknya.
“Nih, apa namanya, Kram?”
Setelah hampir beberapa bulan menyimpannya sendiri. Rios terpaksa menunjukkan pada sahabatnya. Akram terdiam. Rupanya selama ini ia sangat bodoh menjadi seorang laki-laki.
“Bukannya mau nambahin sakit kamu, Kram. Story ini nggak sengaja aku screen capture waktu Nasha main IG. Beneran ini dia bikin sama cowok lain di saat statusnya jelas-jelas masih jadi pacar kamu. Jangan ngrasa kalau kamu yang paling salah, Kram. Emang dia yang nyleweng sejak awal.”
Akram tak mampu berkata-kata. Pria dalam story tersebut tak lain tak bukan adalah Hilmi—putra pemilik Betamart yang kemarin bersama Nasha di kafe Antara Kata. Rupanya memang sejak awal mereka sudah dekat bahkan saat Nasha masih menjadi kekasihnya. Akram terdiam. Ia kini menyadari bahwa sekeras apa pun dipertahankan jika tuhan tak menggariskan jalan bagi mereka, tetap berakhir juga. Danial Akram merasakan betul artinya patah hati terhebat yang ia alami.