Bel di rumah itu berbunyi. Menyentak Akram yang sedang termenung. Ia yang memang berada lebih dekat dengan pintu utama melangkah keluar.
“Surprise!!!” seru Delia yang sudah berada di depan Akram.
“Kakak?”
“Hello penganti baru? Gimana nih, kabarnya?”
Akram melongok keluar. Mencari tahu dengan siapa kakaknya datang.
“Apaan sih,” ujar Delia.
“Kakak sendirian?”
Delia mengangguk. Ia memang sengaja datang seorang diri.
“Siapa, Mas?” tanya Mia yang rupanya juga turun ke lantai satu memastikan siapa yang datang.
“Kakak, Mia!” seru Delia. Ia lebih semangat saat melihat adik iparnya.
“Kak Delia,” ujar Mia seraya berjalan. Segera menyalami kakak iparnya tanpa memerhatikan Akram.
“Gini nih, kalau adek. Nggak kaya kamu, Kram. Nggak salim babar blas,” keluh Delia.
Akram membelalak. Jelas-jelas tadi ia berniat menyalami tapi kakaknya terlalu heboh.
“Mari masuk, Kak. Sendirian?”
“Iya, Mia. Sendirian aja ini,” jawab Delia sambil masuk ke dalam rumah adiknya. Akram menggeleng. Ia yang menjadi penjaga pintu menutupnya. Kemudian ikut bergabung menuju ruang tamu.
“Bagus amat rumahnya? Ini hadiah, Kram?” tanya Delia takjub.
Akram enggan menanggapi. Hal-hal seperti ini yang membuatnya nyaman. Bukan hasil jerih payah sendiri.
“Dari bapak sama ibu, Kak,” jawab Mia mewakili suaminya.
“Oh, pantes bagus banget. Bersyukur kamu, Kram,” ujar Delia. Ia menepuk paha adiknya.
“Apaan, Kak. Sakit,” protes Akram.
“Mau Mia buatin minum apa, Kak?”
“Eh, repot aja, Mia. Nggak juga nggak apa-apa. Biasanya rumah baru belum lengkap kan, ya. Nggak usah repot.”
Mia tersenyum. Pemikiran Delia sangatlah wajar. “Ada, Mbak.”
“Wah? Udah lengkap?”
Mia mengangguk. “Alhamdulillah, Mbak. Ya sudah Mia bautkan dulu, ya.”
Delia mengangguk.
Setelah Mia ke dapur, Delia menarik tangan Akram. “Heh, kok nggak bilang rumahnya nyaman gini?”
“Apaan sih, Kak.”
“Kamu sewot banget, Kram. Dari kemarin gitu terus. Ditelpon juga. Nggak dapat jatah pow?”
Sontak Akram melotot. Kakaknya tidak pernah tahu tempat.
“Maaf, maaf. Kakak serius ini tanyanya. Ibu juga belum tau?”
“Harusnya udah. Mana mungkin nggak tau.” Akram enggan memikirkan banyak hal. Tak nyaman dengan keadaannya sekarang.
Delia mengamati sekilas wajah adiknya. Tampak jelas perubahan itu dari pertama menjelang akad sampai sekarang. Adiknya sungguh berbeda.
“Udah, Kram. Ikhlasin, aja. Nasha juga bakal bahagia, kok.”
Akram menoleh. “Namanya putus ya putus aja, Kram. Udah relain aja. Jodoh terbaik kamu ya, Mia.”
Akram mendesah. Hati nuraninya tak meneladani itu. Ia tak sepakat dengan ide besar keluarganya sejak pertama.
“Kakak nggak ngeh, ya?”
“Ngeh? Ngeh apa?”
“Rumah sebelah kiri.”
“Sebelah kiri?”
“Iya. Sebelah kiri rumah ini. Kakak nggak tau?”
Delia menggeleng. Ia mana paham daerah sini. Jarang berkunjung juga. “Enggak.”
“Ya udah,” ujar Akram malas.
“Heh!” satu pukulan mendarat di lengan Akram.
“Sakit, Kak Del!” teriak Akram.
Mia yang tengah mengantar minuman menuju ruang tamu sedikit tersentak. Beruntung tak sampai tumpah teh hangat yang ia seduh.
“Wah beneran dibuatin sama adik ipar,” ujar Delia.
Mia berjalan dengan penuh hati-hati. Ini kali pertama ia menerima tamu dan menjadi tuan rumah. Biasanya hanya membantu.
“Nggak, Kak Del, sudah ada,” jawab Mia sambil menata minuman itu di atas meja. Mendekatkan pada suaminya dan juga kakak iparnya.
“Ni, loh, Kram. Istri dah baik gini kok mukamu cemberut mulu. Nggak bersyukur. Galak ya, Mia, dia?”
Mia tersenyum kecil. Galak? Mungkinkah?
“Iya, Kak. Galak banget.”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”
Sontak Akram pun menumpahkan minuman yang sudah akan ia teguk.
“Wah, parah kamu, Kram,” ucap Delia sambil menggeleng. Tak lupa melirik Mia. Tampak gadis itu tersenyum kecil. Manis sekali.
“Kapan aku galak?” tanya Akram. Ia telanjur melakukan kesalahan.
“Ini,” ujar Mia mengangsurkan tisu.
“Wah, wah, galak beneran ya, Mia. Kakak nggak pernah tau lo sisi lain dari dia,” seloroh Delia. Puas sekali meledek adiknya.
Mia kian ingin tertawa namun ditahan demi menghargai suaminya.
“Nggak apa-apa, Mia. Ketawa aja.”
Tanpa disuruh lagi, Mia mengekspresikan diri. Tetap dengan menutup mulutnya karena perempuan tak baik tertawa begitu keras. Akram mendengkus kesal. Hari ini nasibnya cukup sial.
“Nah, kalian kan lagi free banget, nih. Belum ada kerjaan juga, kan?” tanya Delia setelah tawa Mia mereda.
“Belum, Kak. Kebetulan Mia belum nyari.”
“Kalau kamu, Kram?”
“Tau sendiri kan, Kak, sekarang pengangguran.”
“Duh, miris. Kok kamu mau Mia sama pengangguran gini?” ledek Delia.
“Itu juga karena ....” Kalimat Akram tertahan. Ia tak perlu meneruskan.
“Nah karena sama-sama belum ada kerjaan, nih, gimana kalau ikut, Kakak?”
Mia dan Akram menoleh bersamaan. “Ikut?”
Delia mengangguk. “Iya. Kebetulan Kakak ada pameran di jogja.”
“Pameran?” tanya Akram. Sejak kapan Delia mengurus hal semacam itu?
“Mas Valga, Kram,” ralat Delia.
“Oh, Mas Valga. Kayaknya kalau kakak kan nggak mungkin ya?”
“Heh anak bawang! Enak aja bilang nggak mungkin.”
Lagi pertikaian dua saudara itu dimulai. Tak pelak membuat Mia kembali tertawa. Atmosfir di rumah itu juga terasa berbeda. Tak lagi sunyi seperti sebelumnya.
“Kebetulan lagi timnya Mas Valga lagi pada ijin. Daripada nyari orang baru susah, gimana kalau kalian ikut?”
“Mia mau, Kak.” Gadis itu tampak antusias.
“Sip. Emang adek terbaik. Kamu, Kram?”
“Emang kapan pamerannya?”
“Ntar malem.”
Mata Akram membulat. “Entar malem?”
Delia mengangguk. “Iya. Deal, ya? Habis ini berangkat.”
“Baik, Kak. Nanti Mia pamit sama bapak ibu lewat telepon aja. Kalau Mas Akram mau, Mia bersedia.”
Delia mendekat. Ia mencubit pipi Mia. “Ih, adekku nggemesin,” ujarnya.
Sementara Akram begidig ngeri. Apa maksudnya?
“Cus kalian siap-siap. Ntar pamit ke rumah ibu dulu.”
“Ibu?”
“Iya. Kamu kok jadi lodingan banget, Kram. Duh pesona Mia menyilaukan duniamu, ya?”
Akram tak menjawab. Sungguh kedatangan kakaknya adalah malapetaka.
***
Dania dan Malka sudah berada di rumah Yurika. Tanpa Pram yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Begitu sampai, Dania langsung menjelaskan pada ibunya tentang rencana pemberian hadiah untuk Akram dan Mia. Semua memang berawal dari saran Danang, bermula dari kecemasannya juga. Ia takut Akram sama seperti dirinya, yang tak bisa melupakan cintanya.
“Tapi Delia udah ngurus semua?” tanya Yurika. Ia takut ada kekeliruan.
“Sudah, Bu. Kebetulan Valga juga lagi ada pameran.”
“Di mana?”
“Tempatnya Dania kurang paham. Nanti tanya langsung aja. Tapi Ibu jangan kelihatan kalau udah tau rencananya.”
“Iya, iya, mudeng.”
Yurika mengukir senyum. Ia senang bukan kepalang. Dulu, Dania dan Delia bahkan menentang rencananya. Namun, sekarang mereka berbalik mendukungnya. Keputusan menjodohkan Mia dengan Akram memang sebuah hal yang tepat.
“Assalamualaikum ....” Suara lembut Mia menyusup masuk ke rumah itu. Ini kali pertama menantu perempuan di keluarga itu datang.
“Waalaikumsalam!” seru Dania dan Yurika hampir bersamaan. Mata keduanya berbinar.
“Ayo, Bu, kita sambut dulu.” Dania bersiap berdiri.
“Ayo, ayo, Dan.” Yurika dengan semangat berjalan menuju depan. Menyambut kedatangan menantu kesayangan juga rencana besar yang sedang diagendakan.