“Pak Agit dan Ibu Sufi, kedatangan kami satu keluarga yang pertama adalah untuk silaturahmi. Yang kedua kami memiliki niatan baik untuk meminang putri Pak Agit dan Bu Sufi yang bernama Miana Agya sebagai calon istri keponakan saya Danial Akram.” Pram yang menjadi perwakilan keluarga mengawali niat baik keluarga Danu dan Yurika.
“Sekiranya Pak Agit dan Bu Sufi berkenan menerima lamaran ini mengingat sebelumnya sudah ada komunikasi yang baik antara dua keluarga. Sesuai dengan kesepakatan juga bahwa jika keluarga Pak Agit dan Bu Sufi menerimanya maka pernikahan akan langsung dilaksanakan minggu depan.”
Pram adalah menantu kebanggaan Yurika. Selain menjadi salah satu pegawai negri di bidang pemerintahan, Pram juga yang paling bisa diandalkan untuk urusan seperti ini. Yurika paham bahwa suaminya, tak begitu pandai melakukannya.
“Baik, terima kasih untuk kesempatannya. Pada hari yang baik ini saya tidak akan menjawab pertenyaan dari Mas Pram tadi. Saya merasa bahwa keputusan menerima atau menolak adalah mutlak hak putri saya. Mia ...,” panggil Agit. Ia menatap putrinya yang duduk di sebelah istrinya. Mengenakan balutan gamis syar’i dengan jilbab motif bunga yang memesona.
“Ya, Pak?”
“Bagaimana? Apa kamu mau terima lamaran dari pria bernama Danial Akram?” tanya Agit memastikan. Ia paham putrinya sangat penurut tapi ia tetap akan memberikan Mia menyuarakan pendapatnya.
Perlahan Mia mengangguk. “Mau, Pak.”
“Alhamdulillah. Itu artinya lamaran dari keluarga Mas Akram bisa saya terima Mas Pram.” Agit tersenyum lebar. Bisa dibilang semua yang datang merasakan kebahagiaan sama seperti Agit. Akhirnya rencana yang memang sudah dicanangkan cukup lama bisa terealisasi hari ini. Semua orang menyambut antusias saat rangkaian acara itu ditutup dengan doa.
Namun, tidak untuk Danial Akram. Ia tetap menengadahkan tangan. Tetap mengaminkan setiap lafadz yang disebutkan. Akan tetapi hatinya merintih pedih. Sejatinya tidak seperti ini yang ia kehendaki. Wajah Nasha bahkan masih bertahta di pandangan matanya setelah pertemuan mereka di area parkir sebuah toko. Kenangan akan kebersamaan dengan gadis tak berjilbab itu masih terus terngiang. Mulai hari ini, ia harus mengganti dengan seseorang yang belum ia kenal.
“Baik bapak, Ibu, mari menikmati hidangan seadanya yang sudah disiapkan istri saya. Bisa sekalian berjalan-jalan ke area taman samping.” Agit pandai membawa diri. Ia tak kalah ramah sebagai tuan rumah. Disamping Sufi yang sejak tadi memang sudah melakukannya.
Beberapa tamu mulai meninggalkan area untuk lamaran menuju tempat yang disebutkan Agit. Sementara Akram masih terdiam. Ia sekadar beranjak dari kursi itu rasanya sangat malas.
“Ayo, Kram!” seru Delia yang paham gerak gerik tak nyaman adiknya.
“Kemana, Kak?”
“Nggak mau nyapa calon istri kamu? Seminggu lagi nikah, lho,” ujar Delia. Ia mengerti sejak tadi Mia sudah menunggu untuk didatangi. Gadis itu duduk di area televisi bermain bersama Malka yang dijaga Dania.
“Harus ya, Kak?”
“Kamu nggak sembarangan ya, Kram. Mentang-mentang baru putus.”
Akram terlonjak. Semua anggota keluarganya tahu akan berita itu. “Nggak usah kaget. Ibu juga paham, Kram. Makanya sekarang tunjukin kalau berita itu nggak bener.”
Akram terlolong. Ia menyapukan pandangan. Mencari keberadaan sang ibu. Rupanya sedang bercengkrama dengan Bu Sufi dan ibu-ibu yang lainnya. Akram meraup wajahnya kasar. Sunggguh malang nasibnya saat harus menuruti apa kata orang lain yang bertolak belakang dengan nuraninya sendiri.
“Temenin, ya, Kak. Biar nggak garing.” Akram pun berdiri.
Delia terkekeh. Adiknya menjadi sangat aneh. “Wani piro?”
***
Bisa dibilang ini pertama kalinya Mia dekat dengan laki-laki. Ia yang memang sangat tertutup dan lebih suka menyendiri, hampir tidak pernah berkenalan dengan lawan jenis. Yang ia paham hanyalah ayahnya, kakak sepupunya yang jauh dan adik laki-lakinya yang seumuran Malka. Sejak tadi saat rombongan keluarga Akram datang, hatinya sudah tak keruan. Ia merasakan betul bagaimana kupu-kupu mengaduk perutnya. Namun, ia tak berani menyimpulkan perasaan itu. Mia terus menahan diri untuk tidak menyapa dulu sampai akhirnya pria itu mendekatinya.
“Hai,” sapa Akram canggung, aneh, dan kaku.
“Assalamualaikum,” ujar Mia. Ia lebih nyaman dengan ucapan salam dibandingkan Hai dan lambaian tangan.
Akram terbatuk. Ia mengutuk dalam hati Akram mengutuk perbuatan kakaknya yang justru meninggalkan ia bersama Mia dan Malka. Bagaimana ia bisa memulainya?
“Waalaikumsalam. Udah selesai ujiannya?”
“Alhamdulillah sudah. Makanya sudah balik.”
“Oh. Terus nggak balik lagi?”
Akram serasa ingin mengutuk dirinya sendiri. Pertanyaan macam apa yang baru saja ia lontarkan. Mia sudah memberi keterangan sebelumnya. Sungguh ia dibuat kacau dengan pertemuan settingan ini.
“Insyaallah tidak. Kalau sesuai rencana nanti kan jadi istri orang, jadi ikut suami saja.”
Di luar dugaan Akram. Jawaban Mia membuatnya tak hanya tercengang tapi terlolong begitu saja.
“Eh, Malka mau ke mana?” tanya Mia saat bocah laki-laki itu menarik tangannya.
“Nyari ibu,” sambar Malka. Sebenarnya ia malas ada Akram di sana karena Mia lebih membuatnya senang.
“Sini aja, Ka. Sama Om, lah,” timpal Akram. Ia mulai salah tingkah.
“Ngggakkkkkkk!!!” Malka membuang muka. Sontak membuat Akram terpinga.
“Ayo, ayo, ayo!” ujar Malka kembali menarik tangan Mia.
“Ya sudah ayo kita cari ibu Malka,” jawab Mia. Ia pun berdiri. Mengangguk kecil pada Akram untuk kemudian berjalan meninggalkan pria itu sendirian.
Akram masih tak bisa berpikir jernih. Bahkan Malka jauh lebih memilih gadis itu dibandingkan dirinya. Kemudian saat menjawab pertanyaan tadi Mia tampak lebih tenang dan berani dibandingkan saat pertemuan mereka di depan Betamart. Apa karena sudah ada tanggal pernikahan? Akram menggeleng. Ia tidak boleh semudah itu membuka diri. Ia tetap harus membuat tembok tinggi mengingat mereka belum mengenal sama sekali.
“Loh, Om akramnya mana?” tanya Delia begitu melihat Mia menggendong Malka.
“Di sana, Kak. Masih di depan tv.”
“Malka nyari ibunya?”
Mia mengangguk. Malka memang mencari Dania. “Iya, Kak. Laper mungkin.”
“Duh, Malka nggak pengertian sekali. Kan Om, Tantenya lagi mau pedekate malah dipisahin.” Delia selalu seperti itu. Ia yang paling ceplas-ceplos saat berbicara. Berbeda dengan Dania dan Akram.
Mia pun tersipu. Sungguh lucu berada dalam fase semacam ini. Pipinya memerah juga rasanya panas tak jelas. “Bisa aja, Kak.”
“Akram itu sama kaya kamu. Harus ditabuh baru bunyi. Kalau nggak, ya nggak bakal ada suara.” Mia menyimak kalimat calon kakak iparnya. Ia memang belum tahu banyak tentang calon suaminya. Momen seperti ini bisa ia manfaatkan. “Akram kategorinya pemalu, Mia. Kamu sabar, sabar aja ntar ndeketinnya.”
“He, iya, Kak,” ucap Mia canggung. Tak biasa membicarakan laki-laki.
Delia tampak berjinjit. Ia bisa melihat Akram sedang fokus dengan ponsel di ruang televisi. Ia yakini Akram masih terus berhubungan dengan mantannya.
“Dah, sana Mia samperin lagi Akramnya. Masa mau nikah diem-dieman ntar,” bisik Delia.
Mia pun tersenyum sambil menggeleng. Delia sudah berlebihan. Ia menyerahkan Malka padanya untuk kemudian undur diri ke belakang. Gegas gadis itu menuju toilet untuk sekadar menenangkan diri.
***