Bab 16 : Berbelok Arah

1100 Kata
Waktu melesat cepat. Pasca pemandangan tak mengenakan yang ia saksikan di depan rumah Nasha, Akram memilih meredam semua rasa penasarannya. Ia tak lagi ingin tahu tentang perempuan itu meski sang mantan sedang pulang. Apa yang sudah selesai ya selesai saja lah. Begitu pikirnya. Minggu ini Akram mendapat jatah libur tepat di hari sabtu. Sesuatu yang biasanya sangat ia syukuri karena akan ia habiskan bersama Nasha. Sayang kali ini, tidak lagi mengingat mereka tak lagi bersama. Akram merapikan tempat tidurnya juga area kamar dan ruang lain di rumahnya. Kebiasaan yang memang sudah melekat padanya sejak kecil. “Libur, Kram?” tanya sang ayah begitu menyadari putranya mulai bersih-bersih. “Iya, Pak. Bapak juga?” Danu menggeleng. Ia menyeruput kopi hitam buatan Yurika lalu berkata, “Hari ini masuk. Ada rapat sama pak kades.” “Rapatnya sabtu, Pak?” “Iya. Tumbenan banget ini.” “Siapa yang rapat?” sambar Yurika. “Bapak.” “Kapan?” “Nanti siang, Bu.” “Oh, beneran?” Danu mengangguk. Sejak kapan ia tidak bersungguh-sungguh terhadap info yang ia berikah untuk Yurika. “Bagus kalau begitu. Nanti ibu biar diantar Akram saja.” Danu terdiam sejenak. Ia bahkan lupa akan janji mengantar istrinya hari ini. “Nggak apa-apa, Pak. Malah bagus ada alasan kenapa justru Akram yang datang,” ujar Yurika senang. Aneh rasanya saat belum resmi melamar tapi putranya sudah harus jalan-jalan ke sana. “Beneran, Bu?” Yurika mengangguk. Ide bagus ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Ia pun melihat Akram dari ujung kaki hingga kepala. “Nanti jam satu ya, Kram.” “Jam satu? Ngapain, Bu?” “Antar Ibu jalan-jalan,” jawab Yurika sembari mengembangkan senyum. Ia kembali pada aktivitasnya sebelumnya. Meninggalkan Danu dan Akram yang kebingungan. “Emangnya ibu mau kemana, Pak?” Danu menarik napas. Ngeri-ngeri sedap menjawab pertanyaan itu. “Ikut bapak yuk, Kram.” “Ikut bapak? Kemana?” Danu menunjuk teras rumah mereka. Bicara di luar jauh lebih aman saat Yurika ada di dalam. Beberapa hal memang lebih baik disimpan tanpa perlu diketahui banyak orang. “Ngapain, Pak?” “Duduk,” ujar Danu menunjuk kursi di teras rumah mereka. Akram pun mengikuti instruksi itu. Danu menghela napas berat. Ia memang sudah harus memainkan perannya sebagai seorang ayah jika tidak ingin semua berantakan. Terlebih ia tidak mau hati bungsunya terluka begitu dalam. Ia berharap betul bahwa keputusan Yurika tentang rencana pernikahan Akram dan putri juragan itu bisa membuat semua orang bahagia. “Mia itu anaknya baik, Kram. Dia juga berasal dari keluarga yang tak kalah baik,” ujar Agit memulai pembicaraan. “Mia sepengetahuan bapak, dari SMP sudah mondok. Namanya anak mondok, pasti lah agamanya jauh lebih baik dibanding cewek pada umumnya.” Sebuah kesimpulan umum yang berusaha ditarik oleh Danu agar putranya tidak ragu. Meski itu bukan sebuah jaminan, mengingat baik dan buruknya manusia tidak hanya bisa dilihat dari background mereka menuntut ilmu saja.                 “Dari semua cewek yang ada, Bapak yakin Mia bisa dampingin kamu, Kram. Ibu kamu kalau udah pingin sesuatu kan nggak bisa dilarang, Kram. Nggak mau denger pendapat orang. Pokoknya harus wajib diikuti semuanya. Bapak cuma ....”                 “Bapak cuma minta Akram buat nurut, ‘kan? Biar ibu senang?”                 Danu mengangguk. Memang itu yang diharapkannya. Ia harap putranya paham.                 “Bapak nggak usah khawatir, Akram nggak bakal kecewain Ibu, Pak.”                 Danu tampak terkejut. Harusnya Akram menolak, bukan memaksakan kehendak untuk menerima takdir seperti ini. Terasa cukup aneh menurut Danu. “Terus pacar kamu bagaimana?”                 Sekarang giliran Akram yang terkejut. “Pa—car, Pak?”                 “Iya. Kamu kan punya pacar, ‘kan?”                 Akram menggaruk tengkuknya. “Bapak tahu soal itu?”                 “Tahu, Kram. Nasha?”                 Akram menahan napas. Jelas sekali ayahnya menyebut nama perempuan itu. Bisa jadi selama ini satu keluarganya pun paham termasuk sang ibu.                 ***                 Sufi dan Agit selain terkenal sebagai pasangan yang memiliki kekayaan cukup berlimpah, mereka juga hobi mengoleksi beberapa tanaman hias. Sufi yang memang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, menjadikan aktivitas itu sebagai hobi yang menyenangkan.                 “Gimana? Sudah oke semua?” tanya Agit setelah sang istri selesai merawat tanamannya.                 “Oke, Pak. Beres semuanya rapi seperti biasanya.”                 “Alhamdulillah. Biar nanti nggak malu kalau ada calon mantu,” jawab Agit.                 “Jam berapa Pak ini?”                 “Jam dua belas. Nanti salat jamaah dulu saja baru kita sambut mereka.”                 “Ya, Pak.”                 Keduanya kompak memasuki area dalam rumah. Hari ini jelas special sekali terlebih saat Yurika memberi kabar Akram akan ikut datang. Satu hal yang tidak mereka duga. Meski Mia masih berada di pondok pesantren untuk ujian akhirnya, Sufi dan Agit tetap mempersiapkan banyak hal termasuk tentang waktu lamaran juga persiapan pernikahan mereka.                 “Sudah, Bu?”                 “Sudah, Pak.”                 “Ayo kita tunggu di depan calon mantu kita,” ujar Agit seraya tersenyum. Ada perasaan lega yang membersamai pertemuan kali ini. Sufi mengangguk. Ia mengayunkan langkah bersama suaminya yang selalu ada di setiap hari-harinya.                 Agit mengangkat kedua tangan. Memanjatkan doa-doa terbaik untuk putrinya itu. Terlebih sebentar lagi putrinya akan memasuki babak baru sebuah kehidupan. Agit tak pernah ingin melihat Mia terluka. Ia berharap sang putri mendapatkan kebahagiaan yang berlimpah. Sufi pun sama. Selain mengaminkan seluruh rangkaian doa yang dipanjatkan Agit, ia memiliki satu doa khusus yang hanya ia ketahui seorang diir. Langsung ia tujukan pada Tuhan seperti biasanya.                 ***                 Akram merasa rumah besar ini tak begitu asing. Ia belum pernah datang ke sana, tapi ia mengenal bangunan itu. Akram pun  berusaha menepis pikiran itu, terlebih saat pagar besi di depannya mulai terbuka.                 “Assalamualaikum, selamat siang Pak Agit, Bu Sufi?” ucap Yurika sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a.                 “Waalaikumsalam, Bu Yurika. Bagaimana kabarnya?”                 “Alhamdulillah baik, Pak, Bu.” Yurika tersenyum ramah. Ia benar-benar senang bisa datang ke rumah calon besannya. Akram tak serta merta diam. Sigap ia menyorongkan tangannya. Menyalami pasangan itu.                 “Bagaimana kabarnya, Nak?” sapa Sufi ramah.                 “Alhamdulillah baik, Tante.”                 “Kalau begitu mari masuk ke gubuk kami,” seloroh Sufi.                 “Bu Sufi kalau kaya gini gubuk, rumah kami apa, Bu?” timpal Yurika sambil mengumbar tawa.                 Gelak tawa pun terdengar. Basa-basi semacam ini menjadi bumbu saat mereka bertemu. Akram yang jelas tak begitu paham hanya ikut menyumbangkan senyum. Ia memilih mengedarkan pandangan. Kembali merasakan bahwa rumah berlantai dua ini tidak terasa asing baginya. Beberapa tanaman hias menjadi icon sepanjang perjalanan mereka menuju bagian utama rumah. Sungguh Akram semakin penasaran. Tanaman itu adalah tanaman Miana. Persis seperti nama dari putri pemilik rumah megah ini.                 “Miana Agya ... siapa kau sebenarnya?” lirih Akram pada tanaman-tanaman itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN