Bab 4 : Sebatas Mimpi

1021 Kata
Kota Semarang Semarang ibu kota provinsi Jawa Tengah yang pernah menjadi impian bagi Danial Akram untuk melanjutkan kuliah. Saat kekasihnya--Nasha Tahirah begitu bersemangat menuturkan cita-citanya agar bisa diterima di Perguruan Tinggi Negri yang kini menjadi tempat gadis itu menuntut ilmu. Nasha dengan bangga menyebutkan dua program studi incarannya: Gizi serta Farmasi. Dua-duanya Nasha ambil dari kampus yang sama.  Namun, tidak bagi Akram. Memujudkan mimpi terbesarnya sudah tidak mungkin bisa ia lakukan. Terlalu sulit menggapai itu semua. Terlebih dengan kondisinya. "Pokoknya kita kuliah bareng, Kram," ujar Nasha setelah mereka selesai melakukan sesi ujian sekolah berstandar nasional. Akram hanya tersenyum simpul. Ia bahkan tidak ikut mendaftar seleksi jalur undangan, karena tahu betul ia tak punya peluang. "Kram, udah saatnya kamu punya rencana B. Ngomong baik-baik sama ibu kamu, Kram." Nasha dengan tingkah manjanya berusaha memengaruhi Akram. "Enggak. Nggak mungkin boleh." "Kalau dapat beasiswa pasti boleh, lah. Masa enggak juga."   Gadis dengan rambut sebahu beserta poni miring ke sebelah kiri itu membenarkan posisi duduk. Berada di atas rumput di pinggiran lapangan hijau beralaskan sandal membuatnya kurang nyaman. "Dulu Kak Dania yang tinggal masuk aja juga nggak boleh. Malah disuruh nikah," ujar Akram sembari menatap orang-orang yang tengah berlari kecil di lapangan. Sedang melakukan pemanasan sebelum memulai pertandingan. "Hah? Serius? Udah ketrima itu?" Akram mengangguk. Ia ingat betul ucapan ibunya yang menganggap menikah jauh lebih baik. Alasan biaya tambahan yang harus dikeluarkan pasti banyak meski Dania mendapat beasiswa. "Di keluargaku nggak ada yang kuliah.  Aku juga sama." "Tapi kamu cowok, Kram. Bungsu lagi. Siapa tahu bisa?" Akram terdiam. Ia memag terlahir sebagai laki-laki. Namun, sama seperti ayahnya yang tak punya kekuatan apa-apa. Semua keputusan dalam keluarganya mutlak ada pada tangan sang ibu. "Ibu hanya mengizinkan satu impian yang bisa kukejar. Tapi, untuk saat ini sangat mustahil bisa terjadi."  Nasha menunduk. Ia paham apa maksud kalimat Akram. Gadis itu tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya. "Maaf," ucapnya tertahan. Akram tersenyum getir. Ia terus menatap ke lapangan hijau yang menyajikan dua puluh dua orang menempati posisi masing-masing. Memainkan si kulit bundar untuk sebuah kemenangan. "Bukan salahmu. Sudah takdir."  Priiiiitttttttt! Suara peluit yang ditiup sang wasit menjadi aba-aba dimulainya pertandingan persahabatan dua sekolahan. Meski tak banyak yang menonton, pertandingan itu tetap seru di mata Danial Akram. "Harusnya kamu bisa bergabung dengan mereka. Kamu striker terbaik waktu kelas satu SMP."  Akram menoleh. Ia mengulas senyum.  "Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi nanti. Kali aja kaki kiriku normal kembali." Nasha memerhatikan anggota tubuh yang disebutkan Akram. Dengan celana panjang, bagian mata kaki tetap terlihat berbeda. Apalagi saat Akram berdiri. Kaki Akram tak lagi bisa menapak dengan sempurna. Mirip orang yang kesleo tapi berkepanjangan. Ia memang beruntung tak kehilangan nyawa saat kecelakaan itu menimpanya. Namun, menghilangkan impian besarnya menjadi pemain terbaik di tim sepak bola tempatnya bernaung.  "Oper, Yos! Oper! Nggak serakah!" seru Akram memerhatikan permainan Rios yang tidak sesuai dengan arahannya. Nasha menatap pedih ke arah Akram. Kalau saja sore itu ia tidak membuat masalah, kekasihnya tak perlu mengendarai sepeda motor dengan kecepatan kencang. Tak perlu kehilangan kesempatan masuk ke sekolah sepakbola incaran akibat kecelakaan tunggal. *** Nasha menutup leptopnya. Merapikan tumpukan buku dari pinjaman perpustakaan fakultas. Sejatinya kalau bukan karena rasa bersalah itu, ia sudah memilih pergi. Meninggalkan Akram yang bersedia memberikan hati. Namun, rasa bersalahnya terus menghantui hingga kini.  Akhir bulan adalah waktu yang akan Nasha habiskan di rumah. Jarak tempat tinggalnya bahkan hanya beberapa meter dari rumah Akram. Akan tetapi mereka tak bisa saling menyapa dengan leluasa. Ada dinding kokoh yang seakan menghalangi. Nasha memandang keluar lewat jendela. Gumpalan awan hitam sudah berkumpul. Padahal sebelumnya langit tampak masih biru. Peralihan yang terjadi begitu singkat.  Gemuruh perlahan terdengar. Hujan mulai merintik. Cuaca cerah seketika berubah. Nasha termenung sendiri. Andai bisa ia ingin seperti itu juga. Secepat mungkin menyingkirkan kemelekatan yang terjadi antara dirinya dan Danial Akram. Menjadi tetes-tetes air yang akhirnya hilang, meresap sampai dasar bumi. *** Akram menyimpan dengan baik formulir pengajuan seleksi Chief of Store di Betamart di dalam lemari kamar. Ia sudah memutuskan tetap mengikuti rangkaian tes setelah mendapatkan rundown acara itu dari Mas Danang. Akhir bulan ini jatuh pada hari senin. Rencana pertemuan keluarga yang disusun ibunya dilakukan ba'da Ashar. Itu artinya ia masih bisa mengikutinya. Sementara penjemputan Nasha di Semarang, ia punya strategi sendiri. Sore hari setelah pulang dari Betamart, Akram merapikan rumahnya. Menggosok lantai dengan alat pel serta menyapunya. Kebiasaan yang sudah mengakar pada jiwanya. Cinta kebersihan serta keindahan. Siapa saja yang kebetulan melewati depan rumah kerap terkesan dengan aktivitas Akram. "Duh, duh, anaknya Bu Yurika emang T.O.P B.G.T. Gelem tak pek mantu pokoe (Mau kuangkat jadi mantu pokoknya!)" seru tetangga yang selesai membeli sayur dari warung sebelah rumah Akram. "Emang due anak wedok, Yu? (Memangnya punya anak cewek, Mbak?)"  "Eh, iya. Anakku lanang kabeh. Hayo piye kui? (Anakku cowok semua. Bagaimana itu?)"  Gelak tawa pun terjadi. Akram hanya senyam senyum sendiri tak menanggapi obrolan dua tetangga yang lewat di depan rumahnya. Masyarakat desa memang kerap berseloroh seperti itu.  "Ra sah kepedean. Anaknya cewek yow ra bakal dipek mantu karo Bu Yurika. Mesti yow wes due calon dewe. Ya, ra, Bu? (Nggak usah terlalu percaya diri. Anaknya cewek juga nggak mungkin diangkat menantu sama Bu Yurika.) "  Yurika yang tengah merapikan tanamannya di area rumah yang lebih dekat dengan jalan raya menutup mulut. Tersenyum canggung sekaligus malu-malu.  "Tenan, Bu. Mas Akram wes due calon? Meh dikasih ke siapa? Ora sembarang uwong, to? (Beneran, Bu,  Mas Akram udah punya calon? Mau dikasih ke siapa? Nggak sembarang orang, kan?)" Yurika melihat Akram sekilas yang berada di teras atas. Rumahnya lebih tinggi dibandingkan badan jalan. Ada akses undakan tangga untuk sampai di teras itu. Yurika menutup sebelah mulutnya. Berbisik kepada tiga temannya. "Mbarepe Pak Agit (Anak pertama Pak Agit.)" Ketiga perempuan bergelar ibu itu pun kompak mendongak.  "Mbak Mia, Bu?" tanya salah satu di antara mereka. "Sstttt. Ra seru-seru! Ndak, do krungu, (Nggak keras-keras. Takut kedengeran,)" ujar Yurika. Mereka kembali tertawa bersama-sama. Telinga Akram masih normal. Ia bisa dengan jelas mendengar nama gadis yang akan dijodohkan dengannya. Terbilang asing karena setahunya tidak ada nama Mia di Donorojo- desa tempat tinggalnya. Akram tak mau ambil pusing. Ia berlalu dari teras rumahnya yang sudah bersih paripurna. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN