"Gimana, Kak?" ulang Akram begitu memenuhi panggilan kakaknya.
"Ditunggu Mia buat makan."
"Oh, tapi Akram nggak laper, Kak," jawab Akram enteng. Ia tidak perlu mengisi perutnya.
Delia pun melotot tajam. Bagaimana bisa setelah acara akad nikah dan ramah tamah adiknya tidak kelaparan. Minimal menghargai tuan rumah yang sudah bersusah-susah mempersiapkan semuanya.
"Buruan!"
Akram pun tak bisa membantah. Ia berjalan pelan menuju halaman samping yang dijadikan sebagai tempat khusus menjamu tamu. Di sana sudah ada Mia yang tengah mengambil piring. Akram terus berjalan hingha akhirnya sampai tepat di samping Mia.
"Sepertinya kita perlu bicara," ujarnya. Ia tidak mau berlama-lama merasakan haru. Terlebih setelah tausiyah tadi mulai mempengaruhi pikirannya.
Mia menoleh. "Ya?"
"Kita perlu bicara berdua saja."
Mia pun terkesiap. Apa maksud dari ucapan Bicara berdua?
"Kita?"
Akram mengangguk. "Habis makan nanti. Sekarang mana piringnya?"
Akram melirik sekilas ke tumpukan piring. Sigap Mia menyerahkan miliknya dan mengambil satu lagi untuk dirinya sendiri. Beberapa orang yang menyaksikan mereka akan menganggap bahwa kedekatan mereka sudah terjalin lama. Keduanya tampak serasi dan kompak. Akram menyadari itu karena sejak tadi ibunya tampak mengintai dari jauh.
"Alhamdulillah langsung adaptasi nggak malu-malu, ya, Pak," ujar Yurika. Ia tengah menikmati potongan buah semangka dan melon.
"Siapa?"
"Itu anak kita. Lihat tuh, lihat makan aja diambilin. Romantis, Pak."
Danu pun mendongak. Di sana putranya tengah berdiri membawa piring. Sementara sang menantu mengisi piring itu. Sungguh pemandangan yang membuatnya lega sekaligus haru.
"Moga langgeng terus ya, Bu. Bapak rasa Mia cocok dampingin Akram." Yurika mengangguk sambil menghabiskan buah itu.
"Hidup adalah perjalanan menemukan asyik dan asing yang terus berulang-ulang." (Boycandra)
Kali ini Akram merasakan betul kalimat yang ia temukan di media sosial itu. Bahwa hidup adalah sebuah proses dari keduanya. Bagi Akram sekarang, ia sedang menemukan asing yang tak bisa dihindari. Tampak sekali di dalam sana ia tak mengenal siapa-siapa, bahkan istrinya sendiri. Ironis saat apa yang diharapkan berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan. Saat nurani dan langkah kaki tak sepakat di setiap langkah. Akram menjadi yang paling kalah.
"Sudah?" tanya Mia memecah kefokusan Akram. Sejak tadi sebenarnya piring itu sudah kosong.
"Ya, sudah.
"Kalau begitu biar saya yang bawa." Mia menengadahkan tangan. Ia bermaksud membantu suaminya. Akram pun menengok kiri kanan. Ia merasa tak nyaman saat Mia baik dengannya.
"Kita perlu bicara," ulangnya.
"Ini sudah bicara."
"Bukan tentang piring tapi tentang kita," tegas Akram.
***
Semua anggota keluarga Akram sudah berpamitan. Akram menjadi yang satu-satunya tinggal di sana. Ia mau tak mau harus mengikuti adat kebiasaan yang ada di mana hari setelah akad, seorang suami berada di kediama istri. Akram menyadari betul itu karena ia sendiri sudah membawa baju ganti.
Kakak tunggu kabar baiknya. Delia menjadi orang yang sangat heboh saat berpamitan. Ia seperti mengharapkan sebuah kado besar. Akram terkekeh. Mimpi kali kakaknya berpikir ke arah sana.
"Istirahat dulu, Nak Akram. Kamar Mia ada di lantai dua," kata Sufi yang sedang merapikan meja.
"Ya Tante, nanti Akram ke atas."
Sufi tersenyum. Menantunya masih belum terbiasa. "Iya. Makasih, ya. Nanti kalau capek langsung ke atas aja."
Akram pun mengangguk. Ia lebih senang melakukan aksi bersih-bersih membantu Sufi dan orang-orang dibandingkan harus berduaan di kamar dengan istrinya. Tak terbayangkan rasanya ada orang asing di dalam kehidupannya. Bahkan harus berada dalam satu ruangan sempit bernama kamar. Meski berlebihan, pasca makan bersama tadi, Akram akhirnya berkata yang sebenarnya.
"Kamu kenal saya?" tanya Akram sebagai pembuka. Ada waktu di sela kagiatan mereka.
Mia mengangguk. Ia menancapkan sedotan ke wadah air mineral kemasan, "Bismillah."
"Ya. Saya kenal."
"Hasil cerita ibu bapak?"
Mia mengangguk. Ia memang mengenal Akram dari orangtuanya. Ia mengikuti saja kemauan sang ayah agar ia segera menikah.
"Belum tentu pilihan sendiri menjadi lebih baik buat kita. Untuk itu saya terima tawaran ayah saya."
"Tawaran?" tanya Akram heran.
"Ya. Prinsip di keluarga kami berlaku hukum penawaran."
"Termasuk soal jodoh?" Mia pun mengangguk. "Berarti kamu paham kalau di antara kita nggak mungkin ada rasa?"
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Pertanyaan Akram menyentaknya. Mia kembali meminum air kemasan itu.
"Kalau hukum penawaran, berarti bisa deal bisa nggak. Nah, simpulannya hubungan ini maaf atau pernikahan ini mutlak ada karena hanya urusan tawar menawar saja, 'kan?" terang Akram.
Mia mengangguk lemah. Memang benar ayahnya menawarkan soal pernikahan ini, tapi tidak ada rasa? Kenapa perlu diperjelas seperti itu.
"Jadi karena kita sama-sama tahu pernikahan ini tidak didasari rasa cinta sama sekali, aku harap kamu nggak mikir yang iya-iya soal hubungan ini. Kita hanya menjalani saja. Tanpa perlu terlalu mendalaminya. Bagiamana?"
Lemas. Itu yang dirasakan Mia. Baru saja ia menganggap Akram adalah laki-laki yang harus ia hormati setengah mati rupanya begini. Mia dengan terpaksa pun mengangguk kecil. Ia paham sekarang yang sedang ia jalankan. Sebuah pernikahan yang tak diharapkan bagi Akram. Mia bersaha menguasai diri. Tak mau terlihat begitu kaget dengan penuturan Akram. Ia jelas tak mungkin mengacaukan semua pasca prosesi akad ini. Mia hanya bisa berucap lirih dalam hati. Memanjatkan doa terbaik, semoga pernikahan ini tak menyakiti siapapun.
***
Akram membuka pelan pintu kamar itu. Ia yang tak mungkin menghindar khusus malam ini, hanya bisa mengikuti arus. Nanti setelah mereka dirasa cukup tinggal di rumah gedong ini, ia akan meminta rumah sendiri. Entah bagaimana caranya karena tabungan pun ia tak punya.
Di dalam kamar, Mia duduk menghadap meja komputer yang tampak seperti meja kerja. Begitu fokus sampai tak menyadari kedatangan Akram.
"Ehem!" Akram berdeham untuk menyamankan diri. Ada beberapa hal yang harus ia tanyakan.
Mia menoleh. "Ada apa?"
"Cuma ada satu tempat tidur?" tanya Akram. Ia ingin memastikan.
Mia pun mengedarkan pandangan. Sejak dulu di kamarnya memang hanya ada satu.
"Iya."
"Ehm, kamu ... paham maksudku, 'kan?"
Mata Mia membulat. "Paham bagaimana?"
"Yang kita bahas tadi saat makan siang. Artinya, kan...." Akram tak sanggup mengulanginya.
"Oh, iya. Nanti baiknya gimana saja. Nggak mungkin naruh sofa dari luar. Kalau nggak nyaman nanti bisa di bawah." Mia menunjuk karpet di lantai. Ia berupaya agar suaranya tidak bergetar. Bukan ini yang ia harapkan.
Akram pun tak berkutik. Tampak jelas bagaimana Mia begitu tegas. Ia kira gadis itu gadis pemalu juga lemah.
Mia mengabaikan ekspresi wajah Akram. Ia memilih kembali menekuni layar tab-nya. Sekadar mengahalau sesak. Sejak siang tadi, matanya sudah mulai gerimis. Mia menahannya.
Akram menggaruk tengkuk. Tak ada tempat lain untuk duduk selain di lantai berkarpet itu. Ia yang sudah berdiri seharian ditambah membantu mertuanya tadi, tak mampu lagi menahan. Karpet dengan kategori cukup empuk itu menjadi satu-satunya tempat bagi Akram beristirahat. Di kamar asing bersama orang asing.