"Wanitamu sudah siap, Tuan," ucap sang desainer dengan senyum manisnya.
"Terimakasih Grace."
"Sama-sama Tuan."
Grace undur diri, wanita itu tersenyum sekilas pada Gia kemudian keluar dari kamar wanita itu, sedangkan Alfonzo melangkahkan kakinya mendekati Gia, ia menaikkan wajah Gia dengan jari telunjuknya.
"You're so beautiful, Gia."
"Thanks."
Alfonzo memasuki walk in closet dan keluar dengan kemeja hitam dan blazer merah maroonnya, pria itu memasang dasi kupu-kupu di lehernya kemudian menatap Gia dengan tatapan memuja.
"Ayo kita berangkat," ucap Alfonzo seraya mengait lengan Gia dan menuntun wanita itu keluar dari kamarnya.
"So, kau membawa jalangmu sendiri ke pesta Mr. Renzuis?" tanya Gia dengan senyum tipisnya.
Alfonzo terkekeh kemudian melepaskan kaitan lengan Gia digantikan dengan lengannya yang bertengger di pinggang wanita itu, pria itu menarik tubuh Gia lebih dekat dengan dirinya dan menciumnya sekilas.
"Hanya sekedar informasi, aku sudah sering membawa jalanngku ke pesta."
"Aku cukup tersanjung."
"Tapi kau perlu tau, kau adalah satu-satunya jalang yang aku bawa untuk menemui klien elit-ku."
"Aku sangat tersanjung dengan sebutanmu Mr. Renzuis."
"Terimakasih."
Alfonzo kembali menuntun Gia memasuki mobil Limosin putih miliknya, sementara ia memutari mobil itu dan memasukinya dari arah yang berlawanan, Alfonzo menutup sekat pembatas antara supir dan dirinya, ia meraih sebotol vodka dan tanpa kata menyesapnya sementara Gia hanya mampu menatap dalam diam semua aktivitas Alfonzo.
Gia melirik sekilas ke belakang dan menemukan lima mobil hitam berada tepat di belakang mobil yang tengah ia tunggangi saat ini, Gia menatap Alfonzo yang masih sibuk dengan cerutunya.
"Mereka semua_"
"Bodyguard ku," sela Alfonzo seakan mengetahui kemana tujuan dari pertanyaan Gia barusan.
"Kenapa membawa banyak sekali?"
"Haruskah aku ceritakan semua masalahku padamu? Tolong sadarlah kau tak lebih dari sebatas jalangku," ucap Alfonzo berhasil membuat Gia tertohok seketika, ia bahkan segera mengalihkan tatapannya ke arah jalanan dan tak terasa satu air mata sudah mengalir dari manik indahnya.
"Kau tak seharusnya menangis Gia, ucapan seperti tadi sudah biasa aku lontarkan spontan pada jalangku, ingat saja statusmu," lanjut Alfonzo membuat Gia tersadar dan ia pun menyeka air matanya lalu menatap Alfonzo dengan mengangkat kepalanya seolah ia membenarkan semua ucapan Alfonzo.
"Kau benar, harusnya aku lebih cepat belajar dan menyadari bahwa statusku saat ini sudah berubah, aku milikmu."
"Aku senang kau menyadarinya, Gia."
Hening menyergap kedua orang berbeda jenis itu, mereka seakan mengunci mulutnya rapat-rapat, namun sesekali Alfonzo menatap Gia tanpa disadari oleh wanita itu. Sungguh, ucapan itu biasa ia lontarkan pada jalangnya yang cerewet dan menanyakan hal-hal yang tak seharusnya mereka tanyakan, dan saat ia mengatakan hal itu pada Gia, ia justru merasa sedikit tak suka akan air mata Gia yang ternyata ialah penyebabnya.
"Gia."
"Hm?"
"Kau marah?"
"No, untuk apa aku marah. Kau benar, kau tak salah Al, aku hanya merasa entahlah. Ini salahku, ekspektasi ku padamu terlalu tinggi."
"Gia."
"No, jangan katakan apapun."
Alfonzo menuruti ucapan wanita itu, ia mengunci mulutnya rapat-rapat, ia bahkan tak melirik lagi pada Gia ia hanya sesekali menghembuskan napas dan meneguk vodka miliknya.
Rombongan Alfonzo berhenti tepat di depan karpet merah yang sudah disiapkan, kamera paparazi memotret Alfonzo beberapa kali namun pria itu menutupi wajah Gia dengan telapak tangannya, ia hanya tak ingin identitas Gia diketahui banyak orang, belum waktunya Gia diketahui khalayak umum.
"Percepat jalanmu," bisik Alfonzo sesaat setelah keluar dari dalam mobil dan Gia pun mengerti ia mempercepat langkah kakinya hingga akhirnya mereka pun memasuki ballroom hotel yang sudah disulap menjadi pesta bintang lima.
"Tetap berjaga, setengah dari kalian mengikuti tanpa memberi petunjuk, jaga jarak tetap lindungi aku dan awasi aku dari jauh, mengerti?" ucap Alfonzo dibalas anggukan dari bodyguardnya.
Alfonzo balas mengangguk, ia meraih pinggang Gia dan menuntun wanita itu semakin memasuki hingar bingar pesta.
"Signor William?" sapa Alfonzo pada salah satu rekan kerjanya.
"Ciao, piacere di rivederti, signor Renzuis."
"Sì, come stai?"
"Aku baik, yah kau tau menetap di California cukup melelahkan bagi pekerjaan ku, aku harus kembali kesini minimal dua kali seminggu untuk mengontrol bisnisku, ini semua demi istriku," ucap rekan kerja Alfonzo seraya menatap wanita di sampingnya.
"Hai, Mrs. William, anda baik?"
"Tentu Mr. Renzuis, bagaimana kabarmu?"
"Sangat baik."
"Wow lihat ini, siapa yang kau bawa kali ini Mr. Renzuis? Wanita baru lagi setiap pesta baru? Kau memang b******k," ucap Mr. William seraya menunjuk Gia. Sedangkan sang istri menyalami Gia dengan senyum manisnya.
"Jenny William, senang bertemu denganmu."
"Hai, aku Giavana Adeslay."
"Kau cantik sekali."
"Kau jauh lebih baik."
"Dia tampak berbeda, kau serius dengannya Al?" tanya William dibalas gelengan daru Alfonzo.
"I don't know, but I'll try it."
"Great she looks perfect, she's your new b***h?"
"Yeah, I found her in New York."
"She's wonderful, green eyes i like it."
"Please remember your wife."
"Oh, I remember. She's looks like a good woman," bisik William dibalas anggukan dari Alfonzo, ya pria itu pun merasa Gia adalah wanita yang baik namun tetap saja Alfonzo belum lama mengenal wanita itu dan Alfonzo masih punya alasan untuk berhati-hati atas Gia.
"Vado un momento, c'è il signor De Lavega qui."
"Benarkah?" tanya Alfonzo memastikan. Hell! Finally dia bisa bertemu dengan ketua Regnarok itu, pemimpin besar kelompok mafia di Italia dan Eropa, Arthur De Lavega.
Alfonzo menatap Gia dengan tatapan tanyanya. "Gia."
"Hm?"
"Kau mau ikut aku? Ada seseorang yang ingin aku temui."
"Tidak, aku akan duduk disini."
"Kenapa?"
"Kau pikir aku akan ikut denganmu sementara kau berbicara mengenai aku pada teman-teman mu? Maaf, aku tak sebodoh itu dengan mendengar ocehan kalian yang lebih pedas dari ucapan para heters."
"Well, aku tak suka dengan perumpamaan mu, tapi terserahlah aku harus menemuinya."
"Ya, pergilah, pergi saja agar aku juga bisa lari darimu."
"Kupastikan untuk itu kau tak akan bisa, tanyakan kenapa."
"Kenapa?"
"Karena tanpa sepengetahuan mu, semua bodyguard ku tersebar mengawasi pesta ini, mereka berada di setiap sudut ballroom dan apabila mereka melihat kau yang beranjak dari tempat dudukmu, aku pastikan orang-orang yang kau cintai akan terluka saat itu juga."
"Kau memang iblis Alfonzo!"
"Aku suka dengan panggilan itu jalangku."
"b******k!"
"Jangan mengumpat pada pemilikmu Gia, belajarlah sopan agar kau bisa terus aku beri hadiah, percayalah kau akan dapatkan apapun asal kau menurut padaku."
"Persetan!"
"Aku pergi," ucap Alfonzo seraya mencium pipi kanan Gia. Gia menggerutu sebal, dasar iblis berwujud malaikat! batinnya kesal.
Kembali pada Alfonzo, pria itu sesekali menyambut uluran tangan para rekan kerjanya dan berbincang sebentar seraya matanya mencari keberadaan pemimpin besar Regnarok.
Saat telah menemukan sosok yang ia cari, Alfonzo pun segera berjalan mendekati Arthur, ia berdiri tepat di belakang pria itu dan meneguk salivanya pelan, jantungnya berdetak sungguh! Ia amat sangat menghormati dan mengidolakan Arthur De Lavega, dan mungkin bukan hanya dirinya saja yang mengidolakan Arthur, para mafia di Italia pasti tunduk pada sosok De Lavega tersebut.
Alfonzo menepuk pelan bahu Arthur dan perlahan tubuh besar pria itu berbalik, Alfonzo tersenyum manis kala Arthur benar-benar menatapnya.
"Don Alfonzo Renzuis, sangat terhormat bisa bertemu denganmu Mr. De Lavega," ucap Alfonzo seraya mengulurkan tangannya pada Arthur dibalas hangat oleh pria itu, ia bahkan tersenyum sangat manis pada Alfonzo.
"Arthur De Lavega," ucap Arthur dengan suara baritonnya.
"Aku sangat bahagia bisa menatapmu langsung Mr. De Lavega, anda sangat merangsang saya untuk bisa sukses seperti anda, tanpa anda sadari anda membangkitkan saya untuk sukses seperti anda, saya sangat menjunjung anda Mr. De Lavega."
"Aku sangat tersanjung dengan ucapanmu Alfonzo, sangat bahagia juga bisa bertemu denganmu. Aku mendengar tentangmu sekilas, kau sangat baik di bidang properti dan aku juga mendengar bank yang kau kelola sangat baik hingga saat ini."
"Terimakasih banyak Mr. De Lavega, saya sangat bahagia mendengar penuturan anda," ucap Alfonzo dengan senyuman manisnya.
"Aku pun mendengar sisi lainmu Alfonzo, The Devil right?"
"Ya, kau benar," ucap Alfonzo dengan anggukan mantapnya, Arthur meraih bir dan menuangkannya pada dua gelas yang tersedia kemudian memberikannya pada Alfonzo sementara sisanya ia minum sendiri.
"Aku senang Italia masih memiliki mafia kuat sepertimu Al, aku hanya sedikit risau tentang dunia hitam kita."
"Well, banyak mafia lain sebenarnya Mr. De Lavega, hanya saja mereka kurang bisa mengatur bisnisnya di luar."
"Kau benar."
"Lalu bagaimana dengan Regnarok, Mr. De Lavega?"
"Sure, putraku yang mengurusnya kau tau ia sangat sangat aku banggakan, ia bisa menangani urusan dunia gelapku diusianya yang baru menginjak umur 17 tahun, aku percaya padanya oleh karena itu aku serahkan Regnarok padanya."
"Aku tak pernah melihat pemimpin Regnarok yang baru selama ini Mr. De Lavega."
"Aku memang hanya memberinya kuasa atas New York dan Amerika, sedangkan aku mengurus bisnis ku sendiri disini lebih tepatnya di Porto Venere."
"Pantas aku tak melihatnya di setiap pertemuan para mafia."
"Ya, dia sangat sulit untuk diajak ke acara seperti itu."
"Jika boleh tau siapa nama putramu?" tanya Alfonzo yang dibalas kekehan geli oleh Arthur.
"Leonardo, namanya Leonardo."
"Singa, nama yang bagus untuk ketua Regnarok."
"Ya, dia sangat luar biasa."
"Aku tak sabar bertemu dengannya."
"Ya, semoga kau akan segera bertemu," balas Arthur dibalas senyum manis oleh Alfonzo.
"Anda datang sendiri Mr. De Lavega?"
"Ya, istriku mengeluh jika datang di acara seperti ini, ia memilih diam di mansion."
"Ya, aku cukup mengerti."
"Bagaimana denganmu Alfonzo?"
"Aku membawa pasangan tentu saja."
"Seriously?"
"Ya, anda ingin melihatnya? Ku yakin anda akan terpesona."
"Sayangnya aku sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada istriku."
"Family man ternyata."
"Ya, kau benar."
"Mari aku kenalkan." Alfonzo menunjukkan arah Gia berada, mereka berjalan namun Alfonzo mengedarkan pandangannya mencari keberadaan wanitanya, karena Gia tak berada di kursi tempat ia duduk tadi.
"Maaf Mr. De Lavega, dia ... "
"Ya, tak apa mungkin dia sedang ke toilet."
"Ya kau benar."
"Mr. De Lavega?" panggilan itu berhasil menghentikan ucapan Arthur yang akan membalas ucapan Alfonzo, pria yang tak lagi muda itu memutar tubuhnya dan menatap rekan bisnisnya.
"Maaf Mr. De Lavega, ada beberapa klien yang ingin bertemu denganmu."
"Oh ya, baiklah." Arthur mengangguk dan pria itu pun pergi, ia menatap Alfonzo dengan tatapannya yang meredup.
"Maafkan aku, lain kali aku akan lihat pasanganmu Al, tapi terimakasih atas obrolan tadi, aku senang bisa melihatmu."
"Ya, sure. Terimakasih banyak Mr. De Lavega, lain kali aku akan kenalkan dia padamu."
"Sto aspettando quel momento," ujar Arthur dan ia pun pergi seraya menepuk pelan bahu Alfonzo.
Selepas kepergian Arthur, Alfonzo meraih ponselnya berusaha menghubungi bodyguardnya untuk menanyakan tentang Gia namun wanita itu terlebih dahulu berada di depan wajahnya kini.
"Kemana saja kau?!" tanya Alfonzo dengan desisan tajamnya pada Gia.
Gia mengerutkan keningnya, ia menghela napasnya pelan. "Maafkan aku, bukan maksudku pergi tapi tadi dress ku terkena tumpahan jus jadi aku ke toilet terlebih dahulu untuk membersihkannya."
"Astaga, aku hampir marah tadi ku kira kau kabur."
"Aku tak mungkin membahayakan nyawa orang-orang yang ku cintai."
"Pilihan yang bijak."
Gia menatap sekitarnya, sungguh jika ia boleh berharap ia ingin sekali bertemu seseorang yang mampu membebaskannya dari Alfonzo, ini pertemuan besar bukan? Artinya banyak pebisnis yang berada di sini. Lalu bisakah Gia berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya, Leonardo? Atau Uncle Arthur-nya maybe?
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Alfonzo dibalas gelengan pelan oleh Gia.
"Dressmu basah Gia, kita pulang saja lagipula aku sudah menyapa beberapa rekan bisnis ku, aku bahkan sudah menemukan apa yang aku impikan selama ini, jadi mari kita pulang," ucap Alfonzo dibalas anggukan lemah dari Gia.
Mereka keluar dari pintu belakang untuk menghindari paparazi, mereka memasuki limosin putih milik Alfonzo dan kembali menuju mansion besar milik Alfonzo.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Alfonzo dibalas gelengan pelan dari Gia.
"Biasa saja, tak ada perasaan aneh seperti yang kau maksudkan."
"Memangnya apa maksud ku?"
"Tak ada, sudahlah lupakan."
Sesampainya di mansion Alfonzo menggandeng tangan Gia hingga memasuki mansion kemudian membiarkan wanita itu menaiki tangga namun tepat dianak tangga tengah Alfonzo memanggil nama Gia hingga membuat wanita itu membalikkan tubuhnya dan menatap Alfonzo.
"Bersihkan tubuhmu lalu kita makan malam."
"Tapi aku sudah makan tadi."
"Tapi aku belum, jadi temani tuanmu makan."
"Baiklah."
Alfonzo duduk di kursi makan dengan tangannya yang membuka dasi kupu-kupu beserta jas merah maroonnya, pria itu menatap Gia yang berjalan menuruni tangga dengan kaos selutut yang menenggelamkan tubuh rampingnya.
"Makanlah," ucap Gia seraya duduk tepat di samping Alfonzo.
"Siapkan."
Gia memutar bola matanya malas kemudian tanpa membalas ucapan Alfonzo, ia menyiapkan makanan untuk pria itu. "Aku ini jalangmu, bukan istri atau maid mu yang tugasnya menemani atau menyiapkan makananmu."
"Anggap saja latihan."
"Latihan apa? Aku tak ingin menjadi apapun," balas Gia acuh.
"Latihan, karena bisa saja kau akan jadi Mrs. Renzuis."
•••••