Yongki memijat kening. Sementara ponsel masih tersambung dengan Adi.
"Mas Adi, jangan bercanda. Aku nggak percaya dengan omonganmu. Pasti kamu mengada-ngada!"
"Apa untungnya aku mengada-ngada? Datanglah ke sini cepat kalau kamu nggak percaya."
"Lalu kenapa Alula sampai nggak ada?" Ingin rasanya Yongki menyangkal, tetapi pesannya pada Alula juga tidak terkirim. Itu artinya, mungkin benar. Alula tidak ada di kos-kosan.
“Untuk masalah itu, aku nggak tahu. Sekarang gini aja. Aku kasih saran. Gimana kalau Aruni–“
“Aku akan berusaha nyari dia dulu aja, Mas. Sarannya nanti saja kalau pikiranku sudah mentok. Assalamualaikum.” Yongki kemudian mematikan panggilan karena ingin berusaha berpikir jernih tanpa adanya campur tangan omongan Adi. Ketika mendengar nama Aruni disebut, firasat Yongki sudah tidak enak.
Yongki kembali mencoba menghubungi Alula. Hasilnya sama seperti beberapa menit yang lalu; tidak ada tanggapan. Pesan pun tetap ceklis satu. Pria itu kembali melihat jam di mana terakhir kali Alula membalas pesan. Jam sebelas malam. Di pesan itu pun, tidak ada kejanggalan apa-apa. Hanya Alula menulis tidak baik mereka intens berkirim pesan sebelum akad nikah dan meminta Yongki untuk lekas istirahat. Yongki hanya membalas dengan tiga kata; i love you. Jika tiba-tiba Alula kabur, rasa-rasanya tidak mungkin karena tidak ada yang aneh atau janggal.
“Apa kamu nggak yakin nikah sama aku sampai kabur kayak gini, La? Atau ada yang menculikmu?” gumam Yongki.
Sepanjang perjalanan menuju kos-kosan Alula, Yongki menyisir jalan berharap menemukan Alula yang katanya tidak ada. Nihil. Sang pujaan hati tidak ditemukan pandang matanya.
“Mas Agus, jalannya agak pelan aja, aku sambil nyari seseorang,” pinta pria berusia 28 tahun itu kepada sang sopir yang masih saudaranya.
“Calon pengantin wanitamu kabur, Ki? Aku dikit-dikit dengar tadi," tanya Agus.
“Entahlah. Mungkin masih di mana atau ke mana gitu,” jawab Yongki gusar.
Beberapa saat kemudian, mobil yang ditumpangi Yongki memasuki pelataran kos-kosan Alula. Di sana, sudah banyak orang dan keluarga Alula.
Cepat-cepat Yongki turun dan disambut oleh Jasman, ayah Alula.
“Nak Yongki, maaf. Alula tidak ada di kos-kosan. Menurut tetangga kamarnya, semalam ada suara ribut pria di kamar Alula dan pagi hari saat Aruni dan perias datang, Alula sudah tidak ada,” jelas Jasman.
Yongki merangsek masuk ke kamar kos-kosan Alula. Lemari terbuka dan semua masih rapi. Hanya tas yang biasa digunakan Alula ke kampus tidak ada.
“Kalau Alula kabur atau diculik, pasti belum jauh dari kota ini. Ke mana kamu, Alula!” teriak Yongki.
“Ki, sekarang bukan masalah itu, yang penting pernikahanmu, harga diri keluarga kita. Mana orang tuamu?” Adi datang bertanya.
“Sudah langsung ke KUA,” jawab Yongki.
“Apa kamu ingin mereka malu seumur hidup kalau kamu gagal menikah? Aruni siap menggantikan–“
“Sekali lagi aku nggak butuh saran! Aku nggak akan menikah kalau bukan dengan Alula. Ingat itu!” Yongki membentak Adi.
“Sudah, kalian jangan bertengkar!” Jasman menengahi.
Ponsel di saku Yongki berdering. Ada panggilan dari mamanya.
“Ki, kamu sudah sampai mana? Cepetan, lama sekali. Sudah ditunggu sama pihak KUA!”
Yongki diam. Dihelanya napas sangat panjang dan diembuskan kasar. “Ma, Alula nggak ada.”
“Apa! Ini yang Mama takutkan! Dia itu wanita nggak bener! Niat sekali dia bikin malu keluarga kita! Kamu Mama kasih tahu tapi nggak pernah mau denger!”
“Aku masih berusaha nyari, Ma. Sabar.”
“Enggak ada sabar-sabar. Pokoknya kamu harus datang ke sini sekarang juga! Kamu jelaskan sendiri ke pihak KUA entah harus batal atau apa!”
Panggilan pun dimatikan. Sementara Yongki benar-benar bingung. Ia terduduk di kasur lantai yang biasa menjadi alas tidur Alula. Dielusnya pelan kasur itu oleh Yongki.
“La, kamu di mana?” gumam Yongki lirih.
“Opsi terakhir, Bro. Adikku rela berkorban untuk menutupi malu. Sebenarnya dia sudah punya pacar, tapi katanya dia mau demi nama baik keluargamu, keluargaku.” Adi menepuk pundak Yongki.
Telepon Yongki kembali berdering. Kali ini dari sang papa. Ia bingung harus berbuat apa sekarang.
Alula kabur? Sangat tidak mungkin. Namun, kalau membiarkan pernikahan batal begitu saja, itu juga mustahil. Mama papanya pasti akan sangat kecewa.
'Apa yang harus aku lakukan?' Yongki membatin.
Menikahi Aruni, saudara tiri Alula? Rasanya Yongki tidak bisa melakukan itu. Hatinya sudah terpaut dengan Alula, tidak mungkin secepat kilat beralih kepada Aruni yang baru sekali dilihatnya saat melamar Alula pada keluarga ayah sang pujaan hati. Namun, jika membiarkan pernikahan tidak terlaksana, apa kata orang-orang di luar sana? Orang tuanya?
“Aku akan telepon polisi dulu aja, Mas. Minta bantuan mereka.Toh sekarang tidak harus 24 jam baru boleh lapor.” Yongki ingin menelepon polisi, tetapi ditahan oleh Adi.
“Pikirkan juga papa mamamu. Kalau sampai masalah ini sampai di polisi, akan panjang dan runyam. Ki, sekarang bukan waktunya melibatkan polisi, tapi bagaimana agar dua keluarga nggak menanggung malu.”
Yongki yang sudah sangat kalut, makin tersudut dengan perkataan Adi tersebut.
**
Sekitar pukul delapan pagi, seorang pria yang sedang mencari rumput, terkejut saat melihat wanita tidak bergerak di pematang sawah. Pria itu takut, lalu berteriak memanggil orang lain.
“Ada mayat, ada mayat!” Teriakan pria itu membuat seorang pengendara mobil, beberapa pengendara sepeda motor, dan orang-orang yang lewat di sekitar sawah mendekat. Jalanan itu memang jalan ramai. Berbondong-bondong mereka mengerumuni wanita dalam posisi tengkurap dengan wajah menyamping itu tanpa berani menyentuh.
“Apa dia sudah meninggal?” tanya seseorang.
“Entahlah. Saya hanya melihatnya, belum memeriksanya. Saya takut,” jawab pria yang pertama menemukan.
“Coba kita lihat sama-sama.” Salah seorang pria lagi mengusulkan.
“Apa tidak kita panggil polisi saja?”
“Kelamaan. Kalau dia masih hidup, setidaknya masih bisa kita tolong dan bawa ke rumah sakit.”
“Baiklah. Ayo kita balik tubuhnya sama-sama.”
Mereka berdiskusi hingga akhirnya wanita yang awalnya tengkurap itu dibalik. Matanya sudah terpejam rapat. Wajahnya penuh lumpur.
“Astagfirullah. Sepertinya dia korban kejahatan. Tangan dan mulutnya terikat. Kasihan sekali dia.” Salah seorang pria melepaskan tali dan memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan.
“Masih hidup. Ayo kita bawa ke rumah sakit,” usul pria itu lagi.
“Naik apa?”
“Tadi ada mobil yang berhenti. Mobil siapa itu!”
“Woey, yang punya mobil siapa? Bolehkah ditumpangi ibu ini ke rumah sakit?”
Sang pemilik mobil menggeleng. “Maaf, biar saya teleponkan ambulans saja, jangan pakai mobil saya. Saya takut di jalan dia malah meninggal.”
“Pelit banget kamu! Coba bayangkan kalau ibu ini keluargamu yang butuh pertolongan dan ada orang sepelit kamu yang tidak meminjamkan mobil. Bagaimana perasaanmu, hah!”
“Ini saya lagi berusaha telepon ambulans!” Pemilik mobil membentak.
“Tolong berhentikan mobil lain yang melintas, semoga ada orang baik yang mau menolong!” ujar yang lain.
Salah seorang mencegat mobil bak terbuka yang melintas. Mobil itu berhenti dan menyanggupi membawa wanita tidak sadarkan diri tersebut ke rumah sakit.
“Ayo kita gotong!” Mereka bahu-membahu mengangkat wanita itu dan dinaikkan ke mobil bak terbuka tersebut.
“Bawa ke rumah sakit terdekat, Mas.”
“Lalu siapa yang bertanggung jawab dengan wanita ini?” tanya pengemudi mobil bak terbuka.
“Nanti saya nyusul.” Pria yang pertama kali menemukan Alula buka suara.
“Oke.”
Mobil bak terbuka itu melaju, membawa wanita itu sendirian di belakang. Terik dan sengatan matahari tidak membuatnya terjaga.
Sepanjang perjalanan, beruntung tidak ada polisi satu pun dijalan raya. Padahal biasanya, di kota tidak boleh membawa orang dalam mobil bak terbuka. Lagi pula, itu kondisi darurat.
Beberapa saat kemudian, mobil itu sampai di rumah sakit. Wanita itu langsung disambut perawat.
“Ini siapa yang bertanggung jawab?” tanya perawat.
“Nanti ada yang kemari katanya, Sus. Saya hanya bertugas mengantar saja,” ujar sang pengemudi.
Tanpa membuang waktu, pengemudi itu meninggalkan rumah sakit.
Sementara wanita itu, Alula. Ia mulai ditangani meski tanpa identitas dan orang yang mendampingi.
“Apa keluarga atau kerabatnya sudah datang?” tanya dokter yang menangani Alula.
“Belum, Dok.”
“Wanita ini sangat lemas dan perlu penanganan lebih lanjut. Bagaimana kita bisa melakukan itu kalau kita tidak tahu riwayat seperti alergi obat atau riwayat penyakit yang diderita pasien?” Dokter kembali berbicara.
“Ya sudah, Kita tangani sebisa kita dulu, penanganan awal. Suster, tolong gantikan bajunya yang penuh lumpur ini dengan baju kering dan bersih.” Dokter kembali memberi titah.
Dengan cekatan, tenaga medis menangani Alula. Mereka mengutamakan keselamatan pasien walaupun pasien itu tidak jelas identitasnya. Oksigen, infus, dan alat penunjang lain dipasang.
Tiba-tiba, tubuh Alula mengalami kejang. Para tenaga medis kembali siaga. Di salah satu ranjang ruang IGD itu terjadi ketegangan.
Saat bersamaan, di belahan bumi lain ketegangan juga terjadi. Yongki menarik napas dalam dan mengeluarkannya pelan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Alula ....”