Part 1
PROSES REVISI
Maaf kalau masih ada kesalahan di tulisan author niwi, hpku kentang gengs wkwkwk suka ngelag
Wajib follow hehehe
1-Just Married?
Seorang anak kecil perempuan berusia 5 tahun yang akan memasuki umur 6 tahun dan masih menduduki taman kanak-kanak kelas B (unggulan) . Ia menatap sekitar luar kelasnya dan pemandangannya yang membuatnya sedih adalah melihat banyaknya teman-temannya yang dijemput bahkan ditemani oleh mamanya di dalam kelas. Sungguh itu menyesakkan dadanya, telah sekian lama dirinya menanti kehadiran mamanya dalam kehidupannya dan banyak sekali harapan yang ia punya jika nantinya memiliki sosok mama.
Rasa ingin dibelai rambutnya, dimanja, dikecup keningnya sebelum tidur dan lain sebagainya. Anak perempuan berambut pendek dan berponi sampai alis dihiasi bando berwarna merah muda di atas kepalanya. Bibirnya maju ke depan sambil mendengus kecil. Kedua tangannya memainkan tali tasnya dan kedua kakinya diayunkan ke depan karena ia duduk dengan kaki yang tak sampai menyentuh lantai latar kelasnya.
"Papa lama ini, capek Jessi nungguin papa." Bibir mungilnya mencebik kesal karena papanya yang tak kunjung menjemputnya pulang.
Jessica Kylie Bernard, nama lengkap anak perempuan itu dan kini memilih melangkahkan kakinya ke tempat bermain sekolahnya.
Pipinya mengembung, bibirnya masih dalam posisi maju ke depan dan mata bulatnya sibuk memandangi teman-temannya yang satu per satu meninggalkan sekolah. Selalu begitu dan ingin rasanya menangis kencang sembari menyuarakan keinginannya ialah ingin dijemput mama bukan papa seperti teman-temannya yang lain. Tapi apalah daya dirinya tak memiliki sosok mama sejak lahir di dunia, papanya tak pernah menjawab apa yang ia tanyakan seputar soal mama. Ia iri itu pasti dan masih memandang sendu ketika ada anak seusianya melintas di hadapannya sambil disuapin oleh mamanya.
"Jessi ingin mama." Pelupuk matanya mulai berair dan setetes demi tetes air matanya jatuh dipipinya. Menangis tanpa suara selalu dilakukan saat tak bersama keluarganya, membiarkan air matanya makin banyak berjatuhan dan tak ada niatan mengusap jejak-jejak air matanya dipipinya.
" Lapel." Jessi yang masih cadel belum bisa mengatakan huruf r secara sempurna.
Tangan mungilnya merogoh saku baju seragamnya, ada selembar uang lima ribu di sana dan diambilnya untuk membeli jajan.
"Beli jajan dulu deh." Jessi berlari kecil saat matanya tertuju sosok penjual roti burger yang sepertinya pedagang baru di pinggir latar halaman sekolahannya.
"Beli." Jessi tersenyum lebar sembari mendongakkan wajahnya ternyata sosok penjual roti burger itu adalah seorang wanita yang masih muda dan wajahnya yang ramah itu seketika Jessi kagum dan terpesona.
"Tante cuantik." Komentar Jessi dengan suara cemprengnya.
"Beli apa anak manis?" tanya wanita itu bersuara lembut pada Jessi.
"Beli bulgel hehe." Jessi menyengir lebar.
"Eh masih cadel. Cantik sekali kamu sayang, namanya siapa?" tanya wanita berusia 24 tahun itu pada Jessi sambil membuatkan burger untuk anak tersebut.
"Nama aku Jessica tapi aku lebih suka suka dipanggil Jessi. Tante juga namanya siapa?" tanya Jessi balik.
"Nama tante, Amanda." Amanda Charlotte merasa gemas mendengar suara cempreng Jessi apalagi ketika suara Jessi tengah tertawa renyah.
"Tante bukain, botol minum Jessi. Jessi tidak kuat." Jessi kesulitan membuka botol minumnya dan disodorkanlah kepada Amanda.
"Jessi tidak pakai botol yang mudah dibuka? Kalau pakai botol plastik ini kan sulit." Amanda membukakan botol minum untuk Jessi.
"Tadi Jessi lupa bawa minum, ingetnya waktu dipeljalanan telus papa beli di toko pinggil jalan." Setelah itu Jessi meneguk setengah air mineral dibotol tersebut. Jessi duduk di samping Amanda yang memang ada tempat duduk di latar sekolah taman kanak-kanak Cemara atau singkatnya TK Cemara.
"Ini Jessi, sudah matang." Amanda memberikan makanan tersebut kepada Jessi.
"Telima kasih tante Amanda."
"Sama-sama Jessi."
Saatnya Amanda mulai membereskan dagangannya karena sekolah pun juga sudah sepi. Bukan hanya dirinya saja melainkan pedagang lainnya juga dan di sini pula tak sembarang menjual jajanan untuk anak-anak.
"Tante, Jessi balu lihat tante jualan disini."
"Iya tante baru jualan hari ini."
"Oh gitu, enak lho tante." Jessi melahap burger hasil masakan Amanda yang benar-benar enak sekali dan sampai tak sadar Jessi makan belepotan.
Amanda melihat itu langsung mengusap lembut belepotan Jessi dengan tisu.
"Tante jangan pulang dulu ya, Jessi nanti sendilian kan takut." pinta Jessi ketika Amanda telah selesai membereskan dagangannya.
"Iya, tante temenin." Jawaban Amanda tentu membuat Jessi lega.
"Tante lumahnya dimana?" tanya Jessi kepo.
"Rumahnya tante tidak jauh dari sini kok, tinggal lewat gang itu terus lurus mentok. Rumah tante bercat biru tua." Amanda menunjuk ke arah luar gerbang sekolah dan disana memang terdapat gang--rumahnya.
"Itu gang buntu ya tante?" Jessi menunjuk gang di seberang jalan depannya.
"Iya. Terus Rumah Jessi dimana?"
"Agak jauh tante, andai lumah deket sama sekolah pasti Jessi udah pulang duluan."
"Jessi masih kecil, jangan pulang sendirian." Amanda merapikan rambut Jessi yang nampak berantakkan.
"Lagian papa lama kalau jemput Jessi."
"Papa?"
"Jessi gak punya mama." Raut wajah Jessi berubah dan itu membuat Amanda ikut sedih mendengarnya.
Anak perempuan seusia Jessi mengalami kehidupan yang berat. Amanda merangkul Jessi dan Jessi tidak menolak karena rasanya begitu nyaman.
"Jessi ingin mama hiks hiks." Amanda tersentak kaget, tiba-tiba Jessi menangis dan memeluk perutnya dari samping.
"Jessi." Amanda bingung namun tangannya bergerak menepuk pelan punggung Jessi.
'Duh papanya mana ya? Udah mau siang ini dan aku mau kerja juga setelah ini'--batin Amanda seraya celingak-celingukkan dan berharap papanya Jessi segera datang.
"Jessi berhenti ya nangisnya, nanti papanya Jessi gak dateng-dateng kalau Jessi tetap nangis gini." Amanda tak tega kala Jessi terlihat sesenggukkan, sepertinya anak perempuan itu mengeluarkan apa yang dipendamnya sampai menangis dan memeluknya erat.
"Benal begitu tante?" tanya Jessi sambil mendongakkan wajahnya.
"Iya Jessi." Amanda menyurai sela-sela rambut Jessi kemudian menangkup pipi Jessi yang nampak chubby.
"Tante doakan Jessi cepat punya mama."
"Kenapa gak tante aja yang jadi mama Jessi?" Jessi tersenyum lebar sampai menunjukkan giginya.
"Eh? Enggak bisa." Amanda menggelengkan kepalanya.
"Kok gak bisa tante?" Bibir Jessi maju ke depan lagi. Amanda yang gemas itu pun mencubit pipi Jessi.
"Kalau tante jadi mama kamu ya harus nikah sama papamu dan itu tidak mungkin." Wajah teduh Amanda membuat Jessi merasa nyaman memandangi sosok wanita dewasa di sampingnya.
"Ya sudah nanti Jessi minta ke papa buat nikahin tante." Mungkin karena lamanya tak memiliki sosok figur seorang ibu membuat Jessi merasa disayang oleh Amanda sekarang.
Amanda yang tak mau membuat anak itu sedih lagi hanya mengangguk saja dan tepat saat itu juga terdengar klakson mobil berhenti di depan mereka.
"Itu mobilnya papa." Amanda membantu Jessi turun dari duduknya dan keduanya kini berdiri menatap sosok laki-laki berperawakan tinggi yang baru saja keluar dari mobil mewah berwarna hitam.
" Papa!" Pekik Jessi sembari merentangkan kedua tangannya ke atas dan laki-laki itu langsung menggendong Jessi.
Amanda menelan salivanya susah payah saat sorot mata tajam itu mengarah padanya, laki-laki melepas kaca matanya dan tatapannya begitu datar sekali sesekali mengangguk saja mendengar celotehan putrinya tentang kegiatan sekolah hari ini.
"Trim's." Singkat pria tersebut lalu membalikkan tubuhnya.
"Sama-sama, Pak." Amanda tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya meski tak dilihat pria itu.
"Oh ya papa, tante itu baik lo bla bla bla...." Jessi tersenyum cerah dan sayangnya papanya hanya mengangguk saja.
"Masuk!" perintahnya pada Jessi setelah menurunkan Jessi di depan pintu yang baru dibuka olehnya.
Jessi mencebikkan bibirnya kesal lalu masuk ke dalam mobil. Anak itu melirik ke jendela dan disana Amanda melambaikan tangannya ke arahnya.
"TANTE " Teriak Jessi membalas lambaian tangan Amanda dengan antusias. Jessi terdiam saat papanya memasang sabuk pengaman ke tubuhnya lalu kembali melambaikan tangannya ke Amanda.
Tak lama mobil yang ditumpangi Jessi dan papanya melaju dengan kecepatan sedang.
Amanda sedari tadi memang memantau Jessi sampai benar-benar pergi dari sini. Ia merasa iba pada anak kecil itu karena sepertinya papanya seolah tak peduli apa yang diucapkannya.
"Itu benar papanya apa bukan sih? Kok serem banget, Jessi pun gak ada takutnya pula." Amanda mengusap lengannya bergantian dan bergidik ngeri membayangkan wajah datar papanya Jessi.
"Anak itu kasihan sekali, pengen banget punya mama kayaknya tapi siapa yang mau juga sih emm maksudnya papanya kayak gitu seremnya," ujar Amanda kembali bergidik dan segera ingin pulang ke rumah sekarang.
...
"Papa, tante tadi baik jadiin mamanya Jessi ya?" Jessi menoleh ke papanya yang sibuk menyetir mobil.
Alden Barnard, lelaki berusia 35 tahun dan seorang duda beranak satu. Alden ialah sosok pengusaha fashion yang merk dagangannya laris manis dipasaran masa kini karena aneka model pakaian menyesuaikan jaman kekinian ala-ala anak muda jaman sekarang. Tak hanya pakaian saja, ia juga menjadi juragan kontrakan seratus pintu yang letaknya di dekat kantornya dan rata-rata yang menghuni disana dari orang-orang perantau yang kerja di perusahaannya serta memiliki 5 buah gedung villa berada di Bali ditambah baru-baru mendapatkan apresiasi dari publik karena kinerjanya dalam memimpin perusahaan semakin maju, bagus dan banyaknya inovasi muncul disana. Dari situ pula perusahaan fashionnya ini diminati oleh kalangan artis-artis hiburan tanah air dan
"Kamu baru mengenal orang asing, jangan beranggapan kalau orang itu baik dan jarang terlalu berharap ingin punya mama!" tegur Alden yang makin lama risih juga mendengar keinginan anaknya itu.
"Hiks hiks pokoknya Jessi ingin punya mama." Jessi menatap ke arah jendela sambil menangis sesenggukkan. Lagi dan lagi keinginannya itu sulit dikabulkan oleh papanya.
"Besok dijemput sama bibi dan sopir pribadi ya? Jangan minta ke papa lagi, papa sibuk kerja dan pulangnya juga malam." Alden melirik sekilas putri kecilnya yang masih menangis dan enggan menatapnya.
"Jessi selalu lihat temen-temen dijemput sama olang tuanya kan Jessi jadi pengen, Jessi pengen dijemput sama mama." Jessi memeluk ransel mininya dan masih menangis.
Alden memilih diam saja dan setiba di rumah ternyata ada orang tuanya disana alias kakek--neneknya Jessi. Jessi bergegas keluar dari mobilnya papanya setelah mobil itu berhenti di depan gerbang rumahnya yang baru saja dibuka oleh dua orang satpam--penjaga rumahnya.
Alden melemparkan kunci pada salah satu satpamnya, setelah itu dirinya masuk ke dalam rumah. Alden disambut suara omelan orang tuanya dan putrinya berada di dalam gendongannya maminya.
"Oma, papa jahat tadi malahin Jessi. Kan Jessi takut." Jessi mengadu pada omanya---Iris Jolicia---ibunya Alden.
"Kamu marahin cucu kesayangan oma ya!" Iris melototkan matanya menatap Alden yang seenak jidatnya melintas dari hadapannya.
"Alden, mamimu itu nasehatin kamu seharusnya kamu dengerin dulu!" tegur Adam--ayah Alden yang berada di kursi roda. Memang Adam dinyatakan lumpuh permanen karena kecelakaan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
"Aku sudah bilang ke kalian berulang kali, jangan manjain Jessi terus!" Alden berdecak kesal karena orang tuanya terlalu ikut campur baginya.
"Oma, opa Jessi pengen mama." Jessi memasang muka seimut mungkin agar omanya mau menuruti permintaannya.
Alden langsung ngancir secepatnya ke lantai dua menuju kamarnya setelah mendengar permintaan anaknya itu. Ia memilih secepatnya kembali ke kantornya karena pekerjaannya tadi belum sempat selesai harus menjemput Jessi di sekolah.
Iris dan Adam hanya menghela napasnya pasrah mendengar permintaan Jessi yang tak mungkin dikabulkan oleh Alden.
...
Di tempat lain...
Amanda baru saja selesai berdagang kini saat tiba di rumah malah mendapati ibunya---Erlena Caroline tengah menjejerkan totebag belanjaannya. Wanita itu menghembuskan napasnya lelah melihat banyaknya belanjaan ibunya dan ingin rasanya marah, mengeluh namun percuma saja, dirinya tak sanggup melakukan hal itu.
"Eh kamu sudah pulang? Lihat nih ibu beliin dress cantik buat kamu."
"Uang dari mana?" tanya Amanda dengan raut wajah datarnya menatap Erlena yang tengah menunjukkan dress warna merah muda padanya.
"Kamu sih ngasih uang kemarin ke ibu kurang, ya terpaksa ibu ngambil uang kamu di lemari." Erlena tersenyum lebar dan tak merasa bahwa ucapannya itu menyakiti hati sang anak yang sudah bekerja keras seharian.
"Bu, tiap hari Amanda kasih uang ke ibu itu masih belum cukup? Kalau ibu ambil terus uang di lemariku, bayar hutang ibu sama alm. Ayah pakai uang siapa? Hutang lagi?" Amanda bernapas berat.
"Seharusnya kamu berterima kasih sama ibu, ibu udah beli apapun dan terlihat eksis di depan tetangga," balas Erlena, terdengar suaranya begitu santai sekali.
"Ibu nurutin gengsi tidak akan ada habisnya! Hidup itu apa adanya bu, kalau emang gak punya yaudah seadanya saja. Gengsi juga merugikan ibu sendiri." Amanda tak habis pikir tentang sikap Erlena yang semakin menjadi-jadi, ibunya memang gengsian dan tak mau kalah dengab tetangga lainnya.
"Kamu jangan jadi anak durhaka! Ibu itu pengen seneng, ngenes terus hidup ibu ini apalagi bapakmu!" Erlena beranjak berdiri dan mendengus kesal mendapat omelan dari anak sulungnya.
"Bukan gitu maksud Amanda. Ibu, keuangan keluarga kita lagi terpuruk ditambah hutang-hutang ibu sama bapak pun banyak dimana-mana bahkan kalau ditotalin mencapai ratusan juta. Amanda kerja keras seharian untuk membayar utang dan jika utang itu semuanya sudah lunas. Kita bisa hidup tenang. Belum lagi biaya sekolah Aric, kontrakan rumah, buat makan dan lain-lain." Manik Amanda mulai berkaca-kaca dan suaranya terdengar serak.
" a itu kewajiban kamu sebagai anak, masak ngeluh ke ibu. Kamu pikir ibu merawatmu sampai tumbuh besar kayak gini gak pake uang apa? Enak aja ibu doang yang ngerasain susah, kamu juga harus merasakan apa yang dirasakan ibu dulu." Erlena pun membawa belanjaan ke dalam kamarnya, meninggalkan Amanda yang berdiri mematung di ruang tamu.
Amanda memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya tak menyangka ibunya masih mengucapkan hal itu.
Beberapa menit kemudian Amanda telah memakai seragam kerja, ia menjadi seorang kasir di supermarket dan baru bekerja selama satu bulan ini. Amanda memang memiliki banyak pekerjaan dan sering keluar dari pekerjaannya jika terasa jenuh.
"Kak Manda." panggil Aric Damarion--adik Amanda. Laki-laki remaja berusia 15 tahun dan masih menduduki bangku sekoah menengah pertama.
"Iya Aric, oh ya gimana sppmu? Kakak udah bayar tadi siang." Amanda tersenyum menatap adiknya baru saja keluar dari kamar.
"Udah kak, cuman bulan ini belum dibayar kan kak? Soalnya ini kan mau akhir bulan."
"Bakal dibayar kok, terus kamu milih study tour kemana? Ingin ke Bali?" tanya Amanda sembari tangannya merangkul Aric.
"Pengen sih tapi kalau gak bisa ke sana bisa di Kediri aja kok, ke tahu taqwa." Aric tersenyum lebar walau hatinya berharap sekali bisa merasakan liburan ke Bali.
"Kakak punya tabungan buat kamu study tour, jangan bilang ke ibu ya." Bisik Amansa tepat disisi telinga Aric.
"Beneran kak?"
"YEEE!" Aric senang bukan main rasanya.
"Asal kamu harus balas kakak ya, nilai kamu diusahakan bagus agar dapwr sekolah negeri."
"Siap kak!"
"Ya sudah Aric mau main dulu ya kak." pamit Aric sembari mencium punggung tangan Amanda.
"Hati-hati, jangan pulang larut malam. Kamu harus jaga ibu selama kakak gak ada di rumah."
"Pasti kak!" Aric pun pergi dengan sepedanya.
Amanda yang melihat ibunya tidur pulas di sofa pun langsung menyelimuti ibunya yang nampaknya kedinginan. Ia tak bisa membangunkan Erlena karena bisa marah besar kalau acara tidurnya diganggu.
Selama dalam perjalanan menuju supermarket, Amanda merasa ada seseorang yang menguntitnya namun Amanda bersikap biasa saja sebab suasana jalanan pun ramai dan ia bisa meminta pertolongan orang-orang di sekitar sini jika dirasa dalam bahaya.
Setiba di supermarket yang ternyata tak banyak pengunjung, segera Amanda menuju ruang belakang untuk mempersiapkan bekerja dan menyimpan barangnya ke loker. Setelah itu barulah dirinya menggantikan temannya, ia langsung melayani pembeli dengan senyuman ramah dan bersuara lembut.
Lelah itu pasti namun jika dirinya menyerah begitu saja, sampai kapan penderitaan ini berakhir? Harus bisa berdiri kokoh dalam kehidupan yang keras ini dan hidup ini pilihan. Tinggal pilih mau hidup terpuruk terus atau tetqp susah dengan hutang begitu banyak.
Amanda memiliki mimpi tapi belum bisa terpenuhi. Ia masih memikirkan hutang kedua orang tuanya yang harus dibayarkan karena ia juga takut dikejar dekolektor.
Seorang pembeli menyodorkan minuman dingin dan roti di meja kasir. Amanda menatap orang itu yang memakai jaket hitam polos, dikepalanya terdapat cupluk dari jaket itu yang kebesaran dan wajahnya tertutup masker berwarna hitam. Ketika Amanda bertemu pandang dengan mata orang itu, Amanda mengkerutkan dahinya heran. Ia merasa tak asing tapi karena orang itu tak menyangka akhirnya ia menganggap orang itu hanya orang biasa.
Tanpa Amanda ketahui, orang itu menyeringai dibalik masker yang dipakainya. Setelah dilayani oleh Amanda, orang itu pergi berlalu tanpa sepatah kata.
"Manda!"Tepat saat itu, sosok wanita seusianya berteriak memanggilnya tanpa rasa malu dilihat orang pembeli di supermarket ini.
"Freya!" Amanda tersenyum menyapa balik temannya yang sepertinya mampir ke tempatnya bekerja. Dialah Freya Godehyda, teman semasa kecil hingga dewasa walau Amanda tak sukses Freya yang seorang pekerja tetap di perusahaan ternama.
"Aku bawain kamu makanan." Freya masuk ke dalam kasir dan duduk di samping Amanda. Memang Freya sudah terbiasa begini tapi ia hanya sebntar saja.
"Ya ampun Frey, gak usah repit repot sekali. Makasih lho." Amanda tersenyum melihat satu bungkus nasi goreng pemberian dari Freya.
"Gak papa Man, santai aja aku. Jangan telat makan, inget ya kamu punya penyakit maag." Freya menepuk pundak Amanda.
"Ay ay kapten!" Amanda dan Freya terkekeh pelan.
"Aku numpang istirahat di sini ya, Man. Aku capek banget, gak ada atasan kamu kan hari ini?" Teringat beberapa waktu lalu Freya sempat dimarahi oleh atasan Amanda karena berada di kasir dan Freya yang bukan pegawan kasir di sana.
"Kurang satu jam lagi akan ke sini."
"Kamu sendirian ya Man?" Freya melihat Amanda bekerja sendiri di kasir.
"Mungkin yang lain lagi telat."
"Enak bener mereka, kamu kerja sendirian pasti kewalahan deh."
"Aku udah terbiasa lagian kan pengunjung gak begitu banyak." Amanda menikmati pekerjaan ini, apapun pahitnya bekerja tetaplah berusaha tegar.
"Semangat Amanda!" seru Freya menyemangati temannya yang sibuk bekerja.
Andai Freya mendapat jabatan tinggi atau naik jabatan. Ia pasti bisa membantu sahabatnya bekerja di kantornya sebab bakat Amanda cocok di kantornya dan paling dibutuhkan di perusahaan---tempat dirinya bekerja.
...
Bayangan visual author Niwi :
Alden : Park Hae Jin
Amanda : Sejeong Gugudan
*************************************