Dokter Nick dan Jenderal Dipa berjalan dengan sangat cepat, keduanya menuju pusat informasi untuk mengumumkan apa yang Dokter Nick temukan di laboratoriumnya. Selama perjalanan yang sudah lebih dari setengah jalan itu, Dokter Nick telah memberitahukan semuanya pada Jenderal Dipa.
"Bagaimana bisa virus itu membuat mereka bermutasi dan berubah jadi seperti yang kamu katakan?" tanya Jenderal Dipa.
"Sepertinya virus itu menyatu dengan sel-sel DNA para terinfeksi dan lalu mengubah susunannya sehingga terjadilah mutasi," jawab Dokter Nick.
"Kalau begitu, sehabis dari sini aku akan langsung menuju ke pangkalanku untuk memberitahukan hal ini pada semuanya sembari bersiap untuk menangani skenario terburuk dari bermutasinya para terinfeksi ini," kata Jenderal Dipa.
"Persiapkan dengan baik karena menurut dugaanku akan terjadi sebuah kekacauan yang besar karena masalah ini." Wajah Dokter Nick menampilkan ekspresi kekhawatiran yang begitu jelas.
Setelah keduanya berjalan cukup lama, kini mereka telah tiba di ruang pusat informasi. Namun, sepertinya mereka terlambat.
"Dokter Nicky, Jenderal Dipanegara," panggil seseorang dengan wajah yang terlihat sangat panik.
"Ada apa?" tanya Dokter Nick.
"Ini gawat, para terinfeksi banyak yang telah bermutasi dan berubah menjadi buas. Sudah dari beberapa saat yang lalu banyak sekali laporan yang masuk mengenai hal ini" jawab orang itu.
Setelah mendengar apa yang orang itu katakan, Dokter Nick dan Jenderal Dipa pun seketika saling tatap satu sama lain.
"Aku akan pergi sekarang," kata Jenderal Dipa.
Ia harus segera bergerak untuk menyelamatkan banyak nyawa yang kini dalam bahaya.
"Berhati-hatilah," balas Dokter Nick.
Kemudian, ia dan orang yang memberitahu tadi lantas bergegas menuju ke tempat berkumpulnya para profesor, dokter dan ilmuwan untuk membahas tentang masalah ini.
Masalah wabah penyakit ini kini telah berubah menjadi sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan.
***
Di rumah Keluarga Rahadian, Kartini dan Adipati berjalan secepat yang mereka bisa menjauh dari kamar Adipati. Kartini terus merangkul Adipati yang tubuhnya tidak bertenaga untuk terus berjalan. Walaupun sulit, tapi Kartini tidak ingin meninggalkan Adipati.
"Ayo, Di. Kamu pasti bisa," ucap Kartini.
Adipati menggeleng dan berkata, "Tidak, Kak. Kakak pergi saja, tinggalkan aku sendirian di sini, aku hanyalah beban. Selamatkan diri Kakak."
"Tidak! Kita harus tetap hidup! Kamu dan Kakak!" ucap Kartini dengan tegas.
Mereka terus berjalan menuju ruang kerja sang Ayah untuk berlindung sembari mengambil sesuatu. Kartini memiliki sebuah rencana untuk menyelamatkan nyawanya dan juga nyawa Adipati.
Sementara itu, Bunda yang telah menjadi sesosok monster, kini merangkak di atap dengan lidah panjangnya yang menjulur. Ia terus mengejar Kartini dan Adipati dengan wajah yang terlihat sangat kelaparan.
Setelah penuh dengan perjuangan, akhirnya Kartini dan Adipati tiba di ruangan kerja sang Ayah. Kartini terlebih dahulu mendudukkan Adipati di kursi yang ada di sana dan baru setelahnya ia mengunci pintu ruangan tersebut.
Setelah selesai mengamankan pintu dan ruangan, Kartini bergegas pergi ke tempat ayahnya biasa menyimpan senjata api, yaitu di brankas.
"Apa yang Kakak lakukan?" tanya Adipati yang melihat Kartini sedang mencoba membuka brankas.
"Mengambil senjata untuk melindungi kita," jawab Kartini.
"Memangnya Kakak bisa menggunakan senjata?" tanya Adipati lagi.
"Kamu tenang saja, Ayah pernah mengajari Kakak cara menggunakannya." Kartini tampak sangat percaya diri ketika mengatakan hal tersebut.
Adipati pun percaya pada Kartini dan lalu tidak melontarkan pertanyaan lagi.
Ketika Kartini sedang menyiapkan senjata yang akan ia gunakan, tiba-tiba saja pintu yang sudah ia kunci digebrak dari luar. Gebrakannya sangat kuat sehingga menimbulkan suara keras yang sangat mengganggu. Suasana tegang seketika terasa di dalam ruangan itu.
"Baik, aku siap!" ucap Kartini dan lalu menarik pelatuk pada senjata yang sedang ia pegang.
Gebrakan pun terasa semakin keras. Pintu besar yang sangat kuat dan kokoh itu bahkan sampai berguncang cukup hebat saat makhluk yang ada di baliknya menggebraknya.
Dengan senjata api di tangannya, Kartini kini berdiri di depan pintu. Ia terlihat benar-benar sangat yakin mau menghadapi Bunda yang telah bermutasi menjadi monster. Tangannya menggenggam kuat senjata api yang sedang ia pegang dan matanya terus fokus menatap ke arah pintu yang terus berguncang dengan begitu hebat. Adipati yang berada di belakang Kartini merasa sangat gugup sekaligus takut. Ia tidak tahu apakah ia dan kakaknya akan selamat dari semua ini.
Saat Kartini mengarahkan senjata api yang ia pegang ke arah pintu, tiba-tiba saja pintu berhenti digebrak.
"Loh? Apa yang terjadi?" batin Kartini bertanya-tanya.
Hening dan tenang. Itulah yang dirasakan oleh Kartini dan juga Adipati. Suara detak jantung mereka yang berdetak sangat kencang pun dapat terdengar dengan begitu jelas.
Keduanya kini terdiam dan terus menunggu. Sampai beberapa menit berlalu tidak ada lagi yang menggebrak pintu. Kartini bahkan sampai menurunkan senjatanya karena merasa kondisi sudah aman.
Jantung keduanya perlahan berdetak dengan stabil. Keadaan sudah benar-benar tenang dan aman sekarang.
"Syukurlah," batin Kartini. Ia kini bisa bernapas dengan lega.
Namun, mata Kartini seketika membulat sempurna saat ia melihat bayangan Bunda dari pantulan lemari piala yang ada di depannya. Bunda sedang merangkak keluar dari lubang ventilasi udara secara mengendap-endap.
Kartini dengan cepat berbalik dan lalu melepaskan sebuah tembakan ke arah Bunda. Adipati langsung menutup kedua telinganya saat suara tembakan yang berisik itu terdengar, sementara Bunda terjatuh dari atas sana.
"Mendekat ke Kakak!" ucap Kartini pada Adipati.
Adipati langsung berlari sekuat tenaga mendekat ke arah Kartini. Ia dengan cepat berlindung di belakang kakaknya yang sangat pemberani itu.
Pemicu senjata api pun kembali Kartini tarik. Ia lalu mengarahkan senjata apinya ke arah meja kerja ayahnya tempat Bunda terjatuh. Jantungnya kembali berdetak dengan sangat cepat.
"Apa Bunda baik-baik saja?" tanya Adipati.
Kartini menggeleng. Ia tidak tahu apakah Bunda masih hidup atau telah tewas karena tembakannya tadi. Walaupun terlihat berani, Kartini sebenarnya merasa sangat menyesal karena telah menembak Bunda. Tapi ia harus melakukannya demi melindungi nyawanya dan juga Adipati.
Keadaan kembali tenang. Kini keduanya menunggu pergerakan dari Bunda yang terhalang oleh meja kerja ayah mereka.
"Kakak akan mengecek," kata Kartini pada Adipati.
Ia berjalan mendekat ke arah meja secara perlahan. Kedua tangannya terus menggenggam senjata api dengan begitu erat.
Saat ini, ia sudah berada dekat sekali dengan meja. Dan ketika ia coba untuk melongok, Bunda tiba-tiba saja melompat ke arahnya hingga tubuhnya terhempas ke arah belakang. Senjata yang ia pegang pun terlepas dan kini ia mencoba menahan Bunda yang sedang mencoba untuk memakannya.
Selama Bunda mencoba memakan Kartini, tubuhnya bertransformasi. Ia mengeluarkan sepasang tanduk di kepalanya dan mulut robeknya berubah menjadi seperti bentuk bunga yang baru saja mekar. Tenaganya bahkan bertambah semakin kuat dan itu membuat Kartini sangat kesulitan untuk menahannya.
Ketika Kartini hampir kalah, Adipati yang tidak bisa berbuat banyak kini berteriak memanggil Bunda.
"Bunda. Sadarlah!" kata Adipati dengan suara yang bergetar. "Ini kami, anak-anak Bunda." Ia pun mulai menangis sekarang.
Dan secara ajaib, Bunda yang sebelumnya tampak liar dan bahkan sudah sedikit melukai Kartini, kini berhenti bergerak. Ia seakan-akan mendengarkan perkataan Adipati.
Kartini pun mengambil kesempatan itu untuk mendorong tubuh Bunda agar menyingkir dari atasnya. Ia lalu mengambil senjata api miliknya yang sempat terlepas dan kemudian kembali mendekati Adipati. Namun, ada sesuatu yang kini membuatnya terkejut. Kedua mata Adipati berubah menjadi biru.
"M-matanya ...," batin Kartini yang merasa terkejut.
Namun dengan cepat, ia menyingkirkan semua rasa penasarannya mengenai mata biru Adipati dan lalu kembali fokus dengan apa yang sedang ia hadapi saat ini.
"Ayo kita pergi dari sini," ajak Kartini pada Adipati.
Keduanya dengan cepat keluar dari ruangan itu meninggalkan Bunda yang masih terdiam di tempatnya. Mereka harus segera pergi dari rumah dan mencari tempat yang aman untuk berlindung.
Tak lama setelah kepergian mereka, Bunda yang sebelumnya sempat tersadar, kini kembali kehilangan akal. Tubuhnya pun kembali bertransformasi dengan mengeluarkan empat benda berbentuk seperti cambuk di punggungnya. Ia pun kini kembali mengejar Kartini dan juga Adipati yang telah pergi lumayan jauh.
Sementara itu, Kartini dan Adipati yang kini telah sampai di ruang tengah, terus berjalan secepat yang mereka bisa dengan Kartini yang masih merangkul tubuh Adipati. Mereka sama sekali tidak menoleh ke arah belakang dan terus menatap lurus ke depan. Sampai tiba-tiba saja kaki Adipati ditarik oleh benda panjang yang bentuknya seperti cambuk.
"Kakak!" pekik Adipati.
Kartini dengan sigap memegang tangan Adipati. Ia berusaha agar adiknya itu tidak tertarik ke arah Bunda yang kini telah berada cukup dekat dengan mereka.
"Bertahanlah!" kata Kartini.
Namun, Adipati malah menggeleng dan berkata, "Lepaskan aku, tinggalkan aku di sini. Selamatkan diri Kakak."
Kartini yang tetap teguh ingin selamat bersama-sama dengan adiknya, lantas menembakkan senjata apinya ke arah benda panjang yang melilit kaki Adipati. Setelah bunyi tembakan terdengar, kaki Adipati pun dilepaskan oleh Bunda dan dengan cepat Kartini membantu Adipati untuk berdiri.
"Tetap di belakang Kakak!" pinta Kartini.
Wanita pemberani itu kini mengarahkan senjata apinya yang pelatuknya sudah ia tarik ke arah Bunda. Bunda yang gagal menyeret Adipati, kini tampak kesal dengan Kartini. Ia berteriak ke arah Kartini dan teriakannya terdengar sangat mengerikan.
"Maaf, Bunda. Tapi Kartini tidak takut," ucap Kartini.
Kini, ia harus kembali bertarung melawan Bunda yang sangat ia cintai. Namun, masalah baru pun muncul.
"A-ayah," ucap Adipati.
Kartini mengalihkan pandangannya dan sosok Ayah pun terlihat olehnya. Pria paruh baya itu sudah bertransformasi banyak. Tubuhnya dari kepala sampai kaki terlihat sangat mengerikan. Dia benar-benar sudah menjadi monster. Tapi tidak hanya itu, Bi Narsoh dan Pak Benu, pekerja yang bekerja di rumah Keluarga Rahadian kini juga datang ke ruang tengah. Mereka yang juga telah bertransformasi berjalan dari arah dapur sembari menggeram. Pekerja lainnya yang telah bertransformasi pun mulai berdatangan dan mereka semua tampak sangat kelaparan.
Kartini langsung meneguk ludahnya susah.
"Bagaimana ini?" batin Kartini.
Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Ia tidak bisa menghadapi monster-monster ini sendirian, apalagi dengan satu buah senjata api biasa seperti ini.
Kini, Ayah dan Bunda mulai melakukan pergerakan, mereka mendekat ke arah Kartini dan juga Adipati untuk menerkam keduanya. Kartini lantas menembaki keduanya. Namun, mereka berdua tampak tidak terpengaruh oleh serangan yang diberikan oleh Kartini.
Dan saat keduanya sudah berada tepat di depan Kartini yang saat ini sudah memeluk tubuh Adipati. Tiba-tiba saja keduanya terdiam. Mereka tidak bergerak sama sekali. Kartini yang sedang memeluk Adipati merasa keheranan karena suasana kembali tenang. Ia lantas menoleh ke arah Ayah dan Bunda yang kini diam mematung.
"Apa yang terjadi? Kenapa mereka terdiam?" batin Kartini keheranan.
Ia lalu menoleh ke arah Adipati dan lagi-lagi, ia melihat mata adiknya itu berubah menjadi biru, tapi kali ini diikuti dengan perubahan warna rambutnya yang sebelumnya hitam, kini menjadi warna merah marun. Kini Kartini sadar ada sesuatu yang terjadi pada adiknya.
Sementara itu, Adipati yang menampilkan sorot mata berwarna biru terang, tengah berbicara pada keduanya orang tuanya melalui telepati.
"Ayah, Bunda, ini aku dan Kakak," ucap Adipati. "Tolong sadarlah," lanjutnya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian, tapi aku mohon, kendalikan pikiran kalian."
Adipati mencoba untuk membuat kedua orang tuanya tetap sadar.
"Kami sangat mencintai kalian, jadi tolong sadarlah."
Tepat setelah Adipati berkata seperti itu, Ayah dan Bunda secara bersamaan mengeluarkan air mata. Kartini yang melihat pun meyakini kalau kedua orang tuanya saat ini sedang menangis.
"Ayah, Bunda," ucap Kartini pelan. Ia tanpa sadar juga ikut menangis.
Dan tak lama setelah itu terdengarlah suara Ayah dan Bunda di dalam pikiran Kartini dan juga Adipati.
"Pergilah dari sini," kata Ayah. "Biar Ayah dan Bunda yang menahan Bi Narsoh, Pak Benu dan juga yang lainnya agar tidak mengejar kalian."
"Mereka tidak akan melepaskan kalian sampai mereka mendapatkan kalian," sambung Bunda.
"T-tapi--"
Kata-kata Adipati terpotong.
"Pergilah, kami sudah tidak bisa diselamatkan lagi," kata Bunda.
"Benar," sambung Ayah.
Kartini dan Adipati kini menangis sesenggukan.
"Pergi dan saling melindungilah satu sama lain," ucap Ayah.
"Kami sangat menyayangi kalian," sambung Bunda.
Kartini yang jauh lebih tegar daripada Adipati, lantas menggandeng tangan adiknya itu untuk pergi.
"T-tapi, Kak ...," ucap Adipati.
"Kita harus pergi," ucap Kartini dengan suara yang bergetar.
Keduanya berjalan dengan cepat ke arah pintu keluar dan di saat yang bersamaan, Bi Narsoh, Pak Benu dan juga yang lainnya mulai bergerak untuk mengejar mereka. Namun, Ayah dan Bunda menahan mereka semua sehingga mereka tidak dapat mengejar Kartini dan Adipati. Kini, pertarungan antar monster mutasi pun terjadi.
Kartini yang masih menggandeng tangan Adipati merasa berat meninggalkan kedua orang tuanya.
"Maaf ...," ucap Kartini lirih.
Kedua bersaudara itu kini telah keluar dari rumah besar yang sangat mencekam itu, meninggalkan Ayah dan Bunda yang rela berkorban demi menyelamatkan mereka. Kini, mereka berdua harus mencari tempat bersembunyi yang aman karena mereka yakin, pasti monster-monster lainnya sedang berkeliaran di luar sana.