Masih di hari dan waktu yang sama saat Rakha terbangun dan Kartini mencari obat untuk Adipati, Nando tengah bersiap untuk memulai sarapan paginya. Sebungkus roti menemani pagi Nando yang saat itu terasa begitu kelabu. Tubuhnya demam sangat tinggi dan itu membuat Nando sangat menderita. Untung saja di supermarket tempatnya menetap saat ini, ia masih bisa menemukan makanan dan juga obat-obatan. Setelah sebungkus roti habis, ia pun segera meminum obat penurun panas yang berhasil ia temukan.
Sudah terhitung dua hari pemuda itu tinggal di sana. Ia merasa cukup betah dan nyaman walau beberapa kali Zyn dengan rupa yang berbeda-beda mendatangi tempat itu. Beruntungnya ia memiliki sebuah tempat persembunyian yang aman, yang mana para Zyn tidak akan bisa menemukannya.
Dengan beberapa fasilitas, obat-obatan dan stok makanan yang ada, walau kondisinya sudah kurang baik, Nando bisa bertahan hidup di sana tanpa khawatir kelaparan dan sakit. Namun, sejak ia terbangun dari tidurnya, ia terus mengingat-ingat tentang mimpinya yang bertemu dengan Adipati.
"Apa jangan-jangan mimpi itu adalah sebuah pertanda kalau Adipati berada dekat dengan tempat ini?" batin Nando.
Ia yang saat itu merasa kepalanya sedikit pening, merasa bimbang harus keluar mencari Adipati atau harus tetap diam di tempat itu dan mengabaikan tentang mimpinya.
"Untuk apa aku membahayakan nyawaku hanya untuk suatu hal yang tidak jelas. Apalagi ini menyangkut Adipati! Lebih baik aku tetap diam di sini saja."
Akhirnya, Nando pun memutuskan untuk menetap tinggal di tempat itu tanpa sedikit pun mau keluar dari sana. Tapi, walaupun keputusannya sudah final, Nando tetap masih kepikiran tentang mimpinya itu.
***
Pukul sembilan pagi, Kartini dengan pemukul baseball-nya, kini sedang berjaga sembari menemani Adipati yang tengah tertidur. Tak lama setelah Adipati memakan obat penurun panas yang diberikan Kartini, ia langsung tertidur lelap dan untungnya obat itu sangat manjur karena kini demam yang menyerang Adipati perlahan mulai turun ke suhu normal.
Kartini yang telah mengecek keadaan suhu badan Adipati pun merasa lega. Namun, ia tidak bisa merasa lega sepenuhnya karena Zyn yang sebelumnya ia lawan, saat ini tengah berkeliaran di sekitaran tempatnya tinggal. Itulah sebabnya sejak tadi ia terus menggenggam erat pemukul baseball-nya, berjaga-jaga kalau makhluk itu masuk ke dalam rumah yang saat ini sedang ia dan adiknya itu tempati.
Sementara itu, tepat di samping rumah tempat Kartini dan Adipati berada, sosok Zyn dengan tubuh agak transparan tengah berkeliling ke seluruh bagian ruangan yang ada di rumah itu. Makhluk itu adalah Zyn yang sebelumnya Kartini lawan dan karena makhluk pemakan daging segar itu belum menemukan satu pun mangsa untuk disantap, ia pun terus berkeliling dan mencari sesuatu yang dapat ia makan.
Dengan tubuhnya yang berukuran seperti manusia normal pada umumnya, Zyn transparan itu tidak kesulitan untuk menjelajahi seisi rumah. Ia bisa bergerak leluasa karena setiap ruangan yang ia jelajahi tidak mempersempit dirinya untuk bergerak.
Kini, Zyn yang sudah kepalang kelaparan itu tengah berdiri di depan sebuah lemari berbahan dasar kayu jati yang masih berdiri dengan kokoh. Pintu lemari itu tertutup rapat dan sepertinya Zyn mencurigai ada orang di dalamnya.
Dengan tenaga sedang, Zyn pun meninju pintu lemari itu hingga hancur dan suara tinjuannya itu terdengar sampai ke rumah sebelahnya.
Setelah pintu lemari hancur dan bagian dalamnya terlihat, Zyn langsung menggeram kesal karena tidak mendapati satu pun sosok manusia di sana, yang ada hanya pakaian yang terlipat rapi dan beberapa kotak parfum kosong yang disusun berjejer di pojok-pojok bagian dalam lemari.
Karena tidak menemukan makanan di tempat itu, Zyn pun bergegas untuk berpindah ke rumah yang ada di sebelahnya.
Sementara itu, Kartini yang sebelumnya mendengar ada suara benda yang dipukul dengan sangat keras, seketika langsung memasang kuda-kuda bertarungnya. Ia yakin, pasti Zyn yang ia pukul sebelumnya, yang menyebabkan suara keras tersebut.
"Aku harus bisa melawannya. Sehebat apa pun regenerasi tubuh yang dimilikinya, pasti makhluk itu tetap memiliki sebuah kelemahan!" batin Kartini.
Tak lama kemudian, suara pintu yang hancur pun terdengar. Pintu yang hancur itu adalah pintu rumah tempat Kartini dan Adipati berada saat ini. Dengan keberanian luar biasa yang dimilikinya, Kartini pun bersiap untuk kembali melawan Zyn bertubuh transparan itu.
Dengan langkahnya yang perlahan, Zyn mulai memasuki rumah. Kedua mata bulat besarnya yang terlihat seperti akan keluar itu terus menatapi seisi ruangan tempatnya berada saat ini. Jika ia tidak menemukan apa pun di ruangan tempatnya berada sekarang, maka ia akan lanjut memeriksa ruangan selanjutnya.
Kini makhluk itu berjalan ke salah satu kamar. Ia menengok ke dalam kamar dan ternyata kamar itu kosong. Ia kemudian beralih lagi ke ruangan yang ada di samping kamar tersebut. Ketika ia menengok ke dalamnya, kamar itu ternyata juga kosong. Kini kedua mata Zyn tertuju pada ruangan dapur yang ada di depan sana, yang mana ruangan itu adalah tempat di mana Kartini dan Adipati berada.
Suara langkah Zyn yang semakin mendekat pun terdengar di gendang telinga Kartini. Wanita itu lantas segera bersiap untuk melawan makhluk tersebut karena untuk pergi pun ia tidak bisa. Kondisi Adipati terlalu lemah.
"Semesta, berikanlah aku kekuatan dan keberuntungan untuk melawan monster ini," batin Kartini.
Dan tak lama kemudian, terlihatlah cakar-cakar tajam Zyn yang memegangi dinding pintu masuk dapur. Kartini pun semakin menggenggam erat pemukul baseball-nya. Kuda-kudanya pun semakin ia mantapkan demi memaksimalkan performa bertarungnya.
Ketika Zyn mulai memunculkan kepalanya dari balik dinding, Kartini pun bersiap untuk langsung menyerang maju. Namun, ada hal aneh yang terjadi saat itu. Zyn dengan kedua mata bulat besar itu malah celingak-celinguk mencari sesuatu. Ia seperti tidak melihat keberadaan Kartini dan Adipati yang saat ini sedang berada tepat di depannya. Kartini yang awalnya ingin langsung menyerang, lantas membatalkan niatnya itu. Ia sadar dengan tingkah aneh yang ditunjukkan oleh Zyn yang ada di depannya saat ini.
"Tunggu, apa dia tidak melihatku?" batin Kartini bertanya-tanya.
Wanita itu kemudian mencoba untuk melambaikan tangannya, dan ternyata Zyn sama sekali tidak meresponsnya. Ia kemudian mencoba mendekatinya secara perlahan dan ketika ia sudah berada sangat dekat dengan Zyn bermata bulat besar itu, Kartini pun kembali melambaikan tangannya. Dan benar saja, Zyn tidak dapat melihat keberadaannya.
"B-bagaimana bisa?" Kartini sungguh merasa kebingungan.
Tak lama kemudian, Zyn yang tidak menemukan apa pun di ruangan itu, lantas segera beranjak pergi. Ia akan segera pergi ke rumah lainnya, mencari makanan untuk mengisi perutnya yang sangat kelaparan.
Sepeninggal Zyn, Kartini yang masih kebingungan dan bertanya-tanya, merasa lega dan bersyukur karena makhluk itu telah pergi tanpa harus bertarung melawannya. Namun, saat ia membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Adipati, betapa terkejutnya ia yang mendapati adiknya sedang duduk dengan kedua matanya yang berwarna biru.
"A-Adi ...."
Kemudian, Adipati pun ambruk dan lalu tidak sadarkan diri. Kartini pun langsung menghampiri Adipati dengan mimik wajah yang terlihat sangat khawatir.
"Adi," panggil Kartini sembari mengguncang-guncang tubuh Adipati.
Di tengah rasa bingung dan khawatirnya, tanpa sengaja Kartini teringat kejadian saat Ayah dan Bunda yang telah bermutasi, mau menyerang ia dan juga Adipati. Ayah dan Bunda tersadar dari kegilaannya ketika kedua mata Adipati berubah warna menjadi biru, dan Kartini pun sangat sadar akan hal itu.
"Jangan-jangan ... makhluk tadi tidak melihat keberadaanku karena Adipati," batin Kartini menduga-duga.
***
Siang hari di sebuah taman kanak-kanak yang masih berdiri dengan begitu kokohnya, Rakha memutuskan untuk beristirahat di sana. Ia yakin tempat itu aman dari keberadaan Zyn karena sejak awal ia menginjakkan kaki di sana, ia tidak melihat ada satu pun sosok Zyn sedang berkeliaran.
Dengan cedera di bagian d**a dan perutnya karena pertarungannya melawan Zyn, Rakha tidak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanannya.
"Sakit sekali. Apakah kalau cedera ini tidak segera disembuhkan akan membuatku meninggal?"
Ia sampai berpikiran seperti itu karena rasa sakit yang kini tengah dideritanya.
Di salah satu wahana permainan berbentuk kubah dengan beberapa lubang di permukaannya, Rakha memutuskan untuk duduk bersandar di dalamnya. Ia ingin memejamkan kedua matanya sebentar sembari berharap rasa sakitnya akan hilang ketika ia bangun nanti. Namun, baru saja ia memejamkan kedua matanya, sesuatu yang memercikkan api tiba-tiba saja masuk ke dalam kubah tempatnya beristirahat. Rakha pun langsung kembali membuka kedua matanya.
"Petasan?!" ucapnya kaget.
Dan tak lama kemudian, ledakan pun terjadi. Walaupun tidak terlalu keras, tapi ledakan itu terdengar cukup berisik.
Selang beberapa saat setelah ledakan itu terjadi, dua orang pemuda tampan dan seorang gadis cantik berwajah blasteran keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka tampak senang setelah melempar petasan ke tempat di mana Rakha saat ini berada.
"Rasakan itu, makhluk jelek!" kata di gadis cantik.
Namun, Rakha tiba-tiba saja muncul dari salah satu lubang yang ada di kubah itu, yang mana seketika membuat dua orang pemuda dan satu orang gadis itu terkejut bukan main.
"Rakha?!" ucap si gadis.
Rakha yang untungnya dalam keadaan baik-baik saja pun ikut merasa terkejut melihat tiga orang yang kini ada di depannya.
"Karin, Ega, Qyan?!" Kedua matanya pun membelalak saking tidak percayanya.
Ya, dua orang pemuda tampan itu adalah Ega dan Qyan, teman segeng Nando, sedangkan gadis cantik berwajah blasteran itu adalah Karin, teman sekelas Rakha yang sangat pemberani.
Ketiganya lantas langsung menghampiri Rakha dan lalu meminta maaf padanya. Kemudian, mereka berempat berjalan masuk ke dalam ruang kelas yang ternyata dijadikan sebagai tempat bersembunyi oleh Ega, Qyan dan juga Karin.
Sesampainya di dalam, Rakha melihat pemandangan ruangan kelas yang diubah menjadi tempat persembunyian yang cukup nyaman. Ketiga orang itu sepertinya bekerja keras untuk merombak ruangan tersebut menjadi benteng pertahanan yang bisa melindungi mereka.
"Duduklah, kamu kelihatannya mengalami cedera," kata Karin.
Rakha pun menurut. Ia terlebih dahulu meletakkan batang besi runcing yang ia bawa dan baru setelahnya ia duduk di salah satu kasur lipat yang ada di sana. Namun baru beberapa detik saja ia duduk, ia dikejutkan dengan pergerakan selimut yang ada di belakangnya.
"Wah?! Kenapa benda itu bergerak?!" ucap Rakha kaget.
Sambil tertawa, Karin pun menjawab, "Itu Zain. Dia juga berlindung di sini."
Rakha pun langsung menyibakkan kain selimut yang bergerak tadi dan lalu terlihatlah sosok Zain yang tengah tertidur pulas di sana. Pemuda tampan dan manis itu benar-benar si Raja Tidur yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja.
Betapa senangnya Rakha bisa bertemu dengan teman-teman sekelasnya yang ternyata selamat dari serangan para Zyn. Ia tidak sendirian lagi sekarang.
"Kami akan kembali berjaga," kata Ega.
"Oke," balas Karin.
Ega dan Qyan pun lantas berjalan ke arah luar untuk melanjutkan tugas mereka.
Rakha yang melihat Karin menjadi akrab dengan Ega dan Qyan, padahal saat di sekolah gadis cantik itu sangat membenci keduanya dan juga anggota Nando cs yang lain, lantas merasa keheranan.
"Bagaimana bisa kamu jadi akrab dengan mereka? Bukannya kamu sangat membenci mereka?" tanya Rakha.
"Untuk sekarang, tidak penting orang itu musuh atau orang yang kamu benci, kita harus saling membantu untuk bisa bertahan hidup," jawab Karin.
Rakha pun mengerti dan lalu, ia hanya mengangguk sebagai respons atas jawaban yang diberikan oleh Karin.
Kemudian Karin mulai memeriksa cedera yang dialami oleh Rakha. Gadis itu cukup terkejut karena cedera yang dialami oleh Rakha ternyata cukup parah.
"Bagaimana bisa kamu mendapatkan cedera ini?" tanya Karin.
Dengan santai, Rakha pun menjawab, "Aku bertarung melawan seekor monster."
"Hah?!" Karin membelalakkan kedua matanya.
"Lalu, apa kamu menang?"
"Tentu. Makhluk itu kalah melawanku." Rakha tampak sangat percaya diri.
Kemudian, tingkah Karin tiba-tiba saja berubah menjadi aneh.
"Bagaimana kamu bisa menang melawannya?" tanya Karin.
Rakha terdiam sejenak mendengar pertanyaan Karin. Ia tidak tahu harus mulai menjelaskannya dari mana.
"Aku bingung bagaimana menjelaskannya padamu karena ini di luar nalar," kata Rakha.
Karin yang sepertinya sudah tahu dengan apa yang akan Rakha bicarakan, lantas lebih dulu mengatakan sesuatu pada Rakha.
"Kamu punya kekuatan super, bukan? Jika iya, aku pun juga sama," kata Karin.
Gadis cantik itu lantas menunjukkan kemampuan supernya. Kedua matanya kini berubah warna menjadi biru dan lalu kedua tangannya secara perlahan mulai berubah menjadi transparan dan kemudian menghilang seutuhnya. Rakha pun merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Ternyata bukan cuma aku saja yang memiliki kekuatan super," kata Rakha senang.
Karin pun mengangguk. "Bukan hanya aku--Ega, Qyan dan Zain pun juga punya kekuatan super. Kami semua memiliki kekuatan super," ujarnya.
Rakha pun semakin tidak percaya dengan apa yang Karin katakan. Seluruh teman-temannya yang ada di sini ternyata telah berubah menjadi manusia super sama sepertinya.
"Keren sekali," kata Rakha. "Pasti kalian bisa selamat sampai sekarang karena menggunakan kekuatan super kalian? Iya kan?"
Karin pun hanya mengangguk sembari tersenyum sebagai jawaban.
"Hebat." Untuk ke sekian kalinya Rakha merasa kagum seperti itu.
Kemudian, Karin pun bergegas untuk mengambil peralatan medisnya yang ia temukan di tempat ini. Karena tempat ini adalah taman kanak-kanak untuk kalangan konglomerat, jadi obat-obatan dan peralatan medis yang tersedia cukup lengkap.
Dengan perasaan senangnya, Rakha menunggu Karin yang kini sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk penyembuhannya. Di tengah-tengah waktu menunggunya, tiba-tiba saja Rakha memiliki sebuah ide dan niatan untuk mencari teman-temannya yang lain, khususnya Adipati.
"Dengan kekuatan super yang kami miliki, mungkin saja kami bisa menemukan teman-teman kami yang lain serta menyelamatkan orang-orang selamat yang ada di luar sana." Rakha bermonolog.
"Benar, mungkin saja kami bisa melakukannya!"
Rakha benar-benar merasa sangat optimis dengan idenya itu.
"Aku harap ... kamu, Kak Kartini, Ayah dan Bunda baik-baik saja. Tunggu aku, ya, Di. Aku akan menemukan kalian."