Perlahan, Riri membuka mata. Ia merubah posisinya yang tadi tengkurap menjadi telentang. Dilayangkan tatapan ke tempat di sebelahnya. Tak ada Damar di sana. Namun seprai yang kusut nasai, dan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya, membuktikan, kalau yang terjadi semalam bukanlah mimpi.
Selama mereka bercinta tadi malam, yang Riri tidak ingat berapa kali. Sedikitpun, Riri tidak merasakan ada bulu dari wajah singa Damar yang menyentuh kulitnya. Riri merasa, wajah Damar layaknya manusia. Hidungnya, bibirnya, lidahnya, giginya. Sedang wajah Damar yang ia lihat sebagai wajah singa. Ada bulu panjang di sekitar wajahnya. Hidung Damar yang terlihat, tak seperti hidung yang menciumnya. Bibir Damar yang menciumnya, berbeda dengan bibir singa. Gigi taring Damar sebagai singa juga tak ada menyentuh kulitnya, atau melukai bibir, dan rongga mulut.
Riri memejamkan mata. Mengingat kembali saat mereka bercinta tadi malam. Damar memang perkasa bagai singa. Namun sangat lembut dalam memperlakukannya. Riri yakin, kalau tidak minum ramuan, iya sudah kehabisan tenaga di saat Damar pertama kali memasukinya.
Pertarungan berulang, percintaan yang panas. Riri tak bisa mengingat lagi, berapa kali Damar membawanya ke puncak nikmat. Wajah Riri merona. Mengingat suara-suara yang ke luar dari mulutnya, tapi ia tak bisa memungkiri, Damar memberinya kenikmatan yang belum pernah ia rasakan.
Riri menatap ke arah pintu yang terbuka. Ratri masuk bersama dua dayang. Riri menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, meski ia tahu, sebenarnya itu tak perlu. Karena ketiga orang yang datang, sudah melihat ia telanjang sebelumnya.
"Selamat pagi, Puteri."
Ratri, dan kedua dayang membungkukkan tubuh mereka.
"Selamat pagi."
"Kedua dayang akan membaluri, dan memijat tubuh Puteri, sebelum Puteri mandi. Silakan Puteri berbaring tengkurap," ujar Ratri.
Tanpa bertanya apa lagi protes, Riri melakukan apa yang dikatakan Ratri.
Mata Riri terpejam, aroma wangi menguar dari ramuan yang dibalurkan ke tubuhnya. Dua dayang memijat tubuhnya. Dari kedua kaki, lalu ke punggung, pinggang, dan bahu, lengan. Riri sangat menikmati pijatan yang membuat tubuhnya terasa nyaman. Matanya terpejam, tanpa terasa ia kembali tertidur.
***
Riri kembali terbangun, dengan tubuh yang terasa tak pegal lagi. Ratri kembali masuk dengan dua dayang. Seakan mata Riri yang terbuka adalah alarm bagi mereka, untuk kembali menjalankan tugasnya.
"Puteri harus segera mandi. Setelah mandi sarapan. Setelah sarapan, saya akan membawa Puteri untuk berkeliling istana. Dayang, layani Puteri dengan baik."
Kedua dayang membungkukkan tubuh ke arah Ratri.
Riri turun dari atas tempat tidur. Ia melangkah ke kamar mandi tanpa menutupi tubuhnya yang telanjang. Dua datang mengikutinya.
Ternyata bathtub di kamar mandi sudah terisi air, dengan taburan bunga dan aroma wewangian menyejukkan perasaan Riri.
Riri masuk ke dalam bathtub. Dua dayang membantu menggosok tubuhnya. Riri memejamkan mata, membiarkan dua dayang mengerjakan tugasnya.
Selesai mandi, dua dayang memasangkan jubah mandi ke tubuh Riri. Lalu membawa Riri ke luar kamar mandi. Ratri sudah menunggu, dengan gaun indah berwarna hijau. Underwear juga berwarna hijau. Riri mengenakan pakaian, dibantu oleh para dayang. Kemudian ia duduk di depan cermin. Ratri yang menyisir rambut Riri. Rambut Riri dibiarkan tergerai, di kepala Riri dipasang hiasan bentuk mahkota kecil. Sementara dua dayang merias wajahnya.
"Sudah selesai. Sarapan akan segera datang," gumam Ratri. Riri menatap wajahnya, ia harus memuji dirinya sendiri, yang terlihat cantik sekali dari pantulan wajahnya di cermin.
Ratri seperti mengerti apa yang Riri pikirkan.
"Puteri sangat cantik sekali. Sarapan akan segera tiba, Puteri."
"Aku sarapan di sini?" Tanya Riri.
"Ya, Puteri." Kepala Ratri mengangguk.
"Apa tidak ada ruang makan di sini?" Riri bertanya karena penasaran saja, ia belum pernah ke luar dari kamar ini, selain dalam mimpinya pergi berjalan-jalan dengan bapaknya, sebelum saat pernikahan.
"Tentu saja ada ruang makan, Puteri. Tapi Puteri bangun kesiangan. Sebaiknya makan di kamar saja. Silakan Puteri."
Ratri membimbing Riri untuk menuju meja makan di dekat jendela.
Pintu kamar terbuka, seorang wanita gemuk masuk dengan kereta dorong berisi makanan.
"Silakan duduk Puteri."
Riri duduk di kursi. Menanti Ratri menghidangkan makanan di atas meja. Riri lupa, apakah sebelum ini ia sudah pernah makan di negeri ini.
Ditatap hidangan yang tersedia, Riri tersenyum, menu sarapan yang sama saja dengan di dunia manusia.
"Apa makanan kalian, seperti makanan manusia juga?"
"Iya, Puteri. Kamu hidup seperti layaknya manusia," jawab Ratri.
"Ehm ...."
Aroma nasi goreng sungguh menggoda selera. Apalagi penampilan nasi goreng terlihat diatur oleh chef handal. Telur mata sapi juga menggoda pandangan mata.
"Silakan sarapan, Puteri. Kami permisi dulu. Setelah sarapan, kami akan mengantar Puteri berkeliling istana."
"Terima kasih, Bu Ratri. Terima kasih, dayang."
Tiga orang itu membungkukkan tubuh mereka tanda berpamitan. Riri mengikuti langkah mereka dengan tatapannya, sehingga ketiga orang itu ke luar dari pintu kamar.
Riri menyuap makanan di hadapannya. Nasi goreng yang terasa nikmat luar biasa. Riri memejamkan mata saat mengunyah, lebih merasakan lagi nikmat yang terasa. Nasi goreng, dan telur mata sapi habis tak bersisa. Riri minum air putih, dari cangkir emas di atas meja, dan Riri baru menyadari, peralatan makan yang ada di hadapannya semua berwarna emas.
"Apa ini emas sungguhan?" Riri mendekatkan cangkir, agar ia bisa melihat dengan seksama. Riri tertawa dalam hati, ia mengamati seakan tahu bedanya emas asli, ataukah hanya sepuhan belaka.
Suara dari bawah jendela membuatnya beranjak dari meja makan. Riri berdiri di dekat jendela. Berusaha melihat asal suara. Mata Riri membesar, ternyata suara derap kuda yang ia dengar. Halimun terkadang menutupi pandangannya, meski begitu, Riri yakin, salah satu pria berkuda di bawah adalah Pangeran Damar. Tampak dari kepalanya. Rambut emas singanya seperti bercahaya, terkena sinar matahari pagi yang kadang muncul, kadang tertutup halimun.
Pintu kamar terbuka. Riri menolehkan kepala. Ratri masuk bersama dayang yang tadi membawakan makanan.
"Saya akan mengantar Puteri berkeliling istana, silakan Puteri."
Riri mengikuti langkah Ratri. Mereka berjalan berdampingan, melewati pintu yang berwarna hijau. Melewati para penjaga, yang berdiri di jalan yang mereka lewati.
Riri terpaku sesaat, di hadapannya terbentang jembatan yang cukup panjang, dengan pagar dari besi menutup sampai ke atas atap.
Riri berdiri di atas jembatan. Tatapannya ke bagian bawah. Hamparan taman bunga dengan berbagai warna bunga menyapa pandangannya. Ada danau yang juga bisa ia lihat. Dengan bunga teratai bermekaran di atasnya, terasa lengkap indahnya, dengan sepasang angsa yang berenang di sana. Terlihat kecil dari tempat Riri berdiri, namun Riri masih bisa melihat semuanya.
"Ini seperti pemandangan yang ada dalam sebuah lukisan," gumam Riri. Ratri tersenyum.
"Silakan melangkah lagi Puteri. Setelah melihat istana kami, semoga Puteri bisa betah tinggal di sini."
Riri terkejut dengan kata betah yang diucapkan Ratri.
'Apa aku bisa betah, dengan semua keindahan ini, sedang ada Singa yang harus aku layani di tempat tidur?"
BERSAMBUNG