PART. 5 MENIKAH

960 Kata
Bapak Riri duduk di kursi rumah sakit sambil terkantuk. Ia tertidur sambil duduk. Sesaat kemudian tubuhnya yang sempat miring menjadi tegak, matanya terbuka, dan langsung memperhatikan sekeliling. Bapak Riri mengusap wajah. Ia baru saja bermimpi. Bermimpi menikahkan Riri. Riri menikah dengan seorang pria yang sangat tampan wajahnya, gagah tubuhnya. 'Astaghfirullah Al adzim. Itu tadi mimpi, tapi terasa sangat nyata. Riri sangat cantik dengan kebaya hijau, dan riasan wajahnya. Itu tadi benar Riri, atau bukan. Ya Allah ... pertanda apa ini? Semoga bukan pertanda buruk ya Allah, aamiin.' Bapak Riri kembali mengusap wajah. Ia merasa yang terjadi benar-benar seperti nyata. Ruangan yang bercat hijau. Tirai jendela hijau. Karpet ruangan hijau. Kursi, dan meja hijau. Kedua mempelai mengenakan pakaian hijau. Semua orang juga mengenakan pakaian hijau. Aneh yang terasa bagi Bapak Riri. Tubuhnya terasa sedikit lelah, seakan sudah melakukan perjalanan panjang, padahal yang bisa diingat hanya ruangan serba hijau, dan ia duduk di sebuah kursi, menggenggam telapak tangan si pria yang menyebut nama putrinya. Setelah saksi menyatakan sah, ia langsung terbangun, tanpa sempat bicara pada Riri sepatah kata saja. Sedang hal lain tak bisa ia ingat sama sekali, termasuk apa yang membuat tubuhnya terasa letih. Sekali lagi Bapak Riri mengusap wajah. Perasaannya jadi resah. Meski tak melihat kesedihan di wajah Riri, tapi mimpi itu tetap membuatnya tidak tenang. 'Semoga kamu cepat bangun dari koma, Ri, aamiin.' *** Sementara itu di negeri Halimun, Riri terbangun dari tidur. Ia bermimpi bertemu bapaknya. Mereka menghabiskan waktu bersama, meski hanya sebentar. Kemudian bapaknya menikahkan dirinya dengan Damar. Yang Riri tidak mengerti, bapaknya tidak terlihat takut melihat wajah singa Damar. Bapaknya tetap tenang, dan suaranya lantang. "Ya Tuhan ... mimpi apa itu tadi?" Pintu kamar terbuka, Ratri masuk bersama dua orang wanita muda yang memegang kotak dari kertas. "Anda harus berganti pakaian, Puteri," Ratri membungkukkan tubuhnya di depan Riri, begitupun kedua wanita yang bersamanya. "Mau ke mana?" Tanya Riri. "Kebaya pengantin Puteri tidak akan nyaman dipakai untuk tidur." "Kebaya pengantin?" Riri menundukkan wajah, ia tersentak saat menyadari, ditubuhnya melekat kebaya berwarna hijau, dan kain. "Kenapa aku memakai ini?" Riri bingung dengan apa yang ia kenakan. Pakaian persis di dalam mimpinya tadi. "Apa Puteri lupa, kalau tadi pagi baru saja menikah dengan Pangeran Damar?" "Hah! Bukankah itu hanya mimpi?" Ratri tersenyum. "Kalau hanya mimpi, Puteri tidak akan mengenakan kebaya hijau itu." "Tapi ...." "Uli, Uni, bantu Puteri mandi," perintah Ratri. "Baik." Mereka berempat masuk ke dalam kamar mandi. Riri membiarkan dua orang wanita seumurannya itu untuk membantunya melepas apa yang dipakai, dan membantu menggosok tubuhnya. Sesungguhnya perasaan Riri masih merasa sangat bingung. Apa yang ia anggap hanya mimpi, ternyata benar terjadi. "Apakah mimpi bertemu Bapakku juga bukan mimpi?" Akhirnya Riri memutuskan untuk bertanya pada Ratri, daripada menanggung rasa bingung. "Itu benar, Puteri," sahut Ratri. "Kenapa semua terasa bagai mimpi? Kenapa Bapakku bisa ke luar masuk negeri ini? Kenapa aku tidak bisa begitu?" Pertanyaan beruntun diajukan Riri pada Ratri. "Saya tidak bisa menjawabnya, Puteri. Silakan tanyakan pada Pangeran Damar sendiri." Mendengar nada tegas pada suara Ratri. Riri tak berani bertanya lagi. Setelah selesai mandi, mereka ke luar dari dalam kamar mandi. Selembar pakaian diambil dari kotak yang tadi dibawa. Mata Riri melebar, melihat pakaian yang begitu tipis. "Saya harus pakai ini?" Pertanyaan Riri ditujukan pada Ratri. Kepala Ratri mengangguk. Riri merasa keberatan, tapi ia hanya bisa diam. Dikenakan underwear berwarna hijau, lalu baju tidur tipis berwarna hijau juga ia kenakan. Salah satu dari dua wanita itu membantu menyisir rambut Riri. Satunya lagi mengganti seprai tempat tidur. Ratri menyemprotkan wewangian ke arah Riri. Lalu tempat tidur yang selesai diganti seprainya juga disemprot wewangian. Pintu terdengar diketuk. Ratri yang membuka pintu. Seorang wanita tua memberikan pada Ratri, nampan kecil dengan cangkir berwarna emas di atas nampan tersebut. "Silakan diminum, Puteri." Ratri menyodorkan cangkir emas kepada Riri. "Ini apa?" Riri membaui isi cangkir yang ia terima dari Ratri. Aroma rempah tercium oleh Riri. "Ramuan, agar Puteri bisa kuat mengimbangi keperkasaan Pangeran kami." "Hah!" Mata Riri melotot, mulutnya ternganga. Tiba-tiba saja pipinya terasa panas. Sesaat kemudian, Riri bergidik, membayangkan tidur dengan seekor singa. "Minum, dan habiskan, Puteri!" Riri memejamkan mata, ia berusaha menghabiskan isi cangkir itu. Setelah habis, Riri bergidik berulang kali. Cairan itu tidak manis, tapi juga tidak pahit, hanya terasa aneh di mulutnya, yang tak pernah minum ramu-ramuan. "Bersiaplah, Puteri. Sebentar lagi Pangeran akan datang." Ratri, Uli, dan Uni membungkukkan tubuh mereka, tanda mereka akan segera pergi dari kamar itu. "Bu Ratri, aku harus bagaimana!" Tanya Riri panik, ia takut berbuat salah, lalu tubuhnya dikoyak Pangeran Damar dengan giginya. "Ikuti saja kemauan Pangeran. Tidak perlu takut, Pangeran bukan orang jahat, asal Puteri tidak bicara, atau bersikap kasar padanya. Sambut Pangeran dengan senyuman. Layani Pangeran dengan baik. Jangan menolak apapun yang Pangeran inginkan." Ratri tersenyum, berusaha mengusir raut tegang dari wajah Riri. "Kami permisi, Puteri." Sekali lagi Ratri, dan dua orang dayang itu membungkukkan tubuh mereka ke arah Riri, sebelum mereka pergi. Riri duduk di tepi ranjang, dengan perasaan berdebar tak karuan. Rasa cemas tak bisa ia hindari. 'Siapa yang tidak akan cemas, kalau harus tidur dengan pria berwajah singa. Yang berpengalaman saja pasti merasakan takut, apalagi aku yang tidak tahu apa-apa. Ya Tuhan ... semoga aku tidak berbuat salah. Semoga dia tidak menerkam aku, aamiin.' Baru saja Riri selesai berdoa di dalam hati, pintu kamar terbuka. Riri bangkit dari duduknya. Jantung berdetak lebih cepat. Pangeran Damar berdiri di hadapannya, dengan jubah tidur hijau yang terbuka di bagian d**a. Riri menahan napas, melihat wajah singa yang sedang menatapnya. Pangeran Damar berjalan mendekat. Riri ingin mundur, tapi tidak bisa. Di belakangnya ada tempat tidur. Ia hanya bisa diam terpaku. Membiarkan Pangeran Damar semakin memperpendek jarak mereka. Tatapan Pangeran Damar tak beralih dari wajah Riri. Tanpa sadar wajah Riri yang tadinya pucat, karena rasa takut jadi memerah, karena merasa jengah menerima tatapan Pangeran Damar. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN