“Yak....” teriak Khiya kencang saat panggilan telepon tersambung.
“Astagfirullah, Khyia! “ protes Aliya di sebrang sana. Gadis itu reflek menjauhkan daun telinganya dari speker ponselnya akibat suara Khiya yang mengusik ketenteraman telinganya.
“Lo gila ya! Bukannya ucap salam dulu, ini main teriak-teriak aja! Lo pengin gue jadi budeg ya?! Udah tahu kepala gue hampir meledak karena skripsi, ini lagi Lo nambahi penderitaan gue aja!” cercah Aliya s***s.
Memang begitulah watak Aliya, apa adanya. Tidak ada kata tersinggung dalam kamus Khiya semenjak bersahabat dengan Aliya. Khiya sudah menanggalkan itu semua, karena dia yang Aliya sebenarnya tidak seburuk perkataannya tadi, selalu ada kata terserat dalam setiap perkataannya seperti, ‘Lo gila ya?’ yang artinya ‘kamu kenapa sih?’. Begitulah...
Khiya mengaruk tengkuknya yang tidak gatal dan jelas tidak bisa Aliya liat. “Hahahhah, maaf...” kata Khiya sembari mengeluarkan tawa kecil.
Aliya menghela nafas panjang. “Huffft.... Jadi Lo tadi teriak kenapa? Liat kecoak ? Atau suami cogan Lo mulai romatis? “
“Apaan sih, Yak... Bukan itu.”
“Oh kirain...terus kenapa? Gak biasanya Lo sebahagia itu?”
“Yak....” Khiya menarik nafas panjang, mengumpulkan banyak udara untuk amunisi berita bahagia yang ingin ia sampaikan. “Farel...BOLEHIN AKU KULIAH !!!!! “ teriak Khiya kencang, sangat kencang, meluapkan semua rasa bahagianya. Suaranya itu bahkan menggema di setiap ruangan kamarnya yang cukup besar, Khiya tidak peduli jika tetangganya menganggapnya gila. Ia sangat bahagia! Begitu bahagia sampai rasanya dia ingin terbang menebus langit-langit rumah yang menjelang tinggi, setinggi mimpinya itu.
Kali ini Aliya tidak protes, ia tahu Khiya sangat senang.
“Serius? “
“Iya, Yak. Farel bolehin aku kuliah...” Khiya spontan menjatuhkan dirinya di atas kasur empuk, kakinya tidak tahan menyangga rasa bahagia yang teramat besar di hatinya. Mata Khiya kini berhadapan dengan langit-langit kamar.
“Bagus! Kita harus meet nih buat ngerayain ini semua! “
“Iya...ya... aku juga udah minta izin tadi sama Farel. Kita mau ketemu di mana? Di kafe biasa? “
“Hem....gue ada di daerah Bogor nih, abis nyamperin dosen pembimbing yang terhormat. Jauh dari sini.”
“Kalo gitu, kamu ke rumah aku aja. Aku share loct ya.....”
“Ide bagus. Tahu aja nih, kode gue...” kata Aliya terkekeh.
Tingkat kepekaan Khiya memang tidak bisa di ragukan lagi. Aliya memang ceplas-ceplos dalam menyampaikan perasaannya tapi gadis itu juga sangat suka membuat kode-kode agar Khiya mau memenuhi keinginannya. Khiya sudah terbiasa berpikir ala mesin kode dalam menghadapi Aliya.
“Buruan datang ya...aku tadi buat bronis kukus, kalo kamu lama entar keburu habis, aku makan, ” kata Khiya lagi sebelum menutup sambungan telepon.
“Eh, awas ya jangan Lo habisi! Buatin gue jus mangga juga. Di luar panas banget tahu. Lo harus menjamu tamu dengan memuliakannya ya! “ sahut Aliya.
“Iya, buruan. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Khiya dengan bahagia langsung berjalan menuju dapur. Mengupas mangga dan menyiapkan dua gelas untuk mereka berdua.
“Ya Allah, terima kasih...” lirih Khiya bahagia.
Dua puluh menit berlalu, bel pintu rumah Khiya berbunyi. Khiya buru-buru meletakkan es pada gelas jus mangga yang sudah ia buat di nampan dan tidak lupa sepiring bronis cokelat yang sudah di potong untuk menyambut sahabatnya itu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Yak, ayo masuk, motornya di masuki garasi aja. Biar aman.”
“Masyaallah, rumah Lo besar banget! Kayak istana“ seru Aliya heboh sendiri, padahal rumahnya dua kali lipat lebih besar.
Aliya itu anak orang kaya tapi dia memang lebih suka jika orang-orang menganggapnya biasa saja. Bahkan Aliya jarang sekali membawa mobil mewah yang ayahnya berikan, ia lebih nyaman dengan motor matic birunya itu, meski matahari dengan leluasa memaparkan sinarnya pada kulit putih Aliya. Aliya tidak peduli itu. Lebih cepat kalo mau ke mana-mana, alibi Aliya setiap ditanya perihal itu.
“Ayo buruan masuk, keburu cair jus mangganya.” Khiya langsung menarik pelan lengan sahabatnya itu.
“Yuk....” .
Keduanya lalu duduk di soda panjang di ruang tamu sembari bercerita kenapa dan awal semua ini bisa terjadi.
“Terus, Lo udah pilih kampus mana? “ tanya Aliya setelah menelan potongan terakhir brownis di mulutnya.
“Hem, belum...”
“Ya udah, Lo kuliah di kampus gue aja.”
“Kampus kamu kan jauh dari sini.”
“Ih ada cabangnya yang dekat sini.”
“Aku pengin ikut tes beasiswa sih, biar Farel gak terlalu mahal biayain aku.” Khiya menunduk, mengambil sesuatu di bawah meja.
“Eh, itu kan brosur kampus gue,” seru Aliya tiba-tiba.
“Ha?”
“Iya Loh... Itu kampus gue.”
“Ini aku dapat dari Farel.”
“Eh, kok? Jangan bilang suami cogan Lo itu, dosen di sana? “
“Iya.”
“Eh masak sih! Kok aku gak pernah liat ya? Radar aku putus apa gimana ya? Tapi tumben kampus itu gak heboh ada dosen ganteng? Biasanyakan pada heboh bet. Apa guenya aja ya yang gak tahu kabar gara-gara sibuk ngedongkolin dosen pembimbing yang tiap hari gilang muluk? “ gumam Aliya, selalu heboh sendiri.
“Aku pengen ikut tes beasiswa ini, tapi.. Kayaknya Farel gak akan izini deh.. Soalnya jauh banget dari sini.”
“Kan Farel dosen di sana, malah bagus dong. Kalian bisa pulang-pergi bareng. Lo gak akan kecapean.”
“Justru itu. Farel malah bisa makin gak setuju, secara dia selalu pulang sore karena tugas-tugasnya itu. Belum lagi kalo sore daerah sini sering macet. Dia pasti bilang bakal lelah di perjalanan.”
Aliya menenggak tetes terakhir jus mangga di dalam gelasnya, mendengar masalah simpel yang dibikin riut oleh sahabatnya itu. Aliya punya solusi terbaik tapi ia harus menyudahi dahaganay dulu.
“Duh, masih haus nih, Khya...,” kata Aliya. “Mau air putih boleh, kan? Biar gue ambil sendiri ke dapur. Gue mah tamu yang pengertian emang.”
Aliya langsung ke dapur setelah Khiya memberi tahu di mana letaknya. Tidak lama ia kembali dengan seceret air putih di tangannya.
“Heheeh..takut haus lagi,” jawab Aliya mengartikan tatapan terkejut Khiya.
“Jadi gimana dong, Yak? “ tanya Khiya, gunda gulana.
“Hm, ya udah itu gampang,” jawab Aliya santai. “Lo gak tahu ya..kalo kampus gue itu punya cabang di daerah deket sini. Tadi gue barusan dari sana. Semuanya sama aja kayak di kampus utama. Dan itu artinya di sana Lo bisa ikut tes beasiswa. Gimana? Ide gue baguskan? “
“Ha serius? “
“Iya.”
“Kalo gitu aku mau daftar ke sana. Temenin ya Yak....Farel lagi sibuk akhir-akhir ini.”
“Hem...apa sih yang gak buat Lo,” sahut Aliya sembari kembali mencomot potongan brownis di piring. “Lo mau gue anter naik apa nih ? Mobil atau motor? “
Khiya tersenyum kecil. Jika saja dia tidak sakit dan bisa seperti Aliya yang tidak masalah terpapar sinar matahari, Khiya tidak masalah jika harus di antar mengganggu motor. Tapi, kondisinya tidak sama seperti dulu.
“Mobil,” jawab Khiya semangat. Tidak apa tidak bisa berkeliling menaiki motor bersama Aliya, membiarkan matahari mengenai kulit mereka yang jarang tersentuh sunblok. Dulu baik Aliya dan Khiya tidak terlalu mengetahui bahaya UV matahari. Mereka sangat suka berkeliling ke taman atau sekadar makan angin di atas motor.
“Sip.” Aliya menatap piring brownis yang sudah kosong. “Bronisnya enak Khiya.”
Khiya tersenyum. “Besok aku buatin lagi, dengan doubel cokelat.”
“Ah gak usah repot-repot, kalo bisa tambahan keju di atasnya biar tambah enak,” request Aliya, tidak tahu malu sembari nyengir.
“Oke.”
“Hahaha...Lo baik banget emang.” Senyum Aliya makin lebar. “Jadi betah deh di rumah Lo. Suami Lo masih lama kan balik? “
“Masih.”
“Lo dah masak belum? “
“Kamu ke sini mau bertamu atau ngerampok makanan sih?” sindir Khiya.
Aliya terkekeh. “Nah gitu dong, Khiya yang gue kenal. Khiya yang gak sok lemah lembut kek tadi. Kek apa aja Lo di depan gue. Biasa aja.”
“Iss! Aku kan mau belajar lemah lembut.”
“Ya jangan ke gue lah. Gue udah tahu Lo dari kulit terdalam, gak bisa gue sama Khiya yang kelemer-kelemer kayak tadi. Kayak pemeran pratagonis di n****+ yang di suruh apa aja nurut aja, terus kalo di sakiti cuman bisa nangis. Itu bukan Lo banget, serius! Lo itu Khiya yang ceria, semangat, pantang nyerah dan kadang nyebelin dikit. Itu baru Khiya yang gue kenal. Bukan Khiya istri Farel yang model gini nih....”
Mata Aliya menyoroti Khiya, akhir-akhir ini atau lebih tepatnya setelah menjadi istri Farel Khiya selalu memakai jilbab instan, tetap modis sih, tapi ya entah kenapa menurut Aliya, Khiya lebih cantik pake jilbab pasmina atau jilbab segi empat panjang. Khiya akan terlihat seperti lebih muda. Harus Aliya akui kalo kecantikan Khiya itu dua kali lipat dari dirinya yang kata orang sih cantik.
Khiya itu memiliki kulit kuning langsat khas kulit Asia, mata bulat sedang dengan bulu mata lentik, hidung yang mancung ramping dan dagu yang sedikit membentuk belahan. Oh ya, jangan lupa gigi ginsul dan senyum pipit yang akan menghiasi wajahnya jika ia tersenyum.
Tidak heran saat SMA, Khiya salah satu jejeran cewek most wanted yang di kenal semua orang terutama para cowok. Mulai dari kalangan adik kelas sampai senior. Semua tahu siapa Khiya, si gadis cantik, sholeha dan pintar. Semua cowok bahkan cewek mencoba mencari perhatian Khiya.
Khiya menggeleng-geleng pelan.. “Ya udah kalo makan, yuk.. Aku juga lapar.”
“Idih gue gak segentong itu kali. Gue tadi cuman kidding doang. Lagian gue dah kenyang banget makan kue bronis Lo.”
“Hahahah, kirain masih lapar. Padahal masih ada lagi loh bronis di kulkas. Kayaknya lebih enak sih karena udah dingin.”
Aliya terkekeh. Ingin rasanya dia menarik perkataannya barusan. “Apaan sih Lo. Simpan aja itu, buat suami cogan Lo.”
Keduanya terkekeh.
“Eh btw, menurut gue ya mending Lo gak usah kasih tahu Farel tentang Lo yang mau ikut tes beasiswa di sana.”
“Eh, kenapa? “ dahi Khiya berlipat, pasalnya sebagai seorang istri Khiya tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Farel. Bahkan mengenai Aliya yang mau datang ke rumah saja, Khiya langsung meminta izin pada Farel via w******p.
“Ya...biar entar pas Lo lolos, gak dikira nyongok atau curang gitu, secarakan Farel dosen di sana. Takutnya ada yang mikir ke situ.”
Khiya mengangguk, sedikit membenarkan perkataan Aliya. “Tapi aku gak mau bohong.”
“Idih... gak ada tuh tadi gue nyuruh Lo bohong.” Aliya memutar bola matanya. “Gue bilang jangan kasih tahu aja, bukan bohong. Lo mah kelamaan bertapa di rumah sih jadi agak blo’on.”
Khiya terkekeh.
“Terus gimana kalo Farel nanya ?”
“Ya, bilang aja kamu mau ikut tes kampus. Udah gitu aja.”
Khiya tersenyum, samar. “Ide bagus. Dan kalo aku lulus, bisa jadi kejutan buat Farel. Iya kan? “
“Iya.” Aliya memperhatikan wajah Khiya. “Khiya, Lo bahagia gak sih nikah sama Farel? I mean, gue tahu kalian belum seperti suami-istri tapi maksud gue hem...”
“Kenapa kamu tanya gitu? “
“Gue kok liat Lo kayak sedih gitu.”
“Sedih apa? Aku bahagia kok.”
“Klasik banget serius! Dialog Lo udah bertebaran di n****+ orang yang pura-pura bahagia.”
Khiya terkekeh, pasalnya setelah menjadi seorang pencinta n****+, Aliya selalu saja mengaitkan kehidupan nyata dengan kehidupan n****+. Memang benar Khiya sedih tapi bukan karena Farel. Ia sangat bahagia dengan pernikahanmya itu, Khiya hanya sedih akan satu hal, bahwa dia tidak leluasa menjadi dirinya setiap Farel melihatnya dengan tatapan iba.
“Tuhkan Lo senyumnya gak simetris, kalo kata artikel yang gue baca itu tandanya Lo gak senyum dari hati.”
Khiya lalu menarik senyum lebar-lebar. “See?”
Aliya menggeleng pelan. “Ya udah deh. Gue mau pulang. Mau meet and great sama naskah skripsi gue yang gak kelar-kelar.”
Aliya bangkit dari sofa. “Gue pulang ya...”
“Iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut ya! “
“Siap pak bos!”
“Besok Lo siap-siap, gue jemput pas Farel pergi oke? “
“Oke.”
**
Terdengar suara pagar yang di buka, tidak lama suara deru mobil Farel juga terdengar memasuki pekarangan. Khiya merapihkan dirinya terlebih dahulu sebelum membuka pintu dan menyambut Farel yang sekarang sudah berdiri di depan pintu.
“Assalamualaikum,” sapa Khiya terlebih dulu sebelum Farel yang nampak sangat lelah mengangkat kepalanya untuk mengucap salam.
Farel memasang senyum di wajahnya meski sebenarnya ia ingin langsung masuk ke rumah, membersihkan diri dan merebahkan tubuhnya di kasur. Farel menahan itu semua demi kebahagiaan Khiya yang sangat bersemangat menyambutnya.
“Hubby, lagi banyak kerjaan ya? “ tanya Khiya berbasa-basi. Sebenarnya ia ingin mengatakan mengenai keputusannya untuk berkuliah di kampus tempat Farel mengajar meski ia hanya akan memilih di cabang saja.
“Iya.”
“Hem, By aku udah pilih mau kuliah di mana.”
“Udah? “tanya Farel, sumbang. Sebenarnya ia sangat lelah.
“Aku pilih kuliah di—“
“Khiya, kita ngobrolnya nanti aja ya...rasanya tubuh aku gak enak. Aku mau ke kamar, bersih-bersih boleh, kan? “ sela Farel memotong kalimat Khiya yang belum rampung.
“Hubby sakit? “ tanya Khiya cemas. Sebenarnya ia mengerti maksud perkataan Farel tadi, tapi mendengar kata gak enak, membuat gadis itu langsung cemas.
“Mau aku buatin jamu ?” tambah Khiya lagi. Tulus cemas.
Farel menghela nafas panjang, senyum di wajahnya makin menipis. “Gak perlu. Aku cuman mau ke kamar.”
Khiya mengangguk mengerti. Farel tidak mau berbicara dengannya sekarang. Farel lelah. Seharusnya Khiya mengerti dan bukannya malah mengajak Farel terlibat dalam percakapan yang tidak menarik seperti tadi. Itu hanya percakapan tidak penting yang tidak perlu di bahas. Ya... Tidak penting.
Khiya tersenyum kecil, mengiringi kepergian Farel ke kamar.
Farel menoleh melihat Khiya yang masih setia dengan senyumnya itu.
“Khiya, kamu sudah minum obat, kan? “
“Iya,” jawab Khiya cepat, tidak ingin membuang-buang waktu berharga Farel. Apa obat lebih penting? batin Khiya.
Khiya menatap lurus pintu yang sekarang sudah tertutup menelan Farel masuk ke dalamnya. Khiya tidak menangis. Ia juga tidak melamun. Dia hanya diam saja . Diam seperti biasa. Diam yang penuh bising dalam benaknya.
**