Boneka itu...

2232 Kata
“Ini jelas aneh, Khy. Dan Lo bilang, kalo hal ini juga pernah terjadi sama dokter Fauzan, kan? “ Khiya mengangguk. “Dan kemarin terjadi sama gue. Orang mungkin cepat lupa nama, tapi wajah....jarang banget ada orang cepat lupa wajah orang lain cuman dalam waktu sepuluh menit.” “Maksud kamu, Yak? “ “Ada yang salah dengan Farel. Lo harus selidikin semua ini ! “ Khiya malah tertawa. “Wahai kisanak, apa yang lucu dari kalimat gue tadi? Kenapa Lo ketawa? Gue merasa badut.” “Dikalimatnya emang gak lucu, tapi... ekspresi kamu itu loh... Mengingatkan aku sama detektif mode emak-emak gibah.” “Astagfirullah ukhti....bisa-bisanya, lagi serius malah mikir gitu, Ck! “ Aliya melampiaskan kesalnya pada sedotan es alpukat miliknya, jadilah Aliya terlihat seperti orang yang terobsesi untuk memakan sedotan ditambah lagi matanya yang sedikit melebar, sangat serasi. Jika Fauzan melihat ini, mungkin dia juga akan sama seperti Khiya, yang tidak mampu menahan tawanya. “Tawa terus, tawa terus.... Jadi badut aja gue!” Aliya makin brutal menggigit sedotan. “Yak mau tambah gak? “ “Lo mau bayarin? “ “Iya, tambah sedotannya. Kayaknya kurang deh satu.” “Gak lucu, serius garing.” “Eh, cari toples dong biar gak lempeng.” “Apa sih Khiya.... “ Aliya melotot. “Aku tuh ngelawak, seharunya kamu ketawa bukan melotot, ukhti.” Aliya memutar bola matanya. “Back to topik!” katanya ala-ala presenter. “Jadi... “ “Jadi apa? “tanya Khiya polos. “Huffffft...jadi apa rencana Lo buat cari tahu? “ “Gue suka tempe sih, Yak, ketimbang tahu.” Wajah Aliya datar. Khiya cekikikan. “Lo lagi mode nyebelin ya, Khy. Udahlah terserah Lo! Bodoh amat! Kenapa gue mesti peduli.” Suara Aliya naik satu oktaf. Khiya dengan santai tersenyum. “Besok aku buatin brownis deh, insyallah.” “Oke, deal! “ Suara Aliya melembut, 180 derajat dari suaranya tadi. Keduanya memang absurd. “Khy.....minuman Lo enak gak sih? “ Khiya yang sudah paham tabiat Aliya langsung menggeserkan minumannya untuk Aliya. “Cobain deh.... rasanya sama kayak punya kamu, es alpokat juga.” Aliya nyengir, kalimatnya barusan hanya basa-basi untuk meminum jus Khiya. Nongkrong bareng tanpa saling berbagi makanan, rasanya kurang afdol kan.... “Yak....” “Hem.....?” Aliya melirik Khiya sejenak, sebelum kembali fokus dengan pisang cokelatnya. “Lo kepikiran kan? “ “Iya nih, aku terdistrak.” “Jadi Lo percaya hipotesis yang mana? Kalo menurut gue sih... Farel pura-pura gak kenal Lo.” “Terus aku harus gimana? “ “Hem... gue juga bingung tahu, gue belum nikah mana tahu tentang pasangan suami-istri.” “Makanya nikah gih...” “Dih nyuruh nikah berasa ngajak makan bakso. Enteng banget sih.” “Menikah itu separuh agama, Yak...” “Eh, kok malah bahas pra nikah...” panik Aliya. Di usia Aliya yang terbilang harus segera menikah versi Indonesia. Aliya jadi sensitif dengan semua pembahasan mengenai nikah-menikah. “ Gue ada ide.” Tiga kata yang bisa mengalihkan topik pembicaraan. Aliya memeras otaknya yang tengah bersantai, untuk mencari sambungan dari kalimat yang baru terlontar dari mulutnya. “Gimana kalo Lo....... Ya...Lo tanya aja perihal Khiya sama Farel. Entar Lo bisa liat deh, Farel bohong atau gak.” Khiya menjentikan jarinya di hadapannya Aliya. “Tepat sekali. Lebih tepatnya, Farel gak akan jawab. Dia bakal berubah jadi patung.” “Terus apa lagi dong? Itu udah ide paling emas yang otak gue produksi.” “Itu otak atau pabrik,” sinis Khiya. “Otak gue mah multi fungsi aja.” “Hem!” Khiya cemberut. “Lo coba dulu dong ide gue.... barang kali berhasil.” “Farel cuman mau cerita sama orang dekat doang.” “Eh, Lo kurang dekat apa sama Farel? Emang ada mahsiswi yang makan bareng, nunggu hujan bareng terus dianter pulang bareng. Di tambah lagi punya anak asuh bareng. Kurang dekat apa Maymunah? “ Aliya mode nyiyir On. “Ya.. Maksud aku tuh...maksud aku, harus ada hubungan lebih akrab dari itu, biar bisa dipercaya menerima informasi pribadi.” “Oh gitu...” kata Aliya. “Ya udah pacaran aja.” “ASTAGFIRULLAH....” spontan Khiya, lebay. Beruntung mereka memilih duduk di outdor, jadi suara Khiya yang tadi tidak terlalu menganggu pelanggan yang lain. “Pacaran gak boleh tahu yak...” “Iya tahu, tapikan kalian suami-istri. Beda ceritanya kalo kalian pacaran setelah nikah. Malah panen banyak pahala.” “Ya, aku tahu Farel suami aku. Tapi Farel kan gak tahu, kalo aku Khiya.” “Nah justru itu Munaroh..... Kita juga bisa sekalian liat kesetiaan Farel. Nah kalo dia memegang tinggi komitme, dia pasti bakal nolak Sania. Dari yang gue perhatianin sih, kayaknya Farel ada rasa sama Sania.” “Emang? “ “Kata orang, insting seorang jomblo itu kadang tepat.” “Orang mana? “ “Random banget sih, pertanyaan Lo, Khya. Mana gue tahu orang mana... Orang aja yang bilang. Apa harus gue kasih rincian riwayat hidup orang yang pernah ngomong itu.” “Iya, boleh. Biar infonya terjamin.” “Astagfirullah.. Lo kira ini laporan penelitian pakai acara valid lagi.” “Yak, aku tuh sebenarnya bingung mau interaksi sama Farel. Dia jarang banget ngomong, Gimana mau dekat coba? “ “Dia mungkin sejenis orang yang kalo dah akrab baru bisa asik diajak ngobrol.” “Iyakah?” “Iyalah. Makanya Lo kalo main jangan depan rumah doang, sekali-kali mampir tuh ke toko buku.” “Apa hubungannya ?” “Gak ada. Lo kenapa jadi diam gitu? “ “Yak.... Aneh gak sih aku cemburu sama diri aku sendiri? “ “Sama Sania, maksud Lo ?” “Iya. Apa itu sama aja kayak aku bohongin Farel gak sih?” “Hem....gue juga gak tahu sih Khy. Lagian gue heran deh sama Farel, kok dia bisa nyaman sama Sania tapi gak sama Khiya, padahal kalian berdua orang yang sama. Aneh banget, kan? “ “Atau jangan-jangan Lo yang beda Khy. Lo yang terlalu jadi berbeda pas jadi Khiya. Kenapa sih Lo gak bisa jadi Khiya pas sama Farel? Lo takut atau gimana?” “Aku gak takut, Yak. Cuman canggung aja.” “Kalian udah lebih enam bulan serumah bareng, makan bareng. Emang gak ada kesamaan gitu? Kita dulu aja, baru ketemu udah segala macam di bahas, bahkan hal yang gak penting pun jadi asik.” Aliya mengingat-ingat pertemuan pertama mereka waktu SMA. “Itu yang aku bingung, Yak. “ “Atau Farel sering gak jawab kalo kamu tanya atau gak respon pas kamu ngomong ?” “Gak juga, Yak. Dia selalu jawab kalo aku ngomong. Cuman aku-nya juga bingung mau ngomong apa. Jadi kamu cuman saling diam aja.” “Oh iya, Lo tadi bilang, Farel punya berkas pemeriksaan ? Berkas apa? “ Khiya mengangkat bahunya, tidak tahu. “Gak tahu, Yak.” “Cari tahulah...pinter.” “Caranya? “ “Astagfirullah Khy....” Aliya menggeleng-geleng dramatis. “Ya Lo cari tahu lah di kamarnya.” “Caranya?“ cicit Khiya, sebenarnya Khiya bergumam untuk dirinya sendiri. Tapi perkataan itu sampai di telinga Aliya, yang membuat Aliya memicingkan matanya, agak keki. “Ya caranya, cari di lemari atau di mana gitu. Lo kan istrinya, gak masalah dong masuk kamar suami. Atau mau gue bantu buat surat keterangan izin pake materai terus ditanda tangani Farel? Apa butuh gitu? “ . . Khiya mengintip dari kamarnya, melihat lampu kamar Farel yang sudah redup atau masih menyala terang. Khiya merasa gelisah. Khiya terus melirik jam dinding setiap dua menit sekali, kenapa jarum jam itu berjalan sangat lama. ‘Jangan tidur Lo. Pokoknya malam ini Lo harus cari berkas itu! “ Sebuah pesan yang baru saja Aliya kirim. Khiya menghela nafas panjang, jantungnya berdebar kencang hanya dengan membayangkan dirinya masuk ke kamar Farel ala-ala maling, mengendap-endap mencari berkas milik Farel. “Kenapa gak pas Farel kerja aja sih... “Khiya menggerutu. Menyimpan ponselnya tanpa berniat membalas pesan Aliya. Jelas Keinginannya itu tidak dapat terkabul. Farel selalu membawa kunci kamarnya. Khiya tidak pernah mempermasalahkan itu, tapi sekarang.... Khiya menyadari betapa mereka punya banyak tembok di antara mereka. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Lampu kamar Farel sudah padam. Fiks, Farel sudah tidur. Khiya diam-diam membuka pintu kamar Farel. Berjalan pelan-pelan seperti yang sudah ia rencanakan. Kondisi kamar Farel sangat gelap, tapi Khiya sedikit terbantu dengan lampu tidur kecil di nakas sebelah Farel yang hanya memberi sedikit sinar, tapi itu lebih baik. Setidaknya Khiya bisa aman dari menabrak sesuatu. Khiya memulai dengan mencari di lemari, lalu di nakas dan terakhir di meja kerja Farel. Khiya menemukan berkas itu. “Ketemu! “ Khiya memeluk berkas itu, hendak pergi. “Maaf. ...maaf.... Maafkan saya, Khiya.” Khiya mematung seketika. Itu suara Farel. Khiya tertangkap basah? Apa yang akan Farel pikirkan tentangnya sekarang? Jarak mereka akan semakin membentang jauh... Farel akan membencinya. Khiya pasrah. Khiya hanya menunggu Farel menghidupkan lampu dan melihat semua kenyataan ini. Tidak ada gunanya dia berlari, Khiya sudah ketahuan. Dua menit menunggu.. Farel tidak kunjung menghidupkan lampu, Khiya memberanikan diri untuk melirik ke arah Farel. Farel masih tidur. Dia tadi mengigau? Dan kenapa Farel bergerak gelisah seperti itu. Dengan langkah hati-hati namun penuh kecemasan, Khiya mendekati Farel, Khiya meletakan tangannya di dahi Farel. Khiya terlonjak kaget lantaran tubuh Farel yang panas, sampai-sampai sikut tangan Khiya terbentur ujung nakas. Khiya mengeluh kesakitan, nyeri kembali menjalar di tangannya. Kondisi yang sangat tidak tepat di saat seharusnya sekarang ia berlari mengambil air untuk mengompres Farel. Sungguh Khiya tidak beruntung untuk bisa menjadi istri yang kuat bagi Farel, batin Khiya merana. Dengan segenap rasa sakit itu, Khiya mengusahakan dirinya, ia berjalan hati-hati ke dapur. Mengambil air hangat, tapi naas lagi-lagi Khiya berbuat kesalahan karena panik, dia tanpa sengaja menjatuhkan minyak goreng dan hampir terpeleset jatuh dan kepalanya terkena ujung meja dapur. “KHIYA! “ “Kenapa di saat genting seperti ini, kamu malah goni sih! “ Khiya menghapus kasar darah yang sudah muncul di ujung dahinya. “Hufttt........!” Khiya langsung membawa baskom sedang berisi air hangat, kali ini Khiya lebih berhati-hati. Khiya kesulitan membuka pintu Farel dengan dua tangan memegang baskom, dia tidak berpikir untuk menaruhnya sejenak dan membuka pintu. Yang Khiya lakukan dia menjadikan tubuhnya untu mendorong pintu kamar Farel. Al hasil gadis itu jadi seperti berputar-putar. Khiya mengerjap, saat melihat kamar lampu Farel sudah menyala, sengatnya dia tidak menghidupkan lampu sebelum pergi. Khiya menangkap sosok Farel setengah duduk, menyender di kepala kasur menatap lurus Khiya yang baru saja masuk kamarnya dengan penuh kelebayan. “Hubby....,”cicit Khiya, spontan. Tatapan Farel nampak sangat sayup, keringat dingin juga masih bertenger di keningnya. Khiya berjalan mendekati Farel. Meletakan baskom sedang di nakas sembari menatap Farel tanpa berkedip, memperhatikan setiap gerak-gerik Farel. “Butuh minum?” tanya Khiya. “Tidak perlu, Khy.” “T-tadi badan hubby panas, makanya aku ke sini bawa baskom buat kompres.” “Badan aku panas? “ Khiya mengangguk sungguh-sungguh. “Iya. Kamu juga ngigau....” Spontan wajah Farel seketika terlihat panik. “Apa?” tanyanya tidak sabar. “Cuman perkataan minta maaf.” Farel melipat kakinya yang sejak tadi selonjoran. “Duduk sini, Khy. Dari tadi kamu berdiri aja.” “Eh...” Khiya kaget, saat tangan Farel menarik pelan lengannya. Khiya jadi duduk menghadap Farel. Jelas ini hal canggung untuk Khiya... “Apa yang ada di bidan kamu? Itu darah? “ “Ah ini...” Khiya kembali menggosok-gosok dahinya, agar noda darah di dahinya segera go away. “Coba aku liat... “ tanpa aba-aba Farel mendekat wajahnya ke wajah Khiya, memperhatikan dengan sesama luka yang ada di dahi istrinya itu. “Ini luka. Luka baru. Kamu habis jatuh? “ “Ah, itu, tadi, panik, jadi gini,” jawab Khiya terbata-bata. Farel bangkit dari kasurnya mengambil sesuatu di dalam nakas. Khiya memperhatikan dalam diam, semua gerak-gerik Farel, sampai Farel membawa sekitar P3K di tangannya dan duduk kembali menghadap Khiya. “Sini biar aku obatin lukanya....” Farel mencondongkan tubuhnya ke arah Khiya. Tubuh Khiya mematung. Tatapannya refleks menunduk malu. “Sudah selesai.” Farel menutup kembali kotak P3K dan kembali beranjak melegakan kotak mungil itu ke tempat semula di atas nakas. Khiya menatap punggung lebar Farel yang masih membelakanginya. ‘Dia sangat baik,’ bisik hati Khiya. Baku jari Khiya menyentuh plaster yang sekarang bertengger di dahinya. “Jadi sekarang?” tanya Farel. Khiya tersadar. Farel berdiri di hadapannya dengan senyum ramah. Buru-buru Khiya bangkit. “Sudah malam, kamu sebaiknya tidur.” Farel melirik jam yang ada di dinding. “Iya, Hubby ..hem...” Khiya spontan menutup mulutnya, berpura-pura menguap. “Huahhhh....ngantuk....kalo gitu, hem, aku tidur ya...” Khiya pamit. “Tunggu dulu.....” Khiya menoleh. “Iya ada apa, Hubby? “ “Tolong baskomnya di bawa juga, takut tumpah kalo di sini.” ‘Ah!’ Khiya hampir lupa soal wadah berisi air itu. Khiya kembali memutar langkahnya ke nakas. Entah kenapa Khiya grogi, rasanya Farel seperti tengah mengawasi gerak-geriknya, layaknya ia yang selalu suka memperhatikan Farel. Padahal itu tidak benar, Farel tidak memperhatikan Khiya, melainkan langit-langit biru kamarnya. Meski sudah tahu kenyataan itu, Khiya tetap saja gugup. Tapi kali ini Khiya tidak mau berbuat ceroboh, dia sangat berhati-hati. Dan saat Khiya mengangkat ember itu, mata Khiya tanpa sengaja melihat sesuatu yang menyundul di rak paling bawah nakas. Seperti boneka besar yang dipaksakan masuk. Khiya melirik Farel sejenak, sebelum berjongkok untuk memadukan bagian telinga boneka yang menyudul. “Eh, kok malah nyangkut.” Khiya menarik laci nakas. Terlihat boneka beruang berwarna cokelat. Khiya terkesiap, melihat boneka itu... **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN