“Assalamualaikum.... “ Suara bariton itu langsung menggerakkan kakiku untuk berlari cepat ke arah pintu dengan semangat.
“Waalaikumsalam. “ Ku buka daun pintu dan terlihat wajah yang sejak tadi ku nanti sepanjang hari, berdiri di ambang pintu dengan senyum mengembang manis. Begitu manis hingga selalu ku nantikan. Wajah yang kini menjadi vitamin bagiku untuk menjalani rutinitas ringan selayaknya seorang istri. Memasak, membereskan rumah seadanya. Sebenarnya Farel sudah melarang ku untuk melakukan hal ini, ia terlalu takut jika aku kelelahan. Bagi Farel aku terlalu lemah untuk melakukan hal ini. Farel hanya mencemaskan kesehatanku.
Aku menyakinkan Farel untuk memperbolehkan aku melakukan itu semua. Susah payah aku melakukannya dan akhirnya Farel mengizinkanku dengan satu syarat, aku tidak boleh terlalu kelelahan. Aku melakukan semua ini dengan hati bahagia dan Farel memahami hal itu.
"Aku mandi dulu ya,” katanya pelan. Wajahnya terlihat lelah, namun ia terus berusaha tersenyum saat melihatku.
Aku membalas senyum Farel dengan senyum yang lebih lebar. Aku lalu mengambil ahli tas kerja Farel dan berjalan mengikuti Farel dari belakang.
"Aku tunggu di bawah yah, Hubby. aku masak pepes ikan kesukaan Bby."
Farel mengembang senyumnya lebih lebar dan hal itu membuat aku begitu bahagia. Dengan semangat ’45 , aku siapkan hidangan yang sudah ku masak sejak tadi di atas meja makan. Lima menit menunggu, namun Farel tidak juga muncul dari kamar.
Aku cemas, takut terjadi sesuatu dengan Farel. Segera ku langkah kaki, menyusul Farel di kamarnya .
"Hubby....” panggilku. Farel tidak keberatan jika akan memanggilnya dengan panggilan Hubby yang cinta dalam bahasa Arab
Aku membuka pelan kamar suamiku. Pintu kamar setengah terbuka, hingga aku tidak perlu mengetuk untuk masuk.
Begitu masuk, terlihat Farel di situ, tertidur di atas sejadah lengkap dengan baju koko dan peci yang masih melekat di kepalanya. Wajahnya lelah terlihat damai saat tidur seperti ini. Aku jadi tidak tega untuk membangunkannya. Ia sangat kelelahan. Sebaiknya nanti saja aku membangunkan Farel. Aku berbalik hendak pergi.
"Kya...” panggil Farel. Farel bangkit dan merubah posisinya menjadi duduk lalu mengucek pelan matanya pelan. " Ya ampun, aku ketiduran. Maaf Kya, pasti tadi kamu nungguin," katanya menyesal.
Aku tersenyum. “Gak papa kok, Bby. Bby kayaknya lelah banget hari ini, ya? "
"Iya.... di kampus ada banyak kerjaan."
Senyum yang dari tadi mengembang di wajahku perlahan memudar, kata 'kampus' membuatku teringat kembali mengenai keinginanku untuk melajukan pendidikan di bangku kuliah. Namun hal itu terkubur dalam, penyakit yang menggerogotiku membuatku harus menguburnya dalam-dalam.
"Kenapa Kya? " tanya Farel.
" Gak apa-apa Bby."
Farel menatapku, sepertinya ia tahu aku tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Apa wajah ini menampakan kesedihan itu?
"Kamu bisa cerita apa saja sama aku..."
"Bukan apa-apa, Bby." Aku menggelang pelan seraya tersenyum. Aku harap senyum ini mampu ‘mengelabuhi' Farel.
"Kita mungkin gak bisa jadi suami-istri seperti kebanyakan orang, tapi kita bisa berbagi duka bersama. Setidaknya kita bisa menjadi sahabat dalam kehidupankan. Kya, kamu percaya sama aku?"
"Bby, aku ingin kuliah," kata ku pelan.
Sejurus itu kulihat perubahan pada wajah Farel. Senyum di wajahnya berangsur hilang. Farel diam membisu. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya namun dengan jelas aku tahu maksud dari diamnya itu.
Aku kembali menarik senyum di bibirku. Terpaksa. "Gak papa kok Bby, Itu hanya impian dan gak mungkin jadi kenyataan."
"Maaf. Sekali lagi aku buat kamu sedih." Farel menunduk sedih.
"Bukan Bby yang salah. Tapi aku yang terlalu bermimpi."
***
“Ihhhh.... sebel gue. Itu dosen atau jin sih.... hobinya kok ngilang terus. Gue rasa jin minder kalo ke temu tuh dosen. Lo tahu—“
“Ghiba dosa Lo, Yak. Bagai memakan daging bangkai orang. Gak jijik? “ potong Khiya.
Aliya menghela nafas di ujung sebrang sana. Gadis itu lupa, ia sedang bicara dengan Khiya, ‘si gadis anti ghiba’.
“Maaf, gue keceplosan, Khy. Habisnya huft... gue udah bela-belain bangun pagi. Terus gue keliling-keliling nyariin beliau, sampai kaki nih rasanya udah nyat-nyut. Tapi apa... huft zonk. Gue e-x-mosi jadinya. wajarkan gue emosi? “ tanya Aliya mencari dukungan.
Tapi Khiya malah tidak menjawab.
“Kya, Lo dengar gue’kan? “ kesal Aliya di balik sambung telepon.
Teriakan Aliya menyadarkan Khiya. Gadis itu kembali meraih ponselnya yang tadi ia masukan ke saku gamisnya. Sedangkan dari tadi perhatiannya malah fokus pada buku saku kenang-kenangan semasa SMA. Buku itu berisi kumpulan motivasi beserta nama teman satu angkatannya.
“Yak, kamu masih simpan buku kenang-kemangan SMA?” tanya Khiya.
“Masih. Tapi gue lupa di mana,” jawab Aliya. “Emang kenapa? “
“Aku bacaan satu kalimat bijak. Dari Aliya— sahabat terbaik adalah sahabat yang selalu berdiri di barisan terdepan saat kita terpuruk. Terutama saat di kantin.”
“Ya Allah.... Deep bangetkan artinya...” Aliya terkekeh. “Itu gue dedikasi khusus buat Lo yang selalu ada buat bayarin makan gue.” Aliya terkekeh mengingat masa-masa SMA yang penuh kenangan itu.
“Satu lagi. Dari Bimo, Tetaplah hidup meski tidak berguna. “
“Ah, itu mah copy paste di mbah google. Jauh bagus quotes aku kemana-kemana. Itu hasil dari buah pikir gue terdalam.”
Khiya terkekeh, manusia seperti Aliya memang tidak suka menyampaikan buah pikir melalui tulisan. Aliya lebih suka ceplas-ceplos.
“Liat apa sih? kayaknya lucu banget. “
“Astagfirullah—“ Khiya tersentak kaget, saat melihat Farel berada tepat di belakangnya. “Baru pulang, Bby? kapan? “tanya Khiya begitu saja.
“Iya, dari tadi, aku udah ngucapin salam. Tapi kamu kayaknya gak dengar. Emang lagi asik baca apa? “ tanya Farel.
“Khy? “ suara Aliya terdengar dari dalam ponsel. “Lo masih di hidupkan?” kata Aliya.
“Yak, udah dulu ya…assalamualaikum.”
“Eh—Waalaikumsalam.”
Sambungan ponsel terputus.
“Bby, sini Khiya bawain tasnya… “ Khiya meraih tas Farel.
“Baca apa sih tadi, kayaknya lucu banget?” tanya Farel lagi masih penasaran hal apa yang membuat Khiya sampai tertawa seperti itu.
“Ini, Bby. Buku kenangan-kenanga SMA. Bby baca deh dua qoutes ini. Menurut Bby mana yang bagus? “
Farel mulai membaca dengan cermat, lalu terdengar suara tawa mengisyaratkan dari bibir Farel. “Dua-duanya sih bagus. Tapi aku lebih suka punya Ayali? “
“Ayali? “dahi Khiya berlipat. “Maksud Bby, Aliya?”
“Oh, Aliya ya… “ Farel manggut-manggut.
Dan Fakta baru yang Khiya ketahui tentang Farel, ternyata dibalik kesempurnaan yang terlihat Farel juga memiliki penyakit bernama diseleksi. Penyakit yang membuatnya kesulitan membaca, terutama nama orang.