"Mbak Nami mau pergi?"
Salwa bertanya ketika melihatku berpakaian rapi. Maduku itu sedang berkutat menyiapkan sarapan untuk kami. Pagi ini ia terlihat cantik memakai gamis berwarna navy dan jilbab abu-abu. Aku saja sebagai perempuan harus mengakui bahwa maduku ini memang wanita anggun dan berparas cantik.
"Iya, aku mau ngajak Vano jalan-jalan. Kasihan anak itu sudah merengek dari kemarin."
"Sudah izin sama Mas Bima?"
Pergerakanku yang akan mengambil piring terhenti. "Belum."
"Sebaiknya Mbak meminta izin dulu sama Mas Bima. Seorang istri harus mendapatkan izin suaminya jika ingin keluar rumah."
"Siapa yang akan keluar rumah?"
Mas Bima tiba-tiba muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Aku memalingkan wajah ketika mata kami sempat bersirobok untuk sesaat. Kejadian semalam masih sangat aku ingat. Kata-kata bernada hinaan yang keluar dari mulut suamiku itu menyisakan perih di hati ini sampai sekarang.
"Mbak Nami, Mas. Katanya mau mengajak Vano jalan-jalan. Aku hanya memberi saran padanya untuk meminta izin terlebih dahulu sama Mas," terang Salwa menjawab pertanyaan suaminya.
"Biarkan saja. Dia sudah terbiasa pergi tanpa meminta izin dariku."
Aku menghembuskan napas kasar sebelum menata piring di atas meja dengan sedikit sentakan kuat. Sebelum moodku kembali memburuk setelah mendengar perkataan Mas Bima, lebih baik aku pergi ke kamar Vano dan membangunkan putraku itu.
"Kesayangan Mama sudah bangun?"
"Sudah dong, Ma!"
Vano terlihat antusias. Putraku pasti merasa senang karena hari ini aku sudah berjanji untuk mengajaknya jalan-jalan.
"Sekarang Vano mandi dulu terus nanti kita sarapan."
"Jalan-jalannya jadi kan, Ma?"
"Jadi, dong. Vano tinggal bilang mau ke mana, pasti Mama turuti."
"Yeaayy, akhirnya Vano bisa jalan-jalan lagi sama Mama."
Putraku terlihat sangat antusias dan aku senang melihatnya.
Ah, Mas Bima. Kenapa dari dulu kamu tidak pernah berubah? Selalu saja disibukkan oleh pekerjaan hingga mengabaikan anak dan istrimu di rumah.
???
Mengajak Vano jalan-jalan menjadi kebahagiaan tersendiri untukku. Melihatnya tersenyum lepas ketika menaiki wahana permainan membuat hati ini menghangat. Putraku membeli beberapa mainan yang disukainya, juga mengajakku memakan es krim kesukaannya. Seharian ini aku sengaja memanjakannya dengan membelikan apa pun yang dia mau untuk menebus satu tahun yang hilang selama aku terbaring koma di rumah sakit.
Hari ini sangat menyenangkan hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kami tiba di rumah menjelang senja karena Vano mengajakku berenang terlebih dahulu. Aku terpaksa mengiyakan meski sebenarnya aku takut Mas Bima akan marah karena aku mengajak putranya keluar rumah hingga se-sore ini.
"Kalian dari mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?"
Nah kan. Benar saja, Mas Bima langsung menyerbu dengan pertanyaan begitu kami memasuki rumah.
"Habis jalan-jalan. Ke Mall, lalu berenang."
"Tapi tidak sampai se-sore ini, Namisya. Kamu membuatku khawatir," ujarnya terlihat frustasi.
"Maaf. Kami terlalu senang hingga lupa waktu."
Mas Bima tidak menanggapi ucapanku. Pria itu mendekati putranya yang masih mematung di sampingku.
"Vano senang?" tanyanya begitu lembut.
"Senang, Pa. Mama ajak Vano naik wahana, terus makan es krim, sama renang juga."
Mas Bima tersenyum, kemudian mengecup kepala putranya dengan lembut. "Syukurlah kalau Vano senang. Papa minta maaf karena akhir-akhir ini terlalu sibuk sampai lupa mengajak Vano jalan-jalan."
"Tidak apa, Pa. Sekarang kan sudah ada Mama. Mama pasti ajak Vano jalan-jalan kapan pun Vano mau."
Mas Bima menoleh ke arahku. Seakan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ragu.
"Vano, sekarang masuk kamar, terus mandi ya, Nak."
Aku memilih mengabaikan suamiku dan membawa Vano ke kamarnya. Biarlah, ia menyaksikan sendiri bagaimana putranya sangat senang ketika aku mengajaknya keluar rumah. Hal sederhana yang selama ini sering diabaikan Mas Bima, hingga ia lupa bahwa masih ada keluarga yang harus ia bahagiakan.
Rasa lelah setelah seharian memutari pusat perbelanjaan, membuatku berencana untuk tidur lebih awal. Setelah membersihkan diri, aku mengambil pakaian secara asal karena mata ini sudah tidak bisa diajak berkompromi.
Begitu tubuh ini mendarat di atas ranjang, aku langsung menutup mata hingga lupa mengunci pintu kamar. Sayup kudengar suara pintu yang terbuka, tetapi rasa kantuk yang menyerang membuatku mengabaikannya, hingga ....
"Sudah tidur tenyata."
Aku terperanjat ketika mendengar suara itu. Untuk apa dia ke sini? Bukankah seharusnya dia berada di kamar istri mudanya?
"Mas ngapain?"
Mas Bima berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam piyama yang ia kenakan.
"Tidur di sini. Bukankah kemarin kamu bilang aku harus adil?" jawabnya enteng.
Aku mendengkus tak suka. Setelah mendengar penghinaan yang keluar dari mulutnya, aku tidak akan pernah berharap lagi ia akan bersikap adil padaku.
"Tidak perlu. Silakan Mas tidur di kamar Salwa saja."
"Kenapa?" Dia mendekat, dan dengan santainya duduk di bibir ranjang. "Malam ini sampai dua malam ke depan, aku akan tidur di sini."
Dia mendekat dan aku beringsut mundur menjauhinya.
"Kenapa tidur di sini? Biasanya Mas tidur di sofa."
Pergerakan Mas Bima terhenti. Ia yang hampir saja merebahkan tubuh kembali bangun dan duduk menghadapku.
"Memangnya kenapa kalau aku tidur seranjang denganmu? Bukankah kita masih suami istri?" tanyanya lagi.
"Ya, kita memang masih suami istri. Hanya saja ... mas mungkin lupa satu hal."
"Apalagi, Namisya?"
Dia terlihat frustasi.
Aku mengambil satu bantal dan turun dari ranjang. Jika memang dia ingin tidur di ranjang ini, maka biarlah aku yang mengalah dengan tidur di sofa saja.
"Kamu mau ke mana?" Dia memperhatikan pergerakanku yang tengah mengambil selimut.
"Biar aku yang tidur di sofa. Bukankah Mas merasa jijik padaku?"
Dia diam. Ah ... biarlah. Aku hanya mengingatkan kata-kata menyakitkan yang kemarin malam ia lontarkan untukku. Jangan pikir aku akan mengemis lagi seperti kemarin, meski sebenarnya aku masih sangat merindukan perhatian darinya. Aku hanya sedang berusaha membuat diriku terbiasa menerima rasa sakit yang setiap harinya akan aku telan setelah kehadiran Salwa di antara kami.
********
"Nanti malam kamu siap-siap. Rekan bisnis Mas mengundang kita ke acara ulang tahun pernikahannya. Jangan lupa dandan yang cantik."
Aku berhenti mengunyah. Ucapan Mas Bima jelas ditujukan untuk Salwa, bukan untukku.
"Apa ... gak sebaiknya Mas pergi sama Mbak Nami saja?" ujar Salwa terdengar ragu.
"Nami masih dalam masa pemulihan. Biar dia istirahat di rumah." Mas Bima beralih menatap Vano yang nampak anteng dengan makanannya.
"Vano mau ikut Papa sama Bunda Salwa nanti malam?" tanyanya seraya mengusap rambut putra kami.
Vano melirikku. Aku menarik bibir, memaksakan senyum di hadapan putraku, meski hati teramat sakit. Mas Bima benar-benar sudah tidak menganggapku sebagai istri. Pria itu memutuskan mengajak Salwa tanpa bertanya lebih dulu padaku.
"Vano di rumah saja, Pa. Kasian Mama sendirian."
Hatiku terenyuh. Putraku lebih memilihku ketimbang ikut dengan Mas Bima dan Salwa.
"Kan ada Bi Marni yang menemani Mama. Vano ikut saja, ya." Mas Bima tak menyerah membujuk putranya.
"Enggak, Pa. Vano mau sama Mama saja."
Mas Bima menghela napas kasar. Ia memberiku lirikan tajam. Aku yakin, dia pasti salah sangka, tapi aku gak peduli.
Teruslah berprasangka buruk padaku, Mas. Aku tidak sejahat itu mempengaruhi pikiran Vano agar menjauh darimu dan istri mudamu.
"Baiklah, terserah Vano saja. Kalau begitu Papa berangkat dulu. Baik-baik di rumah." Mas Bima mengelus rambut Vano.
Putraku mengangguk sebagai jawaban. Mas Bima mendekat ke arah Salwa dan mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh istri mudanya untuk dicium takzim, Kemudian dibalas dengan kecupan di kening cukup lama.
"Mas berangkat dulu. Nanti siang jangan lupa bawakan makan siang ke kantor," ujarnya lembut.
"Iya, Mas."
Aku memalingkan wajah. Muak rasanya menyaksikan drama romantis yang tersaji di hadapanku. Lebih baik berpura-pura fokus pada makanan di depanku.
"Aku berangkat."
"Eh?"
Aku terperanjat. Mas Bima tiba-tiba sudah berdiri di samping kursi tempatku duduk. Ia mengulurkan tangan ke arahku, sama persis dengan yang ia lakukan pada Salwa.
"Y-ya, Mas." Kusambut tangan itu, kemudian menciumnya. Mataku sudah terpejam, menunggu moment di mana Mas Bima akan mengecup keningku juga.
Namun, beberapa saat lamanya moment yang kutunggu tak jua terjadi. Mas Bima justru pergi begitu saja tanpa menghiraukan diriku yang menatapnya kecewa.
Ayolah, Namisya. Kenapa kamu masih berharap pada pria yang sudah jelas tidak menginginkanmu lagi!
?????