Ada Apa dengan Bi Sumi?

1082 Kata
Beberapa kali kucoba mengetik kata untuk membalas. Tetapi, kupencet tombol hapus berulang kali. Menggeleng, lalu mengetik lagi. Berulang terus sampai akhirnya tak jadi menuliskan apa pun. Aku berpikir kembali, apa yang seharusnya pantas kutulis untuk membalasnya? Sedang untuk nomor satunya, apa aku juga harus membalas? Untuk apa aku harus menanggapi usikan orang yang tak jelas apa maunya. Apalagi untuk Doni, orang yang sudah menyakiti dua kali. Tanpa ada iktikad untuk minta maaf, bahkan tanpa belas. Seperti punya dendam kesumat padaku. Sebenarnya apa salahku padanya? Padahal kita tak pernah saling kenal sebelumnya. Kuacak rambut sebal, sembari berdecak. Melempar lagi ponsel dan menarik selimut untuk kembali merebahkan tubuh. Otakku juga perlu istirahat dari segala misteri yang merumitkan. Sudah terlalu pening kepala ini terus menerus memikirkan hal ini. Mataku berkedip sembari berusaha tenang. Perlahan tapi pasti, mata kembali memejam. Hilang. *** Aku terkaget, mendengar bunyi jam beker yang berdering keras. Rasanya baru saja mata ini tertutup, sudah dipaksa melek oleh jam sialan ini. Tubuh menggeliat seperti cacing. Menguap lebar untuk bersiap menata hari. Aku lupa jika hari ini ada ujian semester. Jangan sampai terlambat dan ketinggalan, sebab guru untuk pelajaran ini sedikit galak. Bisa dapat nilai merah, kalau tak disiplin dengannya. Penuh malas, kutegakkan tubuh untuk melangkah ke kamar mandi. Saat melewati lemari baju, kulihat pantulan wajah ini di cermin besar, begitu kusut. Kuusap bagian kantung mata yang terlihat menghitam. Mungkin terlalu lelah dan kurang istirahat. Kusibakkan rambut yang acak-acakan ini dengan menyelipkan jemari pada bagian depan rambut dan menyeretnya ke belakang. Tak lupa memiringkan kepala ke kiri dan kanan, memastikan jika diri ini masih waras. Tak terlihat seperti orang frustasi. Kutepuk-tepuk pipi dan bagian bawah mata untuk mengencangkan otot-otot wajah. Mataku beralih pada sikut, dengkul, juga telapak tangan kanan. Bekas luka akibat kecelakaan lalu, masih tampak memutih. Aku harus cepat memakai lotion penyamar luka, agar tak telat, dan menjadi bekas permanen. Malu rasanya, jika saja ada perempuan yang tahu ada luka di bagian tubuh ini. Kupastikan tubuh benar-benar bugar dan sudah sadar sepenuhnya, sebelum keluar dari kamar. Suara bising knalpot, menggerakkan bola mata melirik pada hal di luar sana. Dari pintu kaca balkon yang gordennya sedikit tersingkap, tampak sebuah motor berhenti di depan pagar rumah. Aku mendekat pada kaca, mengintipnya dari balik gorden dengan menyibaknya sedikit lebih lebar. Pemuda sialan itu sudah menyeringai, tertuju pada tempatku berdiri. Kuseret gorden kasar. Menutupnya penuh. Aku membalikkan tubuh dan bersandar pada gorden. Kurang ajar sekali dia. Semalam, ia sudah berani melukai kepalaku, kini ia malah datang kembali tanpa sedikit pun rasa takut. Untuk apa ia kemari? Rasa penasaranku mengalahkan rasa kesal padanya. Kuintip lagi dirinya di bawah sana dengan melihatnya penuh hati-hati. Mataku beralih pada pergerakan di bawah rumah yang tiba-tiba berjalan cepat. Sosok Mbak Esti tampak tergopoh menujunya. Rambut tebalnya bergoyang-goyang seiring gerakannya yang sesekali melihat ke arah rumah, dan kembali mencari Doni di depan. Ia begitu terburu-buru berjalan. Sampai di depan pagar, ia masih celingukan melihat ke arah rumah, lalu secepatnya naik ke atas jok belakang motor Doni. Mataku membelalak, melihat kembali tali merah yang sebelumnya kulihat menjuntai pada Mbak Esti dan kedua orang tuaku. Kini tali itu tampak terkait di kaki Mbak Esti, bertaut pada tubuh Doni. Dan seperti sebelumnya, tali itu hanya sekejap terlihat, lalu menghilang begitu saja. Jadi benar, Doni menggunakan pelet atau semacam ikatan gaib untuk menjerat keluargaku. Lalu, kenapa hanya aku yang luput dari sasarannya? Apa ia tahu, jika aku bisa melihat hal-hal tak kasat mata? Hingga ia kesulitan untuk melakukannya padaku juga? Saat otakku dirumitkan oleh berbagai dugaan padanya. Saat itu pula Doni menstater motor CB-nya melaju cepat. Meninggalkan bising gaungan knalpot yang terasa menggema dan mengusik telinga. Aku benar-benar tak mengerti dengan Mbak Esti, kenapa ia masih saja menjalani hubungan dengan Doni, meski semalam sebuah cincin permata sudah tersemat di jari manisnya. Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Tak takutkah Mbak Esti, jika bertemu dengan orang tua Bagus? Bagaimana jika mereka sampai memergoki kelakuan calon menantunya itu? Kenapa Mbak Esti tak memikirkan masa depannya sendiri? Bisa-bisa segala rencana Papa hancur berantakan. Aku mengusap kepala sebal, lalu menjejak keluar kamar menuju kamar mandi. Saat berjalan cepat di tengah tangga. Kulihat Bu Sumi berjalan menuju dapur dengan membawa nampan. Tepat di belakangnya, kulihat sesosok hitam tanpa bentuk pasti mengiringinya. Aku berhenti melangkah. Mendelik tajam pada sesuatu yang sepertinya kini melihatku dengan mata hitam melotot. Aku tercekat! Bi Sumi seperti tak tahu, ia terus saja berjalan tanpa melihat ke belakang sama sekali. Lima belas tahun aku hidup bersama Bi Sumi, baru kali ini kulihat sebuah penampakan mengiringi dirinya. Apa ia memang sengaja menjadikan sosok itu batur dan membantunya seperti Doni? Atau ia benar-benar tak tahu, jika ada sebuah makhluk yang tiba-tiba mengiringinya? Kuteguk ludah saat penampakan tanpa rupa itu menoleh kasar. Lantas, aku berpura-pura tak melihat dan meneruskan langkahku lagi. Meski debar jantung kian kencang, aku berusaha sesantai mungkin tak menanggapi. Berakting seolah tak tahu jika sosok itu membuat nyaliku menciut. Sungguh, semua hal di beberapa hari ini semakin rumit, sukses membelitkan otakku. Kututup pintu toilet kasar dan segera memulai aktivitas mandi. Kuputar shower dan membiarkan diri terkucur oleh dinginnya air yang terus mengalir membasahi tubuh. Otakku sudah mendidih, perlu diademkan agar bisa berpikir lebih jernih. Mata memejam, merasakan setiap tetesnya yang terasa menyakitkan. Menghunjam kulit ini tanpa belas. Bayangan aneh serasa berkelebat di depanku. Kubuka mata cepat, melirikkan bola mata ke sekitar. Aneh, tak ada apa pun, tetapi mengapa terasa begitu nyata? Apa mungkin, sosok yang mengikuti Bi Sumi? Napas terasa menyempit, dan oksigen seperti perlahan berkurang di ruang 3x4 ini. Cepat-cepat kuselesaikan aktivitas mandi dan keluar dari ruang yang kian menyesakkan d**a. Ketika kubuka pintu kamar mandi, aku hampir melompat histeris, menemukan Bi Sumi yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu dengan mata melotot. “Bi Sumi! Ngagetin saja!” Kuelus d**a untuk menstabilkan napas. Kini kepalaku celingukan melihat ke belakang tubuhnya. Memastikan sosok hitam tadi sudah tak ada. Tetapi, ke mana? Apa mungkin benar, di dalam kamar mandi tadi .... “Den, jam sudah makin siang. Jangan sampai terlambat sekolah,” tutur Bi Sumi lembut, yang akhirnya menyadarkanku. Aku mengangguk dengan ragu dan gerakan patah-patah. Aku menatapnya penuh serius. Kenapa ada perasaan aneh di hati ini, saat melihatnya yang menatapku tak seperti biasanya? “I-iya, Bi. Aku juga tahu.” Kulangkahkan kaki berjalan melewatinya yang masih saja menatap dengan pandangan aneh. Aku berusaha tak menanggapi dan berjalan cepat ke arah tangga. Kubalikkan lagi tubuh cepat pada sosok Bi Sumi. Seketika aku terperangah, melihat lagi bayangan hitam di belakangnya yang kini menyeringai dan menampakkan gigi runcing yang seakan siap menerkam!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN